PALANGKARAYA, KOMPAS — Polisi menyita 800 batang kayu bulat ilegal dari Sungai Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Namun, tidak ada pelaku yang ditangkap.
”Penyelidikan masih berjalan. Penyisiran dan pengawasan di lokasi juga dilakukan,” kata Kepala Kepolisian Sektor Mantangai Ajun Komisaris Kristanto Situmeang dihubungi dari Mantangai, Selasa (31/7/2018). Polisi menyusuri Sungai Mantangai sejak Senin (30/7/2018) dan menemukan rakit-rakit kayu di pinggir kanal atau parit besar.
Saat ditemukan, rakit-rakit kayu tertambat tanpa ada pemiliknya. Kristanto menambahkan, pihaknya langsung membawa rakit-rakit kayu ilegal itu ke kantor polisi di Mantangai. Butuh waktu semalaman menarik kayu-kayu tersebut dari kanal melewati sungai sampai diangkut ke kantor Polsek Mantangai.
Kondisi Sungai Mantangai yang bercabang karena kanal-kanal bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) 1995 membuat lokasi sulit dimasuki perahu besar. Perjalanan menggunakan kelotok atau perahu kayu kecil bermesin.
”Tak ada dokumen apa pun melengkapi kayu-kayu ini, khususnya surat keterangan sah hasil hutan kayu bulat (SKSHHKB) dari pemerintah,” kata Kristanto.
Beberapa jenis kayu yang diambil adalah kayu terentang (Campnosperma auriculatum), kayu balau merah (Shorea balangeran), dan meranti campuran lainnya. Kayu terentang paling banyak dipotong karena paling mudah ditemukan di hutan.
Saat menelusuri lokasi, Kompas butuh waktu tiga hari untuk mengetahui sumber kayu itu diambil. Sebagian besar diambil dari wilayah hutan lindung di sekitar Sungai Mantangai dan wilayah konservasi orangutan yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Program Mawas atau konservasi.
Saat itu, 1.030 batang kayu bulat jenis terantang, belangiran, dan meranti campuran keluar dari hutan lindung Kapuas-Kahayan selama dua hari terakhir. Sabtu, keluar 575 batang, disusul Minggu pagi 455 batang juga keluar dari hutan lindung (Kompas, 30/7/2018).
Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, selama pemodal tidak ditangkap, pembalakan akan terus berjalan. Pemodal menjadi pihak yang sangat diuntungkan.
”Utamanya harus menangkap pemodal atau cukong kayunya. Masyarakat yang membalak hanya dibayar harian terdesak situasi,” kata Dimas.
Di Mantangai, para pembalak dibagi menjadi dua kelompok, yakni pemotong kayu dan pengantar kayu melalui sungai atau kanal. Mereka dibayar harian sebesar Rp 65.000. Upah bisa lebih besar jika kayu yang dihasilkan lebih besar dan berkualitas terbaik.
Dimas menambahkan, harus ada penguatan dari sisi masyarakat. Pemberdayaan ekonomi untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu jadi pilihan untuk solusi alternatif bagi masyarakat selain membalak.
”Pemberdayaan ekonomi harus dilihat dari dua sisi, yakni yang menghasilkan jangka pendek dan jangka panjang. Karena kalau hanya memikirkan jangka panjang juga percuma, kebutuhan masyarakat makin lama makin tinggi,” kata Dimas.
Manajer Program Mawas Yayasan BOS Jhanson Regalino mengungkapkan, masyarakat terpaksa melakukan pembalakan karena banyak lahan dan kebun mereka yang dikonversi menjadi perkebunan. Mereka tidak lagi memiliki kebun untuk memulai usaha.
”Masyarakat di Mantangai belum siap dan belum terbiasa bekerja di sawit, harus ada alternatif lain,” kata Jhanson.