Partai Hun Sen Rebut Semua Kursi, Oposisi Kecam Kemunduran Demokrasi
Oleh
Retno Bintarti
·3 menit baca
PHNOM PENH, RABU — Perdana Menteri Hun Sen merayakan kemenangannya dengan berswafoto bersama pendukungnya, Rabu (1/8/2018). Pemimpin yang sudah 33 tahun memerintah itu mengklaim merebut semua 125 kursi di parlemen. Oposisi mengecam pemilu kali ini sebagai sebuah kemunduran besar.
Tidak seperti biasanya, Hun Sen tidak menyampaikan pidato panjang di depan pendukungnya setelah dia memenangi pemilu yang diselenggarakan hari Minggu (29/7/2018). Kemunculan Hun Sen merupakan yang pertama sejak pemilu. Dia tampak menikmati perjalanan kelilingnya dengan menggunakan kapal. Televisi menyiarkan langsung acara Hun Sen disertai musik yang memuji pencapaian Hun Sen.
”Ini kemenangan bohong... pemilu bohong dengan kesimpulan yang sudah dibuat sebelumnya,” kata Sam Rainsy, salah seorang pendiri Partai Penyelamat Nasional (CNRP) yang kini berada di pengasingan di Paris. ”Ini adalah kembalinya sistem lama, sistem satu partai seperti saat Perang Dingin, saat era Komunis. Ini merupakan kemunduran besar,” kata Sam Rainsy lagi.
Partai CNRP yang pernah mendapat 44 persen suara pada Pemilu 2013 ini dibubarkan dengan dalih para pemimpin partai berkhianat. Sam Rainsy melarikan diri, sementara Ketua CNRP Kem Sokha, September lalu, dijebloskan ke penjara atas tuduhan melakukan pengkhianatan kepada pemerintah.
Rainsy mendesak pendukung CNRP agar mengerahkan massa melakukan protes terhadap pemilu palsu. Dia juga meminta masyarakat internasional ”menolak” hasil pemilu.
Hun Sen, yang berada di tampuk kekuasaan sejak tahun 1985, sebaliknya memuji pemilu yang berlangsung dengan ”bebas, jujur, dan adil”. Partainya, CPP memperkirakan jumlah keikutsertaan rakyat mencapai 82 persen. Seruan boikot yang disampaikan CNRP ternyata tak berdampak terhadap antusiasme pemilih.
Keinginan Hun Sen (65) untuk memerintah 10 tahun lagi ternyata sudah tercapai separuhnya. Dua hari setelah pemilu, juru bicara partainya menyatakan Hun Sen sudah siap membentuk kabinet baru.
Reaksi internasional
Menteri Asia Pasifik Inggris Mark Field dalam pernyataannya, Selasa, mengatakan, pemilu Kamboja ”dirusak pemerintah bahkan sebelum masa kampanye berlangsung dan menghasilkan pemilu yang tidak adil dan tak kredibel”. Jerman memuji kedamaian yang berlangsung selama pemilu parlementer tersebut. ”Namun, hanya itu saja tidaklah cukup untuk menyatakan legitimasi hasilnya,” demikian pernyataan Kantor Urusan Luar Negeri Federal. Pemerintah Jerman yang sudah memberlakukan penghentian pemberian visa bagi pejabat di kabinet Hun Sen mendesak Kamboja agar mengembalikan prinsip-prinsip demokrasi.
Gedung Putih tengah mempertimbangkan memperpanjang pemberian visa bagi pejabat Pemerintah Kamboja sebagai respons atas pemilu yang ”cacat”. Uni Eropa melihat kompetisi dalam pemilu Kamboja tidak murni. Dalam hal ini, UE menyebut tentang tidak adanya proses politik yang inklusif.
Satu-satunya negara besar yang dengan cepat memberi dukungan terhadap Kamboja adalah China. Dalam pernyataan sehari setelah pemilu, China meminta komunitas internasional agar mendukung Kamboja.
Penulis biografi Sebastian Strangio mengatakan, Hun Sen memang dilahirkan untuk bisa terus bertahan. ”Dia sudah berada di kekuasaan selama lebih dari separuh usianya. Dia (Hun Sen) tampaknya hanya mempunyai sedikit hobi. Dia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk meraih dan menumpuk kekuasaan.
Dengan pertumbuhan ekonominya yang baik, Hun Sen menganggap diri negarawan besar dan mulai menyiapkan anak-anaknya untuk menduduki posisi penting. Salah seorang putranya diangkat untuk posisi penting di militer, sedangkan anak perempuannya memegang televisi swasta penting.
Kem Monovithya, anak ketua CNRP Kem Sokha, mengatakan yakin langkah menentang rezim Hun Sen ada di cakrawala. ”Saya yakin akan ada lebih banyak aksi,” kata perempuan ini ketika diwawancara. (AFP/AP/REUTERS)