Menyambut Era Teknologi 5G
Amerika bagian utara bersiap memperkenalkan secara komersial layanan berteknologi 5G pada akhir tahun 2018 dan pertengahan 2019. Selain Verizon, ada AT&T, dan T-Mobile. AT&T mengintroduksi ”standards-based mobile 5G” berwujud perangkat router portabel di 12 kota, termasuk bagian dari Dallas, Atlanta, dan Waco.
Mengutip telegeography.com, T-Mobile bakal menggelar jaringan seluler 5G di 30 kota di Amerika Serikat. T-Mobile juga mengklaim siap mendukung gelombang pertama ponsel pintar 5G pada awal 2019. Nokia dan Ericsson telah dikonfirmasi sebagai mitra vendor 5G T-Mobile. Di Amerika Serikat sudah terbiasa menggunakan layanan data internet, bahkan lebih dari 70 persen pelanggan seluler tercatat sebagai pengguna LTE.
Di belahan dunia lain, masih berlanjut kabar mengenai sejumlah demonstrasi 5G yang dilakukan vendor penyedia perangkat kebutuhan infrastruktur telekomunikasi, modem, operator telekomunikasi, produsen cip, dan ponsel pintar. Ericsson, Intel, dan Telstra, misalnya, mendemokan panggilan data dan permainan jarak jauh 5G dengan menggunakan spektrum frekuensi 3,5 GHz. Laporan Viavi Solutions menyebutkan, jumlah percobaan 5G hampir meningkat tiga kali lipat dalam setahun terakhir, dengan Asia Pasifik menyumbang 43 persen dari 72 uji coba secara global.
Gaung 5G dimulai sekitar tahun 2009. Pada Desember 2017, mengutip The Verge, 3GPP—organisasi pengatur standar seluler—secara resmi merilis spesifikasi standar pertama 5G non-standalone new radio (NR).
Ada tiga dimensi untuk memudahkan memahami 5G, yakni latensi (tingkat keterlambatan pengantaran), kecepatan, dan kapasitas koneksi. Teknologi 5G mempunyai latensi 1 milidetik, kecepatan puncak 10 gigabyte per detik, dan 100 miliar koneksi. Kinerja tersebut tercapai karena 5G berjalan di spektrum frekuensi lebih lebar, mulai dari pita 600 MHz, 700 MHz, hingga bagian gelombang militer, seperti dari spektrum 50 GHz.
Sebagai pembanding, teknologi 4G hanya memiliki latensi 30-50 milidetik atau lebih lama 30-50 kali dibandingkan 5G. Kecepatan puncak LTE hanya 100 megabyte per detik atau 100 kali kalah cepat dibandingkan 5G.
Dengan karakteristik tersebut, teknologi 5G amat mendukung keterhubungan perangkat dengan internet. Cara kerja benda menjadi semakin cerdas. Huawei dalam laporan Global Industry Vision 2025 memprediksi 40 miliar perangkat pintar dan 20 miliar perangkat pintar rumahan akan saling terhubung. Dengan kondisi seperti itu, konsumsi data setiap orang diproyeksikan mencapai rataan 1 gigabyte perhari. Bisa dikatakan fungsi perangkat teknologi akan berevolusi dari sekadar alat menjadi sebuah asisten digital yang memudahkan kehidupan manusia.
Situasi Indonesia
Agar fokus menyambut teknologi 5G, di dunia, sejumlah negara telah mematikan layanan seluler berbasis teknologi 2G. Jaringan 2G diluncurkan secara komersial pada standar GSM di Finlandia oleh Radiolinja (sekarang bagian dari Elisa) pada tahun 1991.
NTT Docomo Jepang adalah yang pertama kali mematikan 2G pada tahun 2011. Setahun berikutnya, operator di Korea Selatan segera mengikuti pasca-peluncuran layanan 4G LTE, seperti KT selaku operator kedua terbesar di ”Negeri Gingseng” itu.
Contoh lain tak kalah mengejutkan adalah pada Desember 2016, operator terbesar di Australia, Telstra, menutup jaringan 2G-nya yang beroperasi selama lebih dari 23 tahun. Rivals Optus (dimiliki oleh Singtel) berhenti menawarkan layanan 2G pada awal April 2017. Di kawasan Asia Tenggara, tiga operator seluler Singapura menutup jaringan 2G mereka pada pertengahan April 2017 setelah proses pengalihan sekitar tiga minggu.
Bagaimana dengan Indonesia? Pengguna layanan seluler dan ponsel 2G masih cukup besar.
Semakin banyak jaringan 2G menghadapi penutupan di seluruh dunia, GSMA Intelligence menyebut ada operator telekomunikasi diam-diam memigrasi pengguna mereka ke layanan seluler berteknologi lebih tinggi. LG Uplus, misalnya, operator terbesar ketiga di Korea Selatan ini dikabarkan memindahkan pengguna 3G ke 4G pada 2017.
Bagaimana dengan Indonesia? Pengguna layanan seluler dan ponsel 2G masih cukup besar. Berkaca pada data tiga operator telekomunikasi terbesar di Indonesia. Hingga triwulan I-2018, sebanyak 108,7 juta dari 192,8 juta total pelanggan Telkomsel tercatat sebagai pengguna data internet.
Artinya, mereka bisa saja mengakses data internet dari ponsel pintar berteknologi 3G, 4G LTE, ataupun ponsel 2G. Sementara, pengguna murni 2G diperkirakan masih 84,1 juta orang. Situasinya tidak berbeda jauh dengan XL Axiata pada periode yang sama, yakni 76 persen dari 54,5 juta total pelanggan tercatat sebagai pengguna data internet. Sementara itu, menutup tahun 2017, Indosat Ooredoo mencatat 73 juta pengguna ponsel pintar dari total basis pelanggan seluler 110,2 juta orang.
Sebagai negara kepulauan, pemerataan infrastruktur telekomunikasi memang masih menjadi permasalahan utama. Data Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) menyebutkan, sekitar 7.480 desa belum terjangkau sinyal telekomunikasi seluler.
Desa-desa tersebut tidak hanya berlokasi di daerah tertinggal. Pemerintah pun berusaha mendukung pemerataan salah satunya melalui penyediaan pemancar berbasis dana kewajiban pelayanan universal. Namun, mayoritas teknologi yang dipakai pemancar adalah 2G.
Mahalnya investasi infrastruktur telekomunikasi diakui operator. Belum sampai menikmati pengembalian investasi, mereka harus bergegas mengikuti teknologi terbaru. Layanan seluler komersial 3G dianggap tidak terlalu berhasil. Kemudian lahirlah 4G LTE. Indonesia mulai mengomersialkannya pada pertengahan tahun 2015. Penetrasinya terbilang cepat. Kondisi terkini menunjukkan 60-80 persen dari total pemancar operator sudah menggunakan teknologi 4G LTE.
Hanya saja, operator di Indonesia mengaku sekarang belum meneguk pengembalian investasi dari LTE. Proyeksi salah satu operator mengatakan, baru 5-6 tahun mendatang. Ada berbagai faktor memengaruhi. Penghitungan belanja perangkat infrastruktur sampai perilaku pelanggan mengonsumsi data internet dengan harga murah. Secara rata-rata industri, harga data internet per satuan gigabyte hanya Rp 10.000-Rp 12.000. Dilema!
Peradaban baru
Melihat karakteristik yang dimiliki, 5G bisa dikatakan ”peradaban baru”. Ini berbeda dengan pendahulunya. Ketika seorang pengguna 2G beralih ke 3G lalu ke 4G LTE, dia bisa dikatakan upscalling dan upgrading atau ”naik kelas” biasa. Sementara 5G menawarkan cara hidup ”cerdas”. Tren sekarang, internet mobile broadband di Indonesia utamanya masih digunakan untuk media sosial, perlahan bergeser menuju kebiasaan konsumsi konten berbasis video, dan nantinya memanfaatkan perangkat cerdas mulai dari rumah sampai tempat bekerja.
Aktivitas produksi di industri pun akan berubah. Bisnis operator telekomunikasi seluler bakal menyesuaikan. Mereka kemungkinan tidak semata-mata menjual koneksi bagi segmen ritel, tetapi gencar masuk ke pasar perusahaan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang menyiapkan peta jalan 5G di Indonesia. Penyusunan masih sejalan dengan pembahasan berjalan di kancah internasional, yakni ketersediaan spektrum frekuensi. Pemerintah bisa ambil bagian melampaui itu. Tak cukup dalam hal spektrum frekuensi. Dukungan bisa sampai ke urusan penyediaan fasilitas pelayanan publik, literasi, peraturan perlindungan data pribadi, hingga akselerasi pertumbuhan industri yang lebih baik.