Pemerintah telah membuat aturan soal zonasi dalam penerimaan siswa baru. Namun pelaksanaannya di daerah bisa berbeda-beda.
JAKARTA, KOMPAS – Kisruh dalam penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri selain karena keterbatasan kuota di sekolah negeri, juga karena ada perbedaan persepsi soal penetuan zonasi dan prestasi dalam seleksi calon siswa baru. Karena kuota sekolah negeri terbatas, penerimaan peserta didik baru selain mengedepankan aspek zonasi juga tetap memakai aspek surat keterangan tanda miskin dan nilai hasil ujian nasional.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru mengatur, kuota 90 persen untuk siswa dalam zonasi, 5 persen prestasi, dan 5 persen untuk siswa pindahan. Untuk jenjang SD, diutamakan usia baru jarak. Untuk SMP dan SMA diutamakan jarak, baru nilai UN dan prestasi. Di SMK tidak ditetapkan zonasi karena karakteristik pendidikan yang berbeda sesuai minat dan potensi siswa.
Pemerintah Kota Depok misalnya, menerapkan sistem 20 persen untuk siswa miskin di dalam zona, 70 persen untuk siswa dalam zona yang memiliki nilai ujian sekolah sesuai standar minimal tiap-tiap SMP negeri, dan sisanya untuk siswa dari luar wilayah Depok.
"Prioritas pertama tetap anak-anak miskin di sekitar sekolah. Setelah kuota mereka terpenuhi, baru dibuka untuk anak-anak dari dalam zona. Akan tetapi, mereka harus bersaing dengan menunjukkan nilai rapor," kata Kepala Subdirektorat Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Depok Mulyadi ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/7/2018). Subdirektorat Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Depok membawahkan jenjang SD dan SMP.
Prioritas pertama tetap anak-anak miskin di sekitar sekolah. Setelah kuota mereka terpenuhi, baru dibuka untuk anak-anak dari dalam zona.
Dia mengatakan, di Depok terdapat 32.000 lulusan SD yang akan melanjutkan ke SMP di tahun ajaran 2018/2019. Kuota untuk SMP negeri hanya 8.000 kursi, sedangkan di SMP swasta terdapat 18.000 kursi. Pemerintah daerah menerapkan seleksi yang ketat untuk penerimaan siswa baru.
"Depok memiliki penduduk yang cukup padat. Dalam radius 400 meter hingga 500 meter saja kuota zonasi di SMP negeri sudah terpenuhi," kata Mulyadi. Sejak semester sebelumnya, katanya, orangtua siswa kelas VI sudah diberi tahu bahwa kuota bangku di SMP negeri terbatas.
Hal serupa juga diterapkan di tingkat SMA. Sihol Pardamean, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 11 Depok, mengatakan, kuota siswa baru di sekolahnya hanya 180 kursi. Setengahnya sudah terpenuhi oleh siswa yang tinggal 200-300 meter di sekitar sekolah.
"Kuota 20 persen untuk siswa miskin dalam zonasi diterapkan karena jumlah penduduk miskin di sekitar sekolah banyak. SMAN 11 memprioritaskan mereka dulu yang diterima," katanya.
Setelah itu, sisa 70 persen mengutamakan calon siswa baru dari wilayah zonasi. Apabila ada dua orang siswa yang jarak dari rumah ke sekolah sama, dipilih salah satu yang memiliki nilai ujian nasional lebih tinggi.
Sihol mengatakan, SMAN 11 Depok merupakan satu-satunya SMA negeri di Kecamatan Beji yang merupakan pusat kota Depok. Hal ini membuat peminat sekolah tersebut tinggi.
Padahal, SMAN 11 Depok belum memiliki gedung sendiri. Kegiatan belajar dan mengajar selama lima tahun terakhir diadakan dengan menumpang di gedung SDN Kemirimuka 02 untuk kelas X dan XI. Adapun kelas XII menumpang di gedung SDN Kemirimuka 03. Jarak kedua gedung sekolah tersebut 400 meter.
Persebaran tak merata
Persebaran sekolah yang tidak merata juga dijumpai di daerah lain. Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan, Sumatra Utara misalnya, terdata 11.270 siswa lulus SD. Akan tetapi, di wilayah tersebut tidak ada SMP negeri. Pendidikan SMP dilayani 17 SMP swasta. Mengacu sistem zonasi, siswa dari daerah ini kalah dekat dengan siswa yang di daerahnya ada sekolah negeri.
Hal serupa juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Septiana Dewi, orangtua siswa dari DIY, mengatakan, anaknya tidak bisa diterima di sekolah negeri, bahkan di enam sekolah negeri sekitar rumahnya, karena ‘kalah dekat’ dibanding calon siswa lain. Padahal, sekolah negeri yang ada berkisar 1,5 kilometer dari rumahnya. Hasil nilai UN anaknya juga terbilang tinggi.
Komisioner Ombudsman RI Ahmad Suaedy mengatakan pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan akibat anak-anak mereka tidak diterima di sekolah negeri. "Ada perbedaan persepsi soal penetuan zonasi dan prestasi. Ini terlihat dari penetapan kuota yang berbeda-beda dan juga beragam jalur masuk masuk," katanya.
Ada perbedaan persepsi soal penetuan zonasi dan prestasi. Ini terlihat dari penetapan kuota yang berbeda-beda dan juga beragam jalur masuk masuk.
Dalam kuota 90 persen sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, kata Ahmad, kaya dan miskin semestinya sudah tercakup selama jarak rumah ke sekolah sesuai aturan zonasi.
Menurutnya, ada ketidakadilan pemda dalam menyediakan sekolah negeri bagi masyarakat. Untuk itu, pemda diminta membenahi pembangunan dan persebaran sekolah negeri yang merata. Setidaknya, data zonasi hendaknya bisa menjadi dasar penambahan ruang kelas baru.