Eny Sri Hartati-- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance
·4 menit baca
Sampai dengan Juni 2018, inflasi tahunan hanya 3,12 persen. Masih lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi 2017 yang sebesar 3,61 Persen. Bahkan, pada Juni -yang ada hari raya Idul Fitri 2018-, inflasi hanya 0,59 persen.
Menjaga angka inflasi relatif rendah atau stabil memang penting bagi perekonomian. Sebab, inflasi yang rendah, salah satunya akan berkorelasi dengan penurunan suku bunga kredit. Pembiayaan yang lebih efisien akan menurunkan ekonomi biaya tinggi sehingga memacu produktivitas. Sebaliknya, inflasi tinggi akan semakin menggerus daya beli dan menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Kenyataannya, sampai dengan triwulan I-2018, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen, lebih rendah dari triwulan IV-2017 yang 4,97 persen. Sekalipun hanya turun 0,02 persen, namun tidak dapat diabaikan. Sebab, kontribusi konsumsi rumah tangga sangat dominan dalam pembentukan pendapatan nasional, yakni sekitar 56,8 persen. Kondisi ini sepertinya masih berlanjut. Sebab, penjualan retail Mei-Juni rata-rata meningkat 4-5 persen secara tahunan.
Sekilas, seolah ada anomali antara inflasi yang relatif rendah dengan daya beli masyarakat yang masih rendah. Inflasi yang relatif rendah bukan disebabkan peningkatan pasokan maupun efisiensi biaya produksi. Ketersediaan pasokan pangan Lebaran ditopang impor pada April-Mei 2018. Deflasi beberapa komoditas pangan, seperti beras, bawang putih, dan bawang merah akibat guyuran impor. Namun, petani justru mengeluh ketika panen karena harga gabah dan beras jatuh. Pendapatan petani justru menurun sehingga berdampak langsung terhadap daya belinya.
Risiko
Inflasi rendah yang tidak berimplikasi pada peningkatan produktivitas dan daya beli tersebut harus benar-benar dicermati. Jika inflasi semu itu dibiarkan, akan memiliki dampak berganda yang kompleks.
Pertama, stagnasi pertumbuhan ekonomi. Jika inflasi rendah justru dipicu penurunan permintaan, tentu menjadi beban berat bagi perekonomian. Apalagi, porsi konsumsi rumah tangga naik dari 56,13 persen pada 2017 menjadi 56,8 persen pada triwulan I-2018. Dengan porsi yang meningkat, namun pertumbuhannya kian rendah, mesin utama pertumbuhan ekonomi ini rapuh.
Kedua, menggerogoti sektor riil. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lemah akan menyebabkan kelesuan sektor riil. Investor akan menempatkan dana pada sektor yang rendah risiko dan memberikan imbal hasil tinggi. Investor semakin menghindari sektor riil, sehingga aliran modal hanya dalam bentuk portofolio. Uang panas ini sangat mudah keluar-masuk, sehingga meningkatkan risiko stabilitas sektor keuangan.
Ketiga, memberangus lapangan kerja. Terpuruknya sektor riil, terutama akibat deindustrialisasi, rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kendati tidak menambah pengangguran terbuka, namun pekerja sektor informal menggelembung. Porsi sektor informal meningkat signifikan, dari 69,02 juta jiwa pada Agustus 2017 menjadi 73,98 juta jiwa pada Februari 2018.
Keempat, kesejahteraan petani merosot. Penurunan inflasi pangan pada Juni 2018 berimplikasi pada penurunan kesejahteraan petani. Meskipun ada kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juni 2018 sebesar 0,05 persen menjadi 102,04, namun tinggi inflasi bahan pangan masih tinggi, yakni 0,88 persen.
Kelima, defisit neraca perdagangan. Beban impor yang tinggi dalam rangka stabilitas harga Lebaran berdampak pada defisit neraca perdagangan April dan Mei 2018, masing-masing 1,63 miliar dollar AS dan 1,53 miliar dollar AS. Akibatnya, meskipun ekspor April dan Mei meningkat menjadi 14,5 miliar dollar AS dan 16,2 miliar dollar AS, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan impor yang mencapai lebih dari 17 miliar dollar AS pada Mei.
Keenam, polemik penurunan angka kemiskinan. Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik merilis angka kemiskinan yang turun 1,82 juta orang dibandingkan dengan Maret 2017. Angka itu terbilang membanggakan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sayangnya, porsi pengeluaran kelompok makanan tetap sangat besar, yakni 76,66 persen di perdesaan dan 71,04 persen di perkotaan. Artinya, hampir tidak ada perbaikan kualitas hidup, daya beli masyarakat untuk non pangan tetap rendah. Bisa jadi pemenuhan kebutuhan 2100 kalori sebagai indikator garis kemiskinan tersebut lebih disebabkan “keberhasilan” program pemerintah. Pada triwulan I-2018, bantuan sosial tunai tumbuh 87,6 persen, realisasi Beras Sejahtera (Ranstra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) mencapai 99,6 persen. Dikhawatirkan, jika Bansos dan Rastra telah usai, penduduk rentan miskin tersebut akan menjadi Jamila (jatuh miskin lagi).
Upaya pengendalian harga tidak hanya berhenti pada pencapaian angka inflasi yang rendah semata. Stabilitas harga harus diikuti peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat. Untuk itu, peran dan fungsi pemerintah daerah dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) harus dioptimalkan. Kewenangan TPID tidak hanya memantau inflasi, namun harus diperluas dan diperkuat dalam mencegah dan mengendalikan inflasi daerah. Rekomendasi TPID mestinya mengikat pemerintah daerah untuk segera bertindak antisipatif.
Melalui neraca komoditas, masing-masing daerah dapat memetakan kluster pangan sehingga dapat mengantisipasi potensi surplus dan defisit komoditas penting antar daerah. Neraca komoditas yang dilengkapi sistem informasi harga pangan nasional dengan sendirinya akan mendorong perdagangan antardaerah. Dengan demikian, distribusi pangan semakin lancar.
Eny Sri Hartati
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance