Jokowi, BUMN, dan Setengah Mesin Pertumbuhan
JAKARTA, KOMPAS – Selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo, investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih banyak diinisiasi oleh pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ekspansi usaha yang dilakukan kalangan swasta tidak begitu signifikan.
Investasi terbesar yang dilakukan pemerintah dan BUMN adalah di sektor infrastruktur. Selama periode 2015 - 2018, pemerintahan Jokowi menghabiskan sekitar Rp 1.319 triliun untuk membangun jalan tol, pelabuhan, bandara, waduk, dan irigasi.
Sementara BUMN, terutama yang bergerak di bidang konstruksi dan pembangkit listrik juga menghabiskan dana ratusan triliun untuk membangun infrastruktur.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang cenderung digerakkan oleh stimulus pemerintah dan BUMN.
Menurut Piter, kalangan swasta tak begitu banyak andil dalam pembangunan proyek infrastruktur.
“BUMN diberikan andil besar karena pembangunan infrastruktur dinilai lebih cepat selesai dikerjakan oleh kepanjangan tangan pemerintah,” katanya.
Piter mengatakan, pemerintah tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas kondisi ini. Apalagi, kata dia, pemerintah telah memberikan kesempatan bagi pihak swasta untuk terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur. Akan tetapi, banyak proyek infrastruktur yang dikerjakan swasta berakhir mangkrak.
Piter mencontohkan, proyek jalan tol di Ciawi – Sukabumi yang kepemilikan konsensinya berpindah beberapa kali. Menurut dia, swasta juga tidak memiliki modal pendanaan yang kuat untuk membangun infrastruktur.
“Bisnis yang dilakukan swasta di infrastuktur itu lebih banyak dalam bentuk bisnis konsesi. Mereka tidak mengeluarkan modal, hanya memenangkan tender, menang lelang lalu dapat konsesi. Kemudian konsesi itu diperjualbelikan, tidak dibangun. Inilah yang menjadi masalah yang kemudian dicarikan solusinya dengan diambilalih BUMN,” tutur Piter.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Asman Natawijana mengatakan hal senada. Menurut dia, pihak swasta bukan sama sekali tidak dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur. Namun, kata Azam, beberapa proyek infrastruktur yang dikerjakan swasta mangkrak selama puluhan tahun. Untuk itu, pemerintah melalui BUMN mengambilalih proyek tersebut.
“Langkah pemerintah (proyek diambilalih BUMN) sebenarnya tepat. Kalau swasta diberi hak lalu tidak jalan, ya mau jadi apa,” ucap Azam.
Namun, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Monoarfa menilai, minimnya peran swasta dalam berinvestasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi juga didorong sejumah faktor lain.
Ada sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai menciptakan ketidakpastian antara lain kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang tak sesuai harapan pengusaha, sistem pajak yang rumit dan memberatkan, serta kebijakan perdagangan yang tidak konsisten.
“Beberapa pengusaha menceritakan kepada saya soal sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak fair untuk mereka,” kata mantan Menteri Perumahan Rakyat era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Menurut Suharso, pengusaha mengeluhkan soal kebijakan tax amnesti yang tak sesuai harapan mereka. Pasalnya, revisi UU perpajakan baru dilakukan setelah program tax amnesty. Mereka khawatir kebijakan pajak yang baru akan kembali mempermasalahkan pelanggaran-pelanggaran pajak di masa lalu.
Aturan pajak menurut Suharso juga sangat rumit dan memberatkan. “Pengusaha minta aturan pajak disederhanakan dan besaran diturunkan sehingga pelaku usaha akan bergairah berbisnis di Indonesia,” katanya.
Aturan impor yang diberlakukan Kementerian Perdagangan juga dianggap tidak konsisten karena kerap berubah-ubah dan hanya menguntungkan beberapa pihak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyampaikan, kalangan pengusaha membutuhkan iklim yang kondusif untuk berekspansi. Iklim kondusif itu bisa diciptakan dengan regulasi yang mendorong penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing perekonomian.
Kalangan pengusaha membutuhkan iklim yang kondusif untuk berekspansi
Guna menjaga produktivitas dalam negeri, Hariyadi juga berharap pemerintah bisa menjaga harga energi dan menurunkan besaran bunga kredit bagi pengusaha. Ia mencontohkan, produsen apparel olahraga Nike memilih berproduksi di Vietnam karena tarif listrik dan bunga kredit bank di Vietnam jauh lebih murah dibandingkan Indonesia.
Utang
Dana untuk membangun infrastruktur tentu saja tak bisa mengandalkan kocek sendiri. Alhasil, pemerintah dan BUMN terpaksa harus berutang dalam jumlah besar untuk merampungkan proyek-proyek infrastruktur yang sudah dicanangkan.
Jika swasta ikut berinvestasi secara signifikan dalam membangun infrastruktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi, tentu beban utang yang cukup besar akan terbagi antara pemerintah, swasta, dan BUMN.
Namun karena swasta tak banyak terlibat, utang yang cukup besar akhirnya harus diambil pemerintah dan BUMN.
Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa utang pemerintah pusat dan BUMN selama pemerintahan Jokowi melonjak tajam dibandingkan rezim-rezim pemerintahan sebelumnya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat per Juni 2018 mencapai Rp 4.227 triliun. Selama pemerintahannya, Presiden Jokowi telah menambah utang baru sekitar Rp 2.600 triliun atau sekitar 100 persen dari posisi utang saat dirinya mulai berkuasa. Jokowi pun tercatat sebagai presiden dengan utang terbesar dalam kurun waktu tertentu.
Lonjakan utang juga dialami BUMN, terutama BUMN non keuangan. Berdasarkan data Statistik Utang Sektor Publik Indonesia, total utang BUMN non keuangan per triwulan I 2018 mencapai 47,12 miliar dollar AS (setara Rp 681,48 triliun).
BUMN non keuangan yang cukup banyak berutang tentu saja yang bergerak di bidang konstruksi mengingat merekalah yang mendapat penugasan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
BUMN-BUMN yang bergerak di bidang konstruksi disebut sebagai BUMN Karya. Mereka antara lain PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Adhi Karya, dan PT Wijaya Karya.
Pada 2015 - 2016, pemerintah memberikan modal kepada sejumlah BUMN Karya melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Selain digunakan langsung, suntikan modal pemerintah tersebut juga untuk meningkatkan ekuitas BUMN sehingga BUMN lebih leluasa untuk menambah utang baru.
Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu mengatakan, beban utang BUMN sektor konstruksi yang tinggi sudah lama diperkirakan bakal terjadi. Hal itu karena pemerintah mengalihkan banyak pembangunan infrastruktur kepada BUMN.
Pada awalnya, pemerintah memberikan penyertaan modal negara agar keuangan BUMN tak begitu terbebani. Namun, penyertaan modal negara itu hanya berlangsung dua tahun.
“BUMN karya semakin terbebani karena harus mencari utang untuk membiayai program infrastruktur yang ditugaskan pemerintah,” kata Said Didu awal pekan ini.
Menurut Said, besarnya beban utang yang ditanggung BUMN Karya sangat berbahaya. Apalagi, sebagian besar proyek konstruksi masih dalam tahap pengerjaan. Dengan begitu, potensi pendapatan atau revenue masih akan lama diterima BUMN karya.
BUMN Karya, kata Said, harus menambah utang dalam jumlah besar guna menyelesaikan proyek infrastruktur. Sebab, jika tidak diteruskan, maka proyek-proyek yang sedang dikerjakan akan mangkrak.
Sinyal bahaya utang BUMN Karya tergambar jelas dalam angka rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER).
DER BUMN sektor properti dan konstruksi mencapai 2,99 persen, jauh melampaui DER industri yang sebesar 1,03 persen. Berdasarkan konsensus investor, angka DER maksimal yang masih bisa ditoleransi adalah 2 persen.
“Ini menunjukkan potensi gagal bayar utang BUMN Karya cukup besar,” kata Said.
Kendati demikian, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro mengatakan, utang BUMN masih dalam batas aman.
Pertumbuhan ekonomi
Minimnya keterlibatan swasta dalam membiayai pertumbuhan ekonomi membuat laju perekonomian Indonesia tidak optimal.
Selama pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak beranjak dari angka 5 persen. Pada triwulan I 2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,06 persen secara tahunan, jauh di bawah target pemerintah yang sebesar 5,4 persen.
Roda pembangunan yang hanya digerakkan oleh pemerintah dan BUMN ibarat kendaraan dengan kekuatan hanya setengah mesin. Idealnya dalam perekonomian suatu negara, justru kalangan swasta yang harus lebih banyak berkontribusi dalam berinvestasi dan membiayai pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah bankir mengatakan, dalam dua tahun terakhir, kredit investasi dalam jumlah besar praktis hanya disalurkan kepada BUMN-BUMN. Kalangan swasta yang mengajukan kredit investasi tergolong minim.
Akibatnya, bank-bank pun saling bajak debitor BUMN. Perbankan berlomba mendapatkan debitor BUMN yang jumlahnya sangat terbatas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pihak swasta memang cenderung bersikap wait and see dalam berinvestasi setelah melihat kondisi perekonomian global dan situasi politik.
Menurut Bhima, kenaikan utang pemerintah harus dievaluasi kembali karena pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di angka lima persen. “Hal itu menunjukkan bahwa strategi pemerintah tidak produktif,” kata Bhima.
Menurut Bhima, dampak dari belanja infrastruktur baru dirasakan dalam jangka panjang, sekitar tiga hingga lima tahun ke depan.
“Pembangunan infrastruktur saat ini juga membebani neraca perdagangan karena impor barang modal dan bahan baku bertambah,” ujarnya.
Berdasarkan rasionya, utang pemerintah memang masih dalam batas aman.
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan, batas aman besaran utang adalah 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun saat ini, rasio utang terhadap PDB sebesar 29,2 persen.
Namun, kata Bhima, penambahan utang untuk pembangunan infrastruktur tetap harus diwaspadai.
Ia mengusulkan, pembangunan infrastruktur sebisa mungkin harus menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan bahan baku, seperti besi dan baja, dari dalam negeri.
“Saat ini, minimal kandungan produk dalam negeri hanya 30 persen, sebaiknya naik menjadi 60-70 persen,” ujar Bhima.
Bhima juga mengatakan, pemerintah sebaiknya menunda sementara rencana proyek infrastruktur yang belum dikerjakan. Jika proyek itu mendesak dilakukan, sebaiknya menggunakan pendanaan yang bersifat multiyears.