Tantangan-tantangan Kaum Pemasok Gizi
Kelurahan Duren Mekar, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat masyhur sebagai penghasil ikan-ikan konsumsi, seperti nila, gurame, dan lele. Reputasi yang membentang selama berpuluh-puluh tahun itu kini dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Alih fungsi lahan menjadi kawasan hunian adalah yang paling kentara. Hal ini membuat empang-empang atau kolam-kolam berukuran relatif besar milik warga kini banyak berganti jadi sekadar kolam-kolam ukuran kecil di pekarangan rumah.
Budidaya ikan, yang di masa sebelumnya juga terkait dengan aktivitas pembesaran ikan, kini lebih didominasi pada usaha pembudidayaan ikan. Keterbatasan lahan menjadi sebab utama.
Kurniawan (41), Ketua Kelompok Perikanan Family Jaya 3 di kelurahan tersebut, menyebutkan, hingga 2011 ia masih mengelola lahan seluas 2.000 meter persegi. Sebagian di antaranya dipakai untuk budidaya ikan. Ikan lele dan metode tumpangsari antara gurame dan nila menjadi fokusnya.
Saat itu, penghasilan hingga Rp 4 juta bisa diperoleh dalam sebulan. Kini, lahan untuk budidaya yang difokuskan untuk aktivitas pembenihan dalam kelolaannya hanya sekitar 100 meter persegi.
Pendapatan bersih menjadi sekitar Rp 1,5 juta. Karena itulah, Kurniawan juga melakukan aktivitas pemasaran hasil budidaya ikan dari para pengelola kolam lain setelah sebelumnya ia dihubungi sejumlah pembeli.
Kurniawan mengatakan, pasokan ikan konsumsi dari Kota Depok adalah penyangga bagi kebutuhan konsumsi di Jakarta. Selain dari Bojongsari, hasil-hasil budidaya ikan di Kota Depok berasal pula dari Sawangan, Tapos, Cilodong, dan Cipayung.
Akan tetapi, kini Kurniawan cenderung khawatir dengan laju alih fungsi lahan yang bisa mengancam aktivitas budidaya ikan. Ia memperkirakan, di sejumlah wilayah, aktivitas budidaya relatif bisa bertahan sekitar lima tahun ke depan sebelum alih fungsi untuk kawasan hunian mengubah kehidupan warga.
Keahlian warga
Saat ini, sejumlah warga melengkapi kegiatan ekonomi mereka dengan usaha peternakan sebagai respons atas kecenderungan berkurangnya lahan. Komoditas yang dipilih biasanya ayam atau kambing,atau mengerjakan pekerjaan serabutan. Bertukang di rumah-rumah warga adalah salah satu pilihannya.
Hari itu, salah satu bagian rumah Kurniawan tengah diperbaiki. Kusen jendela di kamar depan tengah diganti.
Adalah Hata Permana (51) yang hari itu tengah mengganti kusen jendela kediaman Kurniawan. Kelihaian Hata bertukang membuatnya cenderung lebih memilih aktivitas tersebut selama tiga tahun terakhir. Padahal, ia punya lahan sekitar 500 meter persegi untuk kolam pembenihan ikan. Hata juga piawai melakukan kawin suntik pada komoditas lele.
Hata, yang mendapatkan keahlian hanya dari memperhatikan praktik serupa dari orang lain, mengatakan, aliran air kali cenderung lebih baik untuk budidaya ikan ketimbang air tanah. Kandungan asam dalam kadar tertentu, ujar Hata, membuat air tanah tidak bisa langsung dipergunakan dan cenderung butuh pengendapan.
Ia masih menunggu saat yang tepat untuk memulai lagi mempraktikkan keahliannya itu. Baginya hanya aliran air itu yang jadi kendala satu-satunya. Tantangan teknis lain tidak dianggapnya sebagai penghalang.
”(Orang sini) Dasar \'darahnya\' petani (pembudidaya) ikan,” kata Kurniawan.
”Darah” sebagai pembudidaya ikan itu juga yang terus melekat dalam diri Nahrowi (51) yang bertugas di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Benih Ikan (BBI) Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKPPP) Kota Depok. Sarjana bidang ilmu agama Islam yang sempat mengelola toko listrik dan bahan pokok itu akhirnya mantap untuk kembali menggeluti aktivitas pembenihan ikan.
Ia bertugas sejak pukul 05.00 dan kerap baru usai sekitar pukul 02.00. Akan tetapi, ia merasa badannya lebih bugar ketimbang saat mengelola toko dan berdiam seharian. ”Sekarang tokonya dikelola istri saya,” kata Nahrowi.
Kemampuan turun-temurun dalam membudidayakan ikan membuat nyaris setiap warga bisa memberikan nasihat teknis ihwal pembudidayaan ikan konsumsi sekalipun yang bersangkutan sedang tidak menjalaninya.
Hari ini, sejumlah orang memang cenderung mengurangi aktivitas budidaya ikan atau bahkan berhenti sama sekali. Berkurangnya lahan menyusul alih fungsi sebagai dampak perkembangan dan pertumbuhan penduduk menjadi salah satu tantangan yang hingga kini terus dihadapi.
Tantangan selanjutnya, kualitas Kali Angke yang membelah sebagian kawasan tersebut, dengan kondisi yang cenderung mulai tercemar sejak dari hulu di kawasan Bogor, Jawa Barat. Ini masih ditambah dengan debit air yang pada waktu tertentu bekurang atau bahkan berhenti sama sekali.
Padahal, aliran air dari kali dibutuhkan untuk mengisi kolam-kolam pembenihan dan sebagian kecil di antaranya pembesaran ikan. Sejumlah warga menyebutkan, pengurangan atau bahkan berhentinya aliran kali kerap disebabkan gangguan di pintu air di kawasan Kampung Kandang, Kelurahan Duren Seribu, yang membagi aliran air ke tengah menuju Kelurahan Curug dan bagian timur di Kelurahan Duren Mekar.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Benih Ikan (BBI) Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKPPP) M Nur Hidayat mengatakan, tantangan lain terkait dengan kondisi cuaca. Menurut dia, hal itu berupa siklus tahunan yang cenderung menyebabkan sakit pada ikan.
Masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, ditandai dengan turunnya suhu pada pagi lalu panas pada siang, menjadi salah satu latar belakangnya. Tindakan pemberian vitamin dan penurunan tinggi air dalam kolam, dari 80 sentimeter menjadi 50 sentimeter, dilakukan sebagai respons. Akan tetapi, siklus tahunan itu terkadang belum dapat dihindari sepenuhnya.
Tantangan selanjutnya, ujar Nur, ialah kecenderungan tidak terjadinya regenerasi di kalangan pembudidaya ikan konsumsi. Padahal, tingkat permintaan ikan konsumsi relatif besar dan cenderung naik.
Ia mencontohkan, untuk komoditas ikan lele, misalnya, di Kota Depok saja pada periode 2014-2015 terdapat sekitar 300 penjual pecel lele dengan tenda-tenda di pinggir jalan. Setiap penjual di lokasi-lokasi tersebut butuh sekitar 20 kilogram lele per hari. Jumlah tersebut diduga makin banyak lagi pada tahun ini.
Demikian pula dengan permintaan untuk produk-produk olahan ikan, seperti bakso ikan, fillet, dan abon ikan. Permintaan untuk bahan baku produk-produk olahan ikan ini relatif banyak berasal dari Kecamatan Cipayung, Kota Depok.
Kekhawatiran tergusur
UPT BBI Kota Depok didirikan mulai 2015. Nur mengatakan, adalah usulan masyarakat yang khawatir aktivitas budidaya ikan di Kota Depok bakal tergusur oleh alih fungsi lahan, sebagai latar belakangnya.
Lahan warga dengan luas sekitar dua hektar lantas dibeli pemerintah. Delapan warga, termasuk Nahrowi, direkrut sebagai petugas.
”Masing-masing punya keahlian sendiri-sendiri,” kata Nur.
Benih ikan lele, gurame, serta nila merah dan hitam dihasilkan dari tempat itu. Kelompok-kelompok pembudidaya ikan bisa memperoleh benih secara gratis setiap dua tahun sekali setelah mengajukan proposal kepada dinas terkait.
Nur menyebut, tingkat permintaan benih dalam tiga tahun terakhir relatif stabil. Kelompok-kelompok pembudidaya ikan yang memanfaatkan pekarangan kini menjadi salah satu fokus pendampingan menyusul alih fungsi lahan di sejumlah lokasi. Total, mereka tergabung dalam 30 kelompok yang tersebar di Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Tapos, Cilodong, dan Cipayung.