Operasi Mossad Memalsukan Resor Selam di Tepi Laut Merah
Ini adalah salah satu operasi Mossad yang paling berani, rumit, dan terlama sepanjang sejarah mereka. Namun, baru sekarang, 37 tahun berlalu, kisah dari sebuah resor selam di tepi Laut Merah yang dijalankan oleh agen-agen Mossad itu terkuak ke publik.
”Operasi Saudara” yang berlangsung selama lebih dari tiga tahun pada awal 1980-an adalah misi yang menakjubkan. Operasi rahasia Mossad ini terpusat di sebuah resor pantai kecil yang disebut sebagai pusat rekreasi menyelam di Sudan yang bernama Arous Holiday Village.
Menurut brosur yang dibagikan kepada agen perjalanan di Eropa, Arous menawarkan kombinasi pemandangan padang pasir, pantai berpasir, dan terumbu karang, termasuk bangkai kapal yang nyata di lepas pantai Afrika timur bagi penggemar selam untuk dijelajahi.
Namun, itu yang tidak dikatakan di brosur. Meski sebenarnya semuanya hanya rekaan dan dikelola oleh badan intelijen Israel, Mossad, yang operasinya adalah mengunjungi kamp pengungsi Sudan dengan truk, memuat para pengungsi di sana yang merupakan orang Yahudi Ethiopia (juga dikenal sebagai Beta Israel), lalu membawa mereka memulai perjalanan berbahaya melintasi Sudan kembali ke Arous. Kemudian dari resor tersebut orang Yahudi Ethiopia ini akan dikirim ke Israel.
Kisah tentang bagaimana Mossad menyelundupkan orang-orang Yahudi Ethiopia ke Israel dari kamp pengungsi di Sudan ini tengah dibuat filmnya dan direncanakan rilis akhir tahun ini. Salah satu pembuat serial televisi Homeland, sutradara asal Jerusalem, Gideon Raff, bakal menulis dan mengarahkan film dengan judul Red Sea Diving Resort. Film yang terinspirasi oleh peristiwa kehidupan nyata antara 1981 dan 1985 tersebut bakal dibintangi Chris Evans, Haley Bennett, dan Ben Kingsley.
Sebenarnya kisah-kisah seputar resor selam palsu bikinan Mossad di Laut Merah ini telah ditulis sejumlah media Israel selama bertahun-tahun. Namun, kisah yang paling detail terungkap lewat buku Gad Shimron, orang di balik penciptaan Arous Holiday Village, Mossad Exodus: The Daring Undercover Rescue of the Lost Jewish Tribe, tahun 1997 silam.
”Saya sangat senang cerita telah dihidupkan kembali dan dibawa kembali dari kematian,” ucap Shimron dalam wawancara dengan surat kabar terkemuka Isreal, Haaretz. Shimron pun cukup yakin bukunya yang mengilhami Raff untuk menceritakan kisah tersebut lewat film.
Buku Shimron seperti novel-novel spionase, lengkap dengan tokoh protagonis dan kecerdasannya dalam menghindari kejaran musuh. Karier Shimron sebagai agen Moosad dan juga wartawan memungkinkan dia menulis buku tersebut sedetail mungkin, mengurangi sensor Mossad ataupun militer Israel.
”Ini pengalaman seumur hidup. Begitu banyak yang terjadi. Kami ditembak. Saya ditangkap dan diinterogasi oleh aparat keamanan Sudan. Syukurlah tidak ada yang terbunuh atau terluka parah, tetapi operasi yang menggerakkan para imigran ini jelas berbahaya, ” ujar Shimron mengisahkan ceritanya.
Salah satu kisahnya terjadi pada Maret 1982 ketika militer Sudan menembaki kapal kargo yang ditumpangi agen Mossad dan orang Yahudi Israel yang mereka selundupkan. Shimron menceritakan bahwa penyergapan terjadi tepat ketika para agen sedang memuat kelompok terakhir orang Ethiopia ke sebuah perahu karet untuk mengirimnya ke kapal angkatan laut Israel yang sedang menunggu di perairan internasional.
Ketika tembakan-tembakan sudah melayang di atas kepala mereka, salah seorang agen Moosad ini mulai berteriak kepada militer Sudan yang bertanggung jawab. ”Apa yang kamu lakukan, bodoh? Apakah Anda kehabisan akal untuk menembak para turis?” ujar agen Mossad tersebut sembari mengancam akan mengadukan kepada kepala staf Sudan. ”Tidak bisakah Anda melihat bahwa kami menyelenggarakan penyelaman malam di sini untuk wisatawan? Kami bekerja untuk kementerian pariwisata, membawa turis dari seluruh dunia untuk mengenalkan mereka dengan keindahan Sudan, dan semua yang bisa kalian lakukan adalah menembaki kami?!”
Salah satu kisahnya terjadi pada Maret 1982 ketika militer Sudan menembaki kapal kargo yang ditumpangi agen Mossad dan orang Yahudi Israel yang mereka selundupkan.
Taktik itu rupanya berhasil dan militer Sudan lalu tergagap meminta maaf. Akan tetapi, insiden tersebut seperti menandai berakhirnya misi penyelamatan maritim, yang telah terjadi selama enam bulan sebelumnya. Setelah itu, dari musim panas 1982 hingga musim gugur 1984, pesawat udara skala kecil yang menjadi sarana ”penyelundupan” orang Yahudi Ethiopia ke Israel. Secara keseluruhan ada 17 pesawat kecil terpisah di mana setiap pesawat mendarat di lapangan udara darurat di gurun dan diisi dengan orang Yahudi Ethiopia. Semua dikoordinasikan dan dieksekusi oleh agen-agen Mossad yang tergabung dalam tim Arous.
Shimron mengakui bahwa petualangan spionase tersebut sangat jauh apabila dibandingkan dengan kisah-kisah agen rahasia fiktif asal Inggris, James Bond. Menurut dia, dalam waktu yang lama di antara operasi, mereka memang memiliki waktu terbaik dalam hidup. ”Ya, kami hidup dalam kondisi yang sangat sederhana, dengan listrik hanya beberapa jam sehari. Tetapi, kami tinggal di surga yang memiliki pemandangan indah, pantai yang fantastis, dan situs menyelam, dan kami dibayar untuk itu,” katanya.
Kisah Operasi Saudara sebenarnya berasal dari tahun 1977 saat Perdana Menteri Israel Menachem Begin terpilih. Laporan-laporan datang ke Israel menyatakan bahwa orang Yahudi Ethiopia mulai melarikan diri dari perang saudara dan kelaparan di tanah air mereka. Banyak dari mereka yang menuju ke Sudan, negara yang berdekatan dengan Ethiopia, di mana mereka ditempatkan di kamp-kamp pengungsi.
Meski Sudan adalah negara mayoritas Muslim yang bermusuhan dengan Israel, lokasi geografisnya menjadikannya jalur yang sempurna bagi orang Ethiopia yang berharap untuk melanjutkan perjalanannya ke negara Yahudi. Menachem Begin lalu memanggil Kepala Mossad Yitzhak Hofi untuk melihat apa yang bisa dilakukan.
Namun, baru empat tahun kemudian Mossad mulai menjelajahi garis pantai Sudan, mencari lokasi di mana Angkatan Laut Israel dapat mengambil kelompok orang Yahudi Ethiopia dan membawa mereka ke Israel.
Mossad menemukan sebuah tempat yang indah terdiri dari 15 vila tepi pantai yang kosong, lengkap dengan dapur dan ruang makan. Kompleks vila ini dibangun oleh pengusaha Italia satu dekade sebelumnya, tahun 1972. Namun, tempat itu telah ditinggalkan ketika pihak berwenang Sudan gagal memberikan akses jalan akses yang dijanjikan, air dan listrik.
Mossad pun memutuskan bahwa desa liburan yang sepi ini bisa menjadi tempat pementasan yang ideal untuk menyelundupkan Ethiopia ke Israel lewat laut. Mereka lalu memulai rencananya.
Kementerian Pariwisata Sudan percaya, kompleks vila itu disewakan kepada perusahaan asal Swiss yang ingin menciptakan destinasi wisata baru. Tentu saja manajer Eropa, instruktur selam, hingga selancar angin, semuanya adalah agen Mossad.
Mossad menyewa resor selama tiga tahun dan menempatkan beberapa agen kunci di sana. Mereka bertugas merenovasinya, menyediakan listrik dan air, dan mengubahnya menjadi tempat wisata penuh staf, untuk berjemur turis dan melakukan kegiatan wisata lain yang menyenangkan.
Pegawai lokal setempat tidak tahu apa pun tentang tujuan nyata resor tersebut atau identitas sebenarnya dari bos mereka. Para tamu yang akhirnya menginap di resor—membuat resor ini sukses dan bahkan menghasilkan keuntungan—juga tidak menyadari tujuan sebenarnya.
Seorang turis dari Kanada sempat membuat kewalahan para agen Mossad yang menyamar ini. Si turis tahu saat instruktur selamnya bukan orang Eropa. Bahkan, si turis yakin bahwa dia orang Israel. Rupanya turis ini memang orang Yahudi dan pernah tinggal di Kibbutz, permukiman kolektif di Israel dengan kepemilikan bersama.
Si turis juga menyaksikan para anggota staf resor menyiapkan sarapan mereka setiap pagi, dan menurut dia, ”Hanya orang Israel memotong sayuran salad mereka sangat tipis.”
Anggota staf lokal resor yang orang-orang Sudan juga sebenarnya sudah curiga dengan kebiasaan majikan mereka, seperti mengajari memanggang roti manis, dikepang setiap hari Jumat untuk perayaan Sabbath. Majikan mereka juga sering menghilang, lalu kembali dalam keadaan kelelahan setelah menjalankan misinya.
Shimron mengatakan, Operasi Saudara adalah kesempatan unik bagi para agen Mossad, yang misinya selalu melibatkan pertumpahan darah dan konflik. Sebaliknya, di Sudan, mereka harus memainkan peran kunci dalam misi kemanusiaan, yang ia yakini unik dalam sejarah operasi intelijen.
Seperti yang ditulis dalam memoarnya. "Apa negara maju lainnya akan siap untuk berinvestasi puluhan juta dolar, menyiapkan infrastruktur operasional untuk kegiatan rahasia di negara musuh, yang melibatkan pasukan tentara besar, hanya untuk menyelamatkan beberapa ribu pengungsi sipil kelaparan di Afrika yang dilanda perang?"
Shimron mengakui orang-orang yang paling berani dalam cerita itu bukanlah para agen Mossad, tetapi orang-orang Yahudi Ethiopia yang mengalami kesulitan tak berkesudahan untuk berusaha mencapai Israel melalui darat, laut, atau udara.
Bukunya berisi deskripsi orang-orang yang tegap dan tidak mengeluh, wanita dan anak-anak yang memadati truk, bersembunyi dan naik ke perahu kecil atau pesawat tanpa tahu ke mana mereka menuju, tetapi dengan kepercayaan penuh pada penyelamat mereka. “Mereka adalah pahlawan sejati dari cerita-cerita itu, bukan kami,” kata Shimron kepada Haaretz. "Apa yang mereka lalui untuk memenuhi impian mereka untuk datang ke Israel - tidak ada orang Israel atau Barat yang normal yang dapat bertahan selama tiga hari."
Protokal ketat intelijen Moosad dipegang teguh agen-agennya di lapangan dalam Operasi Saudara ini. Mereka tak boleh dekat dengan orang-orang Yahudi Ethiopia yang akan diselundupkan ke Israel. Agen-agen Moosad ini menyembunyikan identitas mereka sampai mereka membawa orang Yahudi Ethiopia ini dari kamp pengungsi ke Arous. Protokol ketat ini memungkinkan jika ada di antara mereka tertangkap, orang-orang Ethiopia ini akan bilang bahwa mereka yang menolongnya adalah orang Eropa, bukan orang Israel. (HAARETZ)