Bareskrim Polri mengamankan remaja berusia 16 tahun karena mengubah tampilan situs KPU. Ia disangkakan melanggar UU ITE dan UU Telekomunikasi.
JAKARTA, KOMPAS - Mitigasi kejahatan siber perlu menjadi fokus utama penyelenggara pemilu pada Pemilu 2019 seiring semakin masifnya ancaman di dunia maya. Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI menangkap DW (16), pelaku perubahan tampilan situs Komisi Pemilihan Umum, akhir Juni lalu.
Kepala Subdirektorat 1 Tindak Pidana Siber Bareskrim Komisaris Besar Dani Kustoni, Selasa (31/7/2018), mengungkapkan, DW yang menggunakan nama ZIMIA alias My Name Is OX merupakan pelaku perubahan tampilan situs KPU di halaman Pusat Pelayanan Informasi Dokumentasi KPU Jawa Barat. Akibat perbuatannya itu, dalam beberapa waktu halaman itu tidak bisa beroperasi, misalnya menjadi tidak bisa menyediakan formulir bagi masyarakat yang ingin melaporkan dugaan pelanggaran pada Pilkada Jawa Barat 2018.
Penyelidikan kasus itu dilakukan setelah Biro Perencanaan dan Data KPU melapor ke Bareskrim pada 5 Juli. Aparat kepolisian kemudian menangkap DW di Bandung, Jawa Barat, 11 Juli lalu. Berdasarkan analisis Bareskrim, perbuatan DW tak menyebabkan perubahan atau kehilangan data milik KPU.
”Namun, perbuatan pelaku telah mengganggu sistem KPU. Oleh karena itu, kami telah tingkatkan koordinasi dengan KPU untuk memperkuat mitigasi terhadap berbagai potensi ancaman siber yang menyerang situs penyelenggara pemilu pada masa mendatang,” kata Dani.
Kami telah tingkatkan koordinasi dengan KPU untuk memperkuat mitigasi terhadap berbagai potensi ancaman siber yang menyerang situs penyelenggara pemilu pada masa mendatang
Ratusan situs
Selain situs KPU Jawa Barat, lanjut Dani, dalam kurun waktu 2017-2018, DW telah mengubah tampilan beberapa situs KPU daerah, seperti Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jakarta Utara. Seluruh perbuatan pidana di dunia maya itu dilakukan DW dari sebuah warung internet di dekat tempat tinggalnya.
”Kami belum menemukan indikasi tindakan itu dilakukan atas pesanan. DW melakukan itu untuk menaikkan prestisenya di kelompok peretas yang dia ikuti karena situs milik pemerintah memiliki pamor paling tinggi,” ujar Dani.
Penyidik Bareskrim, Ajun Komisaris Besar Polisi Rita Wulandari, menuturkan, DW mengaku keahliannya mengubah tampilan situs diperoleh dari membaca tata cara peretasan yang tersedia di internet. Ia belajar sejak 2017. Dalam setahun terakhir, ia telah mengubah tampilan sekitar 100 situs dalam dan luar negeri.
Atas perbuatannya, DW disangkakan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Telekomunikasi.
Pada awal Juli, Bareskrim Polri juga menangkap DS (18) pelaku peretas situs Badan Pengawas Pemilu. Serupa dengan DW, DS juga belajar sendiri untuk memahami peretasan situs.
Mewadahi
Rita menekankan, pelaku perubahan tampilan situs yang di kalangan remaja, bukan hanya dilakukan DW. Untuk itu, diperlukan peran serta seluruh pihak untuk memberikan wadah yang baik bagi para generasi muda, sehingga tidak terjerumus dalam perbuatan pidana.
Pakar media digital, Nukman Luthfie, menambahkan, tindakan DW adalah perpaduan antara keterampilan dan keberanian, terutama untuk mendapat pengakuan di kalangan para pelaku “pengacau” situs. Oleh karena itu, Nukman mengingatkan, agar pemerintah jeli memberi perlakuan kepada generasi muda yang telah meretas situs pemerintah.
“Karena motif perbuatannya bukan ekonomi, maka cara mengatasinya harus bijaksana. Lebih baik pendekatan pembinaan karena di era digital kita butuh banyak generasi muda yang memiliki kemampuan seperti DW,” kata Nukman.