”Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
Seperti penggalan puisi ”Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono itulah penampilan kelompok padu suara Bianglala Voices pada hari ketiga Jazz Gunung Bromo, Minggu (29/7/2018), di amfiteater terbuka Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, Jawa Timur.
Mereka, tiga lelaki dan tiga perempuan, bernyanyi tanpa iringan musik. Mereka bersarung dan berjaket. Ada yang berselendang wol, ada yang berpeci wol, ada yang bersarung tangan wol. Suhu 18 derajat celcsus selepas pukul 07.00 WIB di kompleks mewah berketinggian lebih kurang 2.000 meter di atas permukaan laut. Sejuk.
Di depan grup vokal itu lebih dari 300 penonton larut dan terhibur. Ada yang masih terkantuk. Ada yang enggan mandi karena air gunung begitu dingin. Ada yang bersemangat memotret. Ada yang hangat dan mesra bersama pasangan atau sahabat untuk menikmati lantunan para biduan dan musisi.
Bianglala Voices membawakan 12 lagu pagi itu. Komposisi ”That’s The Way” mengawali dan diikuti dengan ”Misty”, ”Fever”, ”AIPS”, ”Maroon 5”, ”When I Fall in Love”, ”Pagi”, ”Le Ragatze”, ”Aku Ingin”, ”Dalam Diriku”, dan ”Kampuang”. Mereka menutup penampilan dengan lagu tradisional ”Gambang Suling”.
Adapun tepat pukul 06.00, selepas mentari merangkak dari Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru yang mendunia itu, hari ketiga Jazz Gunung Bromo dimulai. Pementasan diawali oleh Bonita and The Hus Band. Selanjutnya giliran Bianglala Voices lalu pasangan Endah & Rhesa. Perhelatan selama tiga hari itu ditutup dengan manis oleh penampilan trio NonaRia.
Sederhana. Ya, seperti lagu-lagu yang dibawakan suami istri Endah & Rhesa tentang cinta. Sederhana tetapi indah, merdu atau sonor, dan menyentuh. Itulah kesan terhadap Endah dengan gitarnya dan Rhesa dengan basnya yang membawakan ”Wish You Were Here”, ”Spacybilly”, ”Lipang Dang”, ”Living with the Pirates”, ”Menua Bersama”, ”Baby It’s You”, ”When You Love Someone”, dan ”Liburan Indie”.
Menua Bersama merupakan komposisi yang dirilis suami istri itu pada Februari 2018. Dari panggung Endah bercerita tentang bagaimana keinginannya dan mungkin seluruh pasangan di dunia untuk menua bersama dalam kehangatan cinta rumah tangga. Menua adalah perjalanan dengan tentangan dan tantangan bukan sekadar bumbu melainkan kodrat hidup.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Cinta itu memang sederhana tetapi begitu maha saat diartikan.
Sederhana itulah yang turut mewarnai perjalanan Jazz Gunung Bromo yang tahun ini tepat ulang tahun ke-10. Ya, secara sederhana lahir dari mimpi tiga ”saudara”, yakni multitalenta Sigit Pramono dan kakak beradik budayawan Butet Kertaradjasa dan Djaduk Ferianto. Ketiganya bukan sekadar ingin melahirkan festival jazz di gunung, tetapi menyelamatkan Bromo-Tengger-Semeru.
Bromo-Tengger-Semeru bukan sekadar ”sepetak surga” yang menurut Djaduk membuatnya melahirkan sejumlah komposisi khas kebanggaannya. Bukan pula sekadar obyek wisata mendunia yang telah didatangi pelancong domestik dan mancanegara. Bukan sekadar lanskap alamnya melainkan manusia dan peradaban di sana.
Menurut Butet, jazz gunung bukan sekadar ingin menunjukkan kepada dunia ada festival tiada duanya; di tempat tinggi dan udara amat sejuk bahkan mungkin bisa ”menyiksa” para penampil. ”Semangatnya, merayakan keberagaman dalam kebersamaan,” katanya.
Itulah kehangatan Indonesia yang seharusnya dicintai oleh bangsanya dan warganya yang beragam tetapi bisa dan mau bersatu. Djaduk ketika tampil bersama Ring of Fire, Sabtu (28/7/2018) malam, mengingatkan, betapa seharusnya kita bangga dengan Indonesia. Pantanglah kami menolak permintaan Djaduk untuk berdiri dan bersama-sama melantunkan Indonesia Pusaka karya Izmail Marzuki sebelum ”Cincin Api” berkobar menghiasi malam minggu itu.
Sederhana, ya seperti itulah perayaan jazzawarsa atau sepuluh tahun jazz gunung. Tiada potong kue tart raksasa kecuali tumpeng berkah yang diarak oleh kalangan warga. Tiada perubahan drastis dalam festival kecuali hari pementasan yang biasanya dua hari menjadi tiga hari (Jumat-Minggu).
Sigit-Butet-Djaduk juga merayakan persahabatan melahirkan jazz gunung dengan pameran bersama. Sigit mungkin lebih dikenal sebagai bankir dan fotografer lanskap. Untuk merayakan ulang tahun persahabatan itu, Sigit memamerkan foto-foto artis yang disebut sahabatnya.
Djaduk yang lebih dikenal sebagai komposer turut memamerkan foto-foto orang-orang di sekitar kehidupan bermusik. Butet yang lebih kondang sebagai monolog memamerkan keasyikannya di seni rupa dengan media keramik dan kertas.
Bagi kami yang hadir, jazz gunung tahun ini bisa disebut sempurna. Jumat petang hingga menjelang tengah malam disuguhi penampilan para musisi, yakni Kramat Percussion, Tropical Transit, Jungle by Night (Belanda), Tohpati Bertiga, Barry Likumahuwa Project, dan Andre Hehanusa.
Selepas tengah malam, bersama warga dunia, bisa menikmati seluruh proses gerhana bulan total (Super Blue Blood Moon) terlama abad ke-21 pada Sabtu kurun pukul 00.13 sampai pukul 06.30. Bagi sebagian orang, datang ke lokasi juga kesempatan untuk melihat pesona aduhai lanskap saat matahari terbit dari Pos Dingkik, Bukit Cinta, Bukit Kingkong, Penanjakan I, atau Penanjakan II, merasakan keindahan savana, lautan pasir, kawasan pasir berbisik, dan mendaki sampai bibir kawah Bromo.
Selanjutnya, mulai pukul 10.00, menikmati pameran Sigit-Djaduk-Butet dan petang sampai jelang tengah malam menonton penampilan Gamelan Adilaras Bromo Tengger, Insula (Perancis), Bintang Indrianto-Soul of Bromo, Surabaya All Star, Ring of Fire, dan Barasuara.
Minggu, seperti telah disebut tadi, festival dimulai pada pagi sampai jelang tengah hari. Ah, teringat lagi ungkapan festival ini, indahnya jazz merdunya gunung.