Mutu dan Standar Keselamatan Pasien Harus Tetap Dijamin
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah masalah timbul dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Pemerintah harus lebih tegas mengatur kebijakan terkait layanan kesehatan masyarakat. Perlu koordinasi secara komprehensif dari semua pemangku kepentingan untuk menyepakati aturan yang berlaku. Selain itu, perlu dipastikan aturan tersebut tidak mengurangi mutu dan standar keselamatan pasien.
Dewan Pengarah Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Prof Laksono Trisnantoro saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/7/2018) menyampaikan, saat ini masih terjadi tumpang tindih peraturan. Pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
Pada undang-undang itu disebutkan pula, BPJS mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan. Kedua undang-undang tersebut tidak menyebutkan mengenai peran Kementerian Kesehatan.
Masalah ini kemudian menyebabkan adanya fragmentasi di sistem kesehatan
Semetara, pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan yang memiliki kekuatan untuk mengatur layanan kesehatan di masyarakat. “Ini ada konflik undang-undang sehingga perlu ada kajian ulang, bahkan perlu revisi. Masalah ini kemudian menyebabkan adanya fragmentasi di sistem kesehatan,” katanya.
Laksono menilai, hal ini pula yang menyebabkan adanya permasalah terkait Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 yang mulai berlaku 25 Juli 2018 lalu. Pada peraturan tersebut mengatur tiga pelayanan dalam program jaminan kesehatan, yaitu penjaminan pelayanan katarak, penjaminan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat, dan penjaminan pelayanan rehabilitasi medik.
Secara terpisah, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menuturkan, ketiga peraturan tersebut dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatur pemanfaataan jaminan kesehatan secara lebih baik. “Melalui peraturan ini potensi over utility bisa dicegah, bukan untuk mengurangi layanan kesehatan kepada masyarakat. Jangan sampai pembiayaan kesehatan tidak efisien.” katanya.
Ia mencontohkan, pada Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat akan diatur bahwa persalinan bayi lahir sehat akan menjadi satu paket pembayaran persalinan seksio sesarea (operasi sesar). Namun, jika bayi memang perlu tambahan perwatan khusus, pembayaran baru bisa diklaim oleh BPJS.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek dalam siaran pers menyampaikan, implementasi peraturan ini harus ditunda. Pada aturan bayi lahir sehat, misalnya, saat ini tidak ada diagnosa bayi lahir sehat atau bayi lahir sakit. Bisa dalam keadaan selanjutnya terdapat komplikasi yang sebelumya tidak diketahui sehingga perlu pemantauan dan pencegahan kematian bayi dan keselamatan ibu. “Harus ada peninjauan lebih lanjut soal peraturan ini. JKN harus menjunjung tinggi mutu dan standar keselamatan pasien,” katanya.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Sigit Priohutomo menegaskan, direksi BPJS harus mencabut ketiga peraturan penyesuaian layanan kesehatan yang telah dikeluarkan. Direksi BPJS tidak berwenang menetapkan manfaat JKN yang dapat dijamin, melainkan manfaat itu diatur dalam Peraturan Presiden.
Selain itu, penyusunan dan penetapan ketiga peraturan direktur tersebut dinilai tidak didahului dengan kajian dan konsultasi DJSN dan para pemangku kepentingan. Peraturan itu juga tidak mengikuti tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan, yakni UU Nomor 12 Tahun 2011.
“DJSN telah membuat surat rekomendasi komprehensif kepada Presiden untuk memperbaiki kebijakan dan tata kelola pelaksanaan JKN. BPJS pun diminta untuk mengikuti prosedur yang sesuai,” ucap Sigit.
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Kuntjoro Adi Purjanto meminta semua pihak kepentingan untuk segera duduk bersama membahas pelaksanaan aturan ini. Masalah ini menimbulkan kebingungan dari organisasi profesi, terutama organisasi perumahsakitan. Hal itu terutama ketika rumah sakit tetap menjalankan peraturan sebelumnya tetapi ternyata BPJS tidak menjamin pembayaran tersebut sesuai aturan yang baru.
“Namun harus dipastikan, rumah sakit tetap akan melayani pasien yang datang. Tidak boleh ada penolakan pelayanan kesehatan pada pasien. Untuk itu, ketegasan pemerintah saat ini sangat dibutuhkan. Koordinasi semua pihak diperlukan agar kebijakan yang berlaku bisa disepakati bersama,” ujarnya.