LSI: Publik Masih Khawatir terhadap Potensi Aksi Terorisme
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lingkaran Survei Indonesia, Selasa (31/7/2018), merilis hasil survei yang menunjukan bahwa publik masih khawatir terhadap potensi aksi terorisme meski saat ini belum ada aksi terkini di Indonesia.
Masyarakat juga setuju apabila ada pembentukan forum atau komite yang mampu meredam isu terorisme. Publik juga berharap agar wacana yang dapat memecah belah bangsa harus dihindari, khususnya menjelang Pemilu 2019.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Ardian Sopa, menjelaskan, survei ini dilakukan pada 28 Juni-5 Juli 2018 dengan menggunakan metode multistage random sampling. Juga teknik wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner kepada 1.200 responden. Margin of error survei ini sebesar 2,9 persen.
”Meskipun rangkaian aksi terorisme, seperti bom Surabaya pada Mei 2018, sudah berlalu, 82 persen koresponden masih khawatir akan kemungkinan terjadinya aksi terorisme di Indonesia,” ujar Ardian dalam konferensi pers di Kantor LSI, Selasa (31/7/2018).
Ardian mengatakan, kekhawatiran publik terhadap aksi terorisme dikarenakan masih banyaknya wacana pemecah belah bangsa yang beredar di masyarakat. Publik berharap isu primordialisme yang mengatasnamakan agama sebaiknya bisa dihindari.
”Sebanyak 64,2 persen koresponden merasa cemas dengan munculnya wacana pemecah belah bangsa ini. Kemudian, 15,8 persen menyatakan tidak khawatir serta sisanya menjawab tidak tahu,” katanya.
Menurut Ardian, saat ini publik menginginkan sosok pemimpin yang mampu mengatasi aksi terorisme ini.
”Kasus terorisme ini menjadi isu yang sulit diatasi, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Namun, kita tetap berharap nantinya para pemimpin ataupun wakil rakyat mampu menjadikan isu penanganan terorisme ini menjadi prioritas,” katanya.
Ardian menjelaskan, sebagian besar koresponden juga mendukung UU Terorisme yang memudahkan aparat menanggulangi terorisme. Namun, implementasi UU tersebut juga perlu diimbangi agar tidak ada HAM yang dilanggar.
”Sebanyak 79,3 persen koresponden setuju dengan UU Terorisme yang memudahkan aparat menanggulangi terorisme dan 75,4 persen koresponden setuju agar operasi penindakan terhadap teroris tidak melanggar HAM,” ujarnya.
Berdasarkan survei LSI ini, 80 persen koresponden mendukung jika nantinya ada inisiatif dari masyarakat untuk membangun forum atau lembaga bersama untuk menanggulangi terorisme.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, forum atau komite ini juga bertujuan mengawasi penanganan kasus terorisme.
”Pembentukan komite ini bertujuan mengawasi kinerja aparat penanggulangan terorisme untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Kami menilai, saat ini informasi terkait penanganan terorisme hanya berasal dari satu sumber dan terkesan membentuk ’narasi monolog’. Masyarakat tidak bisa mendapatkan sumber lain terkait kasus penanganan terorisme,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, perlu ada pengawasan terhadap potensi pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme. Menurut Ahmad, perlu ada kejelasan peran antara TNI dan Polri dalam penanganan kasus terorisme ini. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran HAM seperti di zaman Orde Baru.
Ardian menambahkan, berdasarkan hasil survei LSI, 87,8 persen koresponden masih percaya dengan kinerja Polri dalam menangani kasus terorisme. ”Oleh sebab itu, dengan legitimasi dari publik ini, Polri diharapkan mampu menumpas terorisme hingga ke akar sosial, ekonomi, dan ideologi-nya,” katanya.