Tangkoko, Benteng Rapuh Satwa Wallacea
Hujan deras dan tanah berlumpur bukan penghalang untuk menjelajahi sudut hutan Tangkoko di Sulawesi Utara. Sayangnya, hingga matahari terbenam, tak satu pun yaki berhasil dijumpai.
Sebelumnya, petugas di cagar alam itu memastikan bahwa yaki akan mudah ditemui. ”Nanti pasti ketemu,
99 persen pasti ketemu. Baru kemarin gerombolan mereka turun di halaman pos jaga,” kata Kepala Resor Cagar Alam Tangkoko, Kota Bitung, Jenly Gawina dalam perjumpaan di kantor resor di tepian hutan Tangkoko, awal Maret lalu.
Dalam daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN), yaki, yang seluruh permukaan tubuhnya tertutupi bulu hitam pekat dan gaya rambut berjambul di kepala ini, termasuk dalam kategori terancam punah.
Monyet tak berekor ini diperkirakan tersisa kurang dari 5.000 ekor saja. Selama 40 tahun terakhir, populasi yaki merosot 80 persen akibat berkurangnya daerah habitat, maraknya perburuan liar, dan pembangunan jalan di areal hutan Tangkoko.
Yaki adalah satu dari tujuh primata endemis Sulawesi yang tak ditemukan di belahan dunia mana pun. Ratusan kilometer melintasi Laut Maluku ke arah tenggara, yaki juga ditemukan dalam jumlah kecil di Pulau Bacan, Maluku Utara. Hidup secara berkelompok, yaki jantan dengan postur badan dan taring paling besar dipastikan sebagai pemimpinnya (alfa male).
Beruntung, sehari berjalan dengan guyuran hujan deras menjelang sore menembus hutan Tangkoko, lelah terbayarkan oleh perjumpaan kami dengan satwa endemis lain, yaitu tarsius (Tarsius spectrum), kuskus (Ailurops ursinus), termasuk beberapa jenis burung, seperti julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan raja udang (Alcedo pusilla).
Satwa-satwa tersebut tak lain satwa khas endemis Sulawesi, yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Pulau Sulawesi yang terbentuk hasil dari tumbukan tiga lempeng benua menghasilkan keunikan secara geologis dan ekologis. Sulawesi pernah membuat naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, terkagum-kagum dengan keunikan flora dan faunanya.
Mengunjungi Sulawesi
Dalam buku The Malay Archipelago, AR Wallace menuliskan perjalanannya saat mengunjungi Sulawesi sebanyak tiga kali. Kunjungan pertama diawali dengan meninggalkan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 30 Agustus 1856. Wallace tiba tiga hari kemudian di pantai Makassar. Kunjungan ke Makassar tersebut, yang berlanjut sampai 18 Desember 1856, merupakan rangkaian perjalanan Wallace di kepulauan Nusantara, yang diawali dari Singapura, sejak April 1854.
Wallace mengulang kembali kunjungannya ke Makassar pada 11 Juli sampai 19 November 1857. Dua tahun kemudian, untuk ketiga kalinya Wallace menginjakkan kaki di bumi Sulawesi, kali ini di Manado, Sulawesi Utara. Ia tinggal di wilayah tersebut pada 10 Juni sampai 23 September 1859.
Mengumpulkan beberapa jenis serangga dan burung, ia berhasil mendapatkan merpati langka khas Sulawesi (Carpophaga forsteni) yang sudah lama diinginkannya. Di sana pula ia memperoleh tengkorak babirusa dan sapi hutan (anoa). Di pantai selatan Manado, Wallace menuturkan pengalamannya berburu maleo (Macrocephalon maleo) yang saat itu disebutnya dalam jumlah melimpah. Ia menyebut telur maleo jauh lebih lezat daripada telur ayam kampung dan berhasil mengawetkan 26 maleo dalam kondisi sangat baik.
Dalam catatan akhirnya pada bab Sulawesi, Wallace mengungkapkankan kesan luar biasa atas kekayaan alam, keunikan, dan keanehan sejumlah satwa di pulau tersebut. Menurut dia, Sulawesi menjadi contoh mencolok dan bahan studi menarik mengenai persebaran geografis sejumlah fauna di sana. Selama di Sulawesi, Wallace mencatat ada 191 spesies burung dan 14 spesies mamalia darat.
Terus terancam
Satwa endemis Sulawesi yang (pernah) menghuni hutan Tangkoko meliputi babirusa, anoa, dan maleo. Namun, kini sulit diharapkan bisa menjumpai langsung babirusa dan anoa di Tangkoko. Bahkan, jejak kaki anoa terakhir kali terlihat pada 2015. Belum ada catatan kapan terakhir kali babirusa terlihat di hutan tersebut.
”Pada akhir 1970-an, anoa cukup mudah ditemukan di Tangkoko. Pernah saya menjumpai kawanan anoa sekitar 10 ekor. Setelah itu, hanya jejak kaki yang terlihat terakhir kali pada 2015,” kata Nestor Mirontoning, salah satu petugas di Cagar Alam Tangkoko.
Selain menghadapi ancaman dari perburuan liar satwa langka di Tangkoko, habitat asli bagi flora fauna endemis itu pernah dua kali terbakar hebat, pada tahun 1990 dan 2015. Kebakaran paling hebat terjadi pada musim kemarau, bulan Agustus 2015, ketika sekitar 2.500 hektar hutan Tangkoko, atau lebih dari separuh luas kawasan, musnah dilalap api.
Dari sisi sumber daya, jumlah petugas di hutan Tangkoko juga terbatas. Dengan luas sekitar 4.000 hektar, Tangkoko hanya dijaga 10 personel. Secara rutin mereka bergantian berpatroli keliling hutan, termasuk menjadi pemandu bagi wisatawan. Di sekitar hutan juga banyak bermukim penduduk yang semuanya tersebar dalam empat kampung.
Manajer Program Yayasan Selamatkan Yaki Harry Hilser menambahkan, yaki berperan penting dalam pertumbuhan hutan. Ketika mereka memakan lebih dari 145 spesies pohon buah yang penting, mereka turut membantu membawa dan menyebarkan benih-benih yang mendukung pertumbuhan kembali hutan secara alami.
”Dibutuhkan tindakan penyelamatan langsung dan penegakan hukum terhadap perburuan yaki. Yang tak kalah penting adalah kampanye pentingnya menjaga kelestarian yaki sebagai spesies unik dan salah satu kunci keseimbangan ekosistem kita,” ujar Harry.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diatur larangan untuk mengambil atau memindahkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Namun, ada pengecualian untuk larangan tersebut, yaitu untuk tujuan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Demi kepentingan konservasi ini, semua pihak harus segera bertindak cepat. Kampanye pentingnya menjaga kelestarian satwa dan habitatnya amat penting untuk menyadarkan masyarakat dan pengambil kebijakan. Sekali punah, satwa-satwa endemis itu tak bisa lagi dipulihkan. Jangan sampai suatu saat nanti kita hanya bisa menyaksikan satwa-satwa tersebut dalam bentuk spesimen. (VDL)