JAKARTA, KOMPAS – Data terkait ketersediaan dan kebutuhan bahan pangan kerap tidak sinkron. Dampaknya, sejumlah komoditas pertanian kerap hilang dari pasaran. Sebagai solusi, sektor pertanian perlu memanfaatkan teknologi rantai blok atau blockchain guna menyimpan informasi maupun data secara terbuka dan terdesentralisasi.
Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, mengatakan, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sulit memberikan informasi secara terintegrasi. Penggunaan blockchain dalam pertanian akan meningkatkan transparansi dan meluruskan asimetri informasi terkait komoditas pangan.
“Dengan blockchain, petani kita akan sangat terbantu, karena akan memotong biaya transaksi dengan menyederhanakan rantai pasok sehingga bisa meningkatkan pendapatan mereka,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (29/7/2018).
Awalnya, teknologi ini mendesentralisasikan fungsi pengawasan dan intermediasi sehingga penggunaan mata uang digital atau cryptocurency dipercaya semua pihak. Setiap transaksi bisa divalidasi semua pihak, tanpa butuh bank sentral. Teknologi rantai blok ini menghubungkan antarkomputer satu dengan yang lain dan memungkinkan pencatatan data tersebar di jaringan tanpa pihak ketiga.
Belakangan teknologi rantai blok tak sebatas digunakan untuk transaksi mata uang digital. Saat ini berbagai sektor yang melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, termasuk logistik dan pertanian, berpotensi digantikan oleh teknologi dan sistem blockchain.
“Pengembangan blockchain dan teknologi digital tidak diragukan lagi akan membantu mendorong perekonomian Indonesia melalui penyederhanaan birokrasi, memotong biaya transaksi dan membuat proses transaksi menjadi lebih cepat,” ujar Chatib
Dengan bermodalkan data yang akurat, tata kelola beras dipastikan akan lebih baik.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa, mengatakan data pangan nasional belum akurat. Sebagai contoh, data persediaan beras diambil hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi beras. “Sinkronisasi data pangan pemerintah saat ini belum jelas karena tidak ada data utama yang diacu,” ujarnya.
Dia menuturkan, Kementerian Pertanian menilai selama panen padi Januari-Maret 2018, akan ada surplus beras pada Januari 329.000 ton, Februari 2,9 juta ton, dan Maret 4,97 juta ton. Namun, pemerintah mengimpor beras 500.000 ton pada Januari 2018 dan mengulanginya empat bulan setelah itu.
“Dengan bermodalkan data yang akurat, tata kelola beras dipastikan akan lebih baik dibandingkan periode saat pemerintah tidak punya data baik,” ujarnya.
Di dalam negeri, sudah terdapat platform data exchange bernama HARA yang merangkum data terkait profil usaha petani yang menjadi mitranya. Chief Technology Officer HARA, Imron Zuhri, mengatakan saat ini data tersebut telah dimanfaatkan untuk membantu petani memeroleh kredit.
HARA mengadopsi teknologi blockchain dalam transaksi jual beli data antara petani atau kelompok usaha lain termasuk pihak bank, asuransi, dan pemerintah daerah.
Adapun data yang ditransaksikan berupa identitas petani sebagai penyedia data; geotagging seperti luas, lokasi, dan kepemilikan lahan; kultivasi seperti waktu dan jenis tanaman, pupuk dan obat yang dipakai; ekologi seperti cuaca dan tipe tanah; hingga nilai transaksi atas penjualan hasil panen.
“Kedepannya data yang dikumpulkan HARA diharapkan dapat membantu mengatasi keterseidaan informasi asimetris yang menghambat bisnis dalam rantai pasokan produk pertanian menjadi lebih efisien dan efektif,” ujar Imron.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Blockchain Indonesia Steven Suhadi memandang, teknologi rantai blok bisa membereskan bermacam persoalan birokrasi yang rumit dan tidak efisien. Namun masih terdapat tantangan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan risiko blockchain