JAKARTA, KOMPAS — Harga rata-rata gabah kering panen atau GKP di tingkat petani, meski cenderung turun dua bulan terakhir, masih 25 persen di atas harga pembelian pemerintah. Selisih harga berpotensi semakin jauh akibat kekeringan yang menyebabkan gagal panen di sejumlah sentra padi sejak Juli 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS), sesuai hasil survei di 1.828 lokasi transaksi penjualan gabah di 31 provinsi selama Juli 2018 mencatat, harga rata-rata GKP di tingkat petani Rp 4.633 per kilogram (kg). Angka itu turun tipis dibandingkan hasil survei Juni 2018 yang mencatat harga rata-rata GKP di tingkat petani Rp 4.650 per kg.
Akan tetapi, seperti terjadi beberapa tahun terakhir, harga gabah di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.700 per kg GKP sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Sebaliknya, harga beras medium cenderung naik. Sesuai hasil survei itu, harga rata-rata beras medium di tingkat penggilingan Rp 9.198 per kg, naik dibandingkan Juni 2018 yang tercatat Rp 9.135 per kg. Harga beras juga masih di atas HPP yang ditetapkan Rp 7.300 per kg.
Kepala BPS Suhariyanto seusai merilis data itu di Jakarta, Rabu (1/8/2018), menyatakan, penurunan harga gabah terjadi karena sejumlah sentra di Pulau Jawa masih panen raya pada awal Juli 2018. Sementara kenaikan harga beras dipengaruhi jeda waktu pengolahan di mana harga gabah sebelumnya memang lebih tinggi.
Kekeringan
Namun, penurunan produksi akibat kekeringan perlu diwaspadai. Menurut Suhariyanto, penurunan pasokan gabah bisa menyebabkan kenaikan harga dan mendorong inflasi bahan pangan. Apalagi beras masih menjadi komoditas pangan utama masyarakat.
Penurunan harga gabah di tingkat petani sejalan dengan penurunan nilai tukar usaha pertanian (NTUP) tanaman pangan. BPS mencatat, NTUP Tanaman Pangan turun tipis dari 107,85 pada Juni 2018 menjadi 107,72 pada Juli 2018. NTUP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima oleh petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib) dengan komponen Ib hanya meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), sekaligus Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, Dwi Andreas Santosa menyatakan, pihaknya tengah meneliti luas lahan yang terdampak kekeringan. Sejumlah indikator menjadi perhatian, antara lain kelembaban tanah, tingkat kelengasan tanah, temperatur udara, dan curah hujan.
Menurut Andreas, ada lebih dari 100.000 hektar sawah yang terimbas kekeringan dengan penurunan produksi mencapai 40-80 persen. Selain kekeringan, hama wereng dan tikus turut mengancam produksi. ”Sepertinya pemerintah akan kesulitan dalam memenuhi target penyerapan beras dalam negeri tahun 2018,” ujarnya.
Relaksasi HPP gabah/beras oleh Perum Bulog sebesar 10-20 persen, menurut Andreas, akan percuma tanpa revisi kebijakan. ”Harga GKP di tingkat petani menunjukkan tren meningkat hingga Januari 2019,” ujarnya.
Terkait ancaman gangguan produksi karena kekeringan dan harga yang masih di atas HPP, Kementerian Pertanian optimistis bahwa produksi dan penyerapan gabah/beras oleh pemerintah tidak akan terganggu. Kementerian Pertanian bahkan memproyeksikan produksi beras mencapai 47,38 juta ton sepanjang 2018. Pada semester II-2018, produksi beras diperkirakan 20,68 juta ton.
Optimisme itu berlandaskan panen raya yang akan berlangsung Agustus 2018 dan Desember 2018 di Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan, saat ini sejumlah wilayah di Jawa Barat (Karawang dan Sukabumi), Jawa Timur (Lamongan, Malang, dan Ponorogo), serta Jawa Tengah (Pati, Demak, Blora, Grobogan, Pekalongan, dan Tegal) masih dalam masa panen. Hingga 30-40 hari ke depan, potensi panennya mencapai 17.000 ton per hari.