Perubahan fungsi perkantoran dan lanskap bisnis yang terkait dengan tren secara umum membuat sebagian ruang perkantoran di Jakarta kosong. Namun, ruang-ruang kosong tersebut belum bisa dimanfaatkan untuk mengatasi sebagian masalah perkotaan, seperti kurangnya ruang hunian di pusat kota.
Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Tarumanagara, Jakarta, Meyriana Kesuma, Senin (30/7/2018), mengatakan, saat ini terjadi transformasi penggunaan ruang kantor. Perusahaan-perusahaan besar terkait industri ekstraktif, seperti minyak dan gas bumi, yang sebelumnya mendominasi permintaan ruang kanto, kini telah bergeser.
Sebagai gantinya, permintaan kini datang dari kebutuhan ruang kantor dengan konsep co-working space dan virtual office. Konsep co-working space memungkinkan sejumlah individu dan perusahaan rintisan bekerja dan berbagi ide serta sejumlah sumber daya dalam satu ruangan atau gedung yang sama.
Sementara virtual office memberikan kesempatan bagi pemilik perusahaan untuk tetap memiliki kantor dengan alamat sah, ruang pertemuan, hingga resepsionis tetapi dengan biaya operasional yang bisa ditekan jauh karena tidak ada konsep kepemilikan secara fisik. Meyriana mengatakan, kemungkinan dua kebutuhan ini menjadi jenis-jenis permintaan paling kuat terkait ketersediaan ruang perkantoran.
Hunian mustahil
Ia menambahkan, keberadaan ruang-ruang perkantoran yang kosong itu relatif hanya bisa didorong untuk dapat diisi dengan mengakomodasi kebutuhan pada co-working space dan virtual office. Caranya, bisa dilakukan dengan melakukan operasi bersama terkait pengengelolaannya.
Pasalnya, hingga saat ini, belum dimungkinkan adanya pengaturan tentang penggunaan ruang-ruang kosong tersebut untuk mengatasi sejumlah persoalan terkait, misalnya untuk mengatasi kebutuhan warga di Jakarta pada hunian di pusat kota.
”Pemerintah tidak bisa mengatur, (kewenangannya) tidak bisa ke situ. Kecuali tanah, bisa diatur oleh pemerintah. Misalnya, kalau (tanah) tidak dibangun selalama sepuluh tahun, ini bisa difungsikan sebagai taman,” kata Meyriana. Namun, jika sudah menjadi bangunan, katanya, belum ada peraturan terkait penggunaan ruang di dalamnya.
Suplai lebih banyak
Tommy H Bastamy, Head of Strategic Advisory Indonesia dari perusahaan agen dan konsultan properti Coldwell Banker, pada hari yang sama, mengatakan, hanya 6,9 juta meter persegi ruang kantor yang terhuni pada kuartal awal 2018. Sementara suplai ruang kantor pada periode yang sama tercatat seluas 8,4 juta meter persegi.
Jumlah itu merupakan akumulasi tingkat permintaan dan suplai sejak tahun 2015. ”(Hanya) 81,6 persen tingkat hunian,” kata Tommy.
Terkait kemungkinan mengonversi ruang-ruang kantor itu menjadi hunian, atau mengembangkannya dengan konsep soho (small office home office), guna meningkatkan tingkat hunian sekaligus pada saat yang sama memberikan solusi kebutuhan hunian di tengah kota, Tommy melihatnya secara berbeda. ”Sebetulnya kami melihat karakteristik hunian dan kantor itu berbeda,” katanya.
Konsep small office home office yang memadukan tempat kerja sekaligus hunian dalam satu ruang apartemen menjadi tren baru bisnis properti seiring dengan ketersediaan lahan yang semakin sedikit dan pola hidup masyarakat kota besar.
Tommy menambahkan, bahkan jika dibandingkan antara konsep SOHO dan co-working space, saat ini masih lebih semarak kebutuhan pasar untuk co-working space. ”(Selain itu) SOHO yang beli (juga) investor, bukan end user (pengguna langsung),” ujarnya.