JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah diminta memperjelas peran sekolah swasta dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Selama ini, keberadaan sekolah swasta diabaikan dalam penerapan kebijakan zonasi.
Padahal, institusi pendidikan swasta juga melayani anak-anak bangsa. Bahkan, 90 persen dari jumlah total sekolah swasta yang tersebar di daerah tak bermodal besar. Kehadiran banyak sekolah swasta justru dimulai saat tidak ada sekolah negeri.
Keberpihakan pemerintah atas keberadaan sekolah swasta dipertanyakan dalam rapat koordinasi pimpinan pusat Badan Musyawarah Perguruan Swasta, di Jakarta, Rabu (1/8/2018). Itu dipicu kebijakan zonasi sekolah yang tak memperhitungkan daya tampung sekolah swasta dalam penerimaan siswa baru.
”Melalui kebijakan zonasi sekolah, ada harapan perbaikan sistem persekolahan. Namun, eksistensi sekolah swasta tak dipertimbangkan,” kata Ketua Umum PP BMPS Suparwanto.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Suparwanto
Menurut Suparwanto, dengan hanya menghitung daya tampung sekolah negeri, penerapan zonasi sekolah dinilai sarat ketimpangan. Sebab, sekolah negeri menerima jumlah siswa yang banyak dan juga menambah jumlah rombongan belajar. Belum lagi, ada sekolah terbuka atau kelas jauh. Ada pula sekolah yang menumpang di sekolah lain dengan sistem bergantian.
"Kami mempertanyakan keadaban sistem pendidikan nasional yang ingin diwujudkan pemerintah. Jangan ketika sekolah swasta tidak dibutuhkan karena pemerintah sudah mulai mampu, kami diabaikan, eksistensinya tidak diperhitungkan," kata Suparwanto.
Jangan ketika sekolah swasta tidak dibutuhkan karena pemerintah sudah mulai mampu, kami diabaikan, eksistensinya tidak diperhitungkan.
Keunggulan
Sementara itu, Ketua PP BMPS Achlan Husen mengatakan sekolah swasta dituntut untuk mampu mempunyai keunggulan agar tetap bisa dilirik masyarakat. Nyatanya, sekolah swasta yang bermutu tetap diminati masyarakat.
"Namun, untuk meningkatkan kualitas juga butuh bantuan pemerintah. Apalagi untuk sekolah swasta yang melayani masyarakat kelas bawah. Yang bersekolah di sekolah swasta juga anak bangsa," kata Achlan.
Menurut Achlan, memang ada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Akan tetapi, pembiayaan untuk gaji guru dan investasi infrastruktur pendididikan demi meningkatkan kualitas tidak bisa sepenuhnya mengandalkan masyarakat. "Bantuan seperti guru PNS di sekolah swasta, banyak yang mulai ditarik," ujarnya.
Sistem pendididkan nasional, tanpa memandang negeri dan swasta. Namun, dalam implementasi hingga tingkat daerah, pemda hanya mengurusi sekolah pemerintah.
Dari perhitungan pembiayaan siswa, kata Achlan, ada ketidakadilan. Jika untuk siswa swasta Rp 1, siswa di sekolah negeri menikmati subsidi Rp 10.000. "Di sekolah negeri, utamanya SMA/SMK yang sudah dibiayai negara pun, tetap dipwrbolehkan ada pungutan atas rekomendasi komite sekolah," kata Achlan.
Dalam upaya mendukung sekolah swasta bermutu, BMPS berharap peran pemerintah pusat dan daerah. Sebab, sekolah swasta sulit bertahan di tengah kebijakan pemerintah terus meningkatkan mutu sekolah negeri jika diserahkan pada mekanisme seleksi alam. Untuk itu, harus ada intervensi pemerintah untuk membantu sekolah swasta yang di bawah standar agar membaik mutunya.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan ke depan ada rencana melibatkan sekolah swasta dalam kebijakan zonasi sekolah. Namun, sifatnya tidak memaksa, bergantung keputusan dari tiap sekolah swasta.
Namun, lanjut Muhadhir, ada konsekuensi yang dipertimbngkan Kemdikbud, jika sekolah swasta yang menerima BOS dari pemerintah tidak ikut zonasi sekolah. Bantuan pemerintah yang diberikan ke sekolah swasta bisa dievaluasi.