JAKARTA, KOMPAS — Hanya sekitar 15 persen sampah plastik yang berhasil didaur ulang dari tempat pembuangan akhir. Hal itu karena di TPA sampah bercampur dengan material lain sehingga sulit dimanfaatkan kembali. Untuk itu, masyarakat diajak berpartisipasi dalam proses daur ulang sampah dengan memilah dan memanfaatkan sampah di rumah agar meminimalisasi potensi sampah daur ulang yang tidak termanfaatkan.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengatakan, rumah tangga berperan besar mendaur ulang sampah plastik dan kertas. ”Seharusnya proses daur ulang dimulai sejak tangan pertama. Kalau (sampah) sudah di tempat pembuangan akhir, sulit mendaurulangnya karena bercampur material lain,” kata Novrizal saat membuka diskusi Pemanfaatan Material Menuju Circular Economy di Jakarta, Kamis (2/8/2018).
Bukan hanya sampah plastik, melainkan sampah kertas yang bercampur material lain juga susah didaur ulang. Hal itu membuat banyak sampah daur ulang yang seharusnya bernilai ekonomi, terbuang sia-sia, dan menggunung di TPA. ”Misalnya, saat kami menerima sampah plastik dari Bantargebang, maksimal hanya 15 persen hingga 20 persennya yang bisa didaur ulang menjadi bijih plastik,” ujar Justin.
Lain halnya dengan sampah kertas, yang jika bercampur material lain, mudah hancur dan tidak bisa dimanfaatkan kembali. Hal ini, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida, sangat disayangkan. Menurut dia, seharusnya proses daur ulang kertas bisa membantu memenuhi kebutuhan kertas di Indonesia.
”Jumlah sampah kertas itu 10 persen dari jumlah sampah nasional. Dari pada impor kertas, mengapa kita tidak belajar memilah sampah kertas agar bisa didaur ulang saja,” kata Liana.
Selama ini, kebanyakan orang menganggap daur ulang akan diurus setelah sampah sampai di TPA. Padahal, ketika berada di TPA, sampah yang seharusnya bisa didaur ulang justru bercampur berbagai material lain yang mempersulit daur ulang. Pandangan inilah yang perlu diubah oleh masyarakat, daur ulang sampah akan jauh lebih efisien jika semua mau ikut serta.
”Lewat peran itu masyarakat bisa mendayagunakan potensi ekonomi yang ada,” ujar Novrizal. Ia mencontohkan, beberapa merek apparel olahraga terkenal, bahkan memanfaatkan bahan daur ulang untuk membuat produk dengan harga mahal. Hal itu juga mungkin terwujud di Indonesia jika proses daur ulang sampah sudah berjalan dengan baik.
Tantangannya, kata Novrizal, banyak orang masih malas memilah sampah karena tidak tahu ke mana mereka akan menjualnya. Oleh karena itu, KLHK mendorong pemerintah daerah segera menyusun kebijakan strategis daerah tentang pengolahan sampah. ”Harapannya, akan ada semacam drop box di setiap RT bagi masyarakat untuk mengumpulkan sampah yang telah dipilah,” ujar Novrizal.
Melalui manajemen kebijakan itu, Novrizal berharap, kelompok sektor informal, termasuk pemulung dan pelapak, yang telah ikut membantu pemerintah mengelola sampah akan diakui dan didata secara resmi oleh pemerintah daerah/kota setempat. ”Hal itu penting agar alur pengelolaan sampah bisa dipetakan,” kata Novrizal.
Berdasarkan data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2017, daerah dengan produksi sampah terbanyak adalah Surabaya dan Jakarta. Badan Pusat Statistik memperkirakan, produksi sampah di Surabaya sebanyak 9.710,61 meter kubik per hari. Adapun produksi sampah di Jakarta mencapai 7.099,08 meter kubik per hari.
Senada dengan Novrizal, Kepala Pusat Standarisasi Lingkungan dan Kehutanan KLHK Nur Adi Wardoyo menilai, masyarakat perlu merubah perilaku dalam mengelola sampah. “Berubah memang tidak mudah, tetapi bisa dimulai dari langkah kecil. Misalnya, mulai memilah sampah kering dan basah,” kata Adi. (PANDU WIYOGA)