Sekolah Swasta Ditinggalkan
Untuk mendukung kebijakan zonasi, banyak sekolah negeri menambah daya tampung murid. Akibatnya, para pengelola sekolah swasta berebut siswa.
JAKARTA, KOMPAS— Untuk mendukung penerapan kebijakan zonasi, sekolah-sekolah milik pemerintah di beberapa daerah menambah daya tampung siswa. Akibatnya, banyak sekolah swasta kesulitan mendapat siswa baru.
Untuk itu, sistem persekolahan terpadu antara negeri dan swasta dalam penerapan sistem zonasi perlu diwujudkan. Hal itu harus disertai komitmen memberi layanan pendidikan bermutu lebih merata melalui kebijakan zonasi sekolah sesuai ketentuan pemerintah pusat.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Jerry Rudolf Sirait, Selasa (31/7/2018), di Jakarta, mengatakan, kebijakan zonasi diyakini baik. Namun, banyak daerah tak mengikuti ketentuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satunya, menambah jumlah rombongan belajar atau kuota siswa.
Menurut Jerry, kebijakan zonasi sekolah diharapkan tak hanya memperhitungkan daya tampung di sekolah negeri. Sebab, dalam praktiknya, banyak sekolah negeri menambah jumlah rombongan belajar. Bahkan, ada sekolah negeri yang menumpang di sekolah lain atau melaksanakan kegiatan belajar bergantian.
Padahal, ada sekolah swasta yang bisa dioptimalkan untuk menampung siswa. Namun, dalam kebijakan zonasi, eksistensi sekolah swasta belum dipadukan dengan desain pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan zonasi sekolah.
Hal itu mengakibatkan sekolah swasta terancam kekurangan murid. Bahkan, sejumlah sekolah swasta tutup karena tidak mendapatkan siswa baru.
”Kondisi sekolah negeri beragam, dari yang terbaik, biasa saja, sampai di bawah standar. Di sekolah swasta pun begitu. Penataan persekolahan terkait kebijakan zonasi harus ada keterpaduan. Pengelola sekolah swasta perlu diajak untuk membahas langkah strategis membenahi pendidikan nasional,” ujarnya.
Pengelola sekolah swasta perlu diajak untuk membahas langkah strategis membenahi pendidikan nasional.
Dikotomi
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tak ada lagi dikotomi negeri dan swasta. Bahkan, sesuai dengan semangat Nawacita, pemerintah harus hadir di sekolah swasta yang butuh dukungan untuk peningkatan mutu.
”Sekolah swasta disebut mitra pemerintah. Namun, kelangsungan sekolah swasta tidak masuk dalam strategi pemerintah pusat dan daerah dalam penataan persekolahan,” ujarnya.
Dalam dua tahun terakhir, lanjut Jerry, ada ratusan sekolah swasta tutup. Ancaman terbesar terutama untuk sekolah swasta kecil yang melayani siswa dari keluarga tidak mampu.
Ketua Umum Pengurus Pusat BMPS Suparwanto menambahkan, para pengelola sekolah swasta akan merumuskan pemikiran sebagai masukan pemerintah. Dalam penerapan zonasi, pemerintah diminta memperhatikan perkembangan sekolah swasta.
Kurang siswa
Bertambahnya jumlah sekolah negeri beserta rombongan belajar mengakibatkan sekolah-sekolah swasta kian kesulitan mendapat siswa baru. Selain itu, para guru terpaksa menyambi mengajar di sekolah-sekolah lain guna mencukupi jam belajar akibat kekurangan siswa di sekolah asal.
”Sejak sistem zonasi diterapkan dua tahun lalu, terasa sekali kuota siswa baru di sekolah swasta menurun,” kata Kepala SMA Muhammadiyah 1 Depok Waluyo Darsono.
Untuk tahun ajaran 2017/2018 dan 2018/2019, SMA itu menerima empat rombongan belajar (rombel) baru dengan jumlah siswa 36 orang di tiap rombel dengan jumlah siswa 144 orang. Tahun-tahun sebelumnya, jumlah rombel baru bisa mencapai delapan lokal atau 288 siswa.
Penurunan jumlah siswa baru secara tajam itu merupakan dampak dari SMA-SMA negeri di Depok menambah rombel mereka, dari delapan hingga sepuluh lokal. Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka ke SMA negeri. Sebagai gambaran, dalam radius 5 kilometer dari SMA Muhammadiyah 1 Depok, terdapat empat SMA negeri.
Selain itu, ada SMA Terbuka yang didanai pemerintah. Pengelola SMAN Terbuka 5 Depok di tempat kegiatan belajar Cinangka, Kurnia Rahman, mengatakan, sekolah itu menerima siswa dengan batas usia maksimal 21 tahun. Batas usia itu membedakan SMA terbuka dengan Paket C.
Waktu belajar sekolah itu Senin-Kamis, pukul 13.00-17.00. Secara kelembagaan, SMAN Terbuka 5 Depok menginduk pada SMAN 5 Depok meski memiliki kepala sekolah masing-masing.