Suradi (49) masih terlihat lemas dan kerap menatap kosong hingga sepekan setelah anaknya tewas seusai menonton pertandingan sepak bola. Ia hanya bisa menjawab lirih pertanyaan dari para wartawan ketika ditanyai perihal kematian anaknya tersebut.
”Semoga perkara ini diusut sampai tuntas. Meninggalnya anak kami ini harus menjadi yang terakhir kali dalam pertandingan sepak bola,” kata Suradi seusai kunjungan Polda DIY, Polres Bantul, dan manajemen PSS Sleman di rumahnya, di Dusun Balong, Desa Timbulharjo, Bantul, Rabu (1/8/2018).
Anak laki-laki Suradi itu bernama Muhammad Iqbal Setyawan (16) yang meninggal akibat dikeroyok sejumlah oknum suporter dalam laga derbi antara PSIM Mataram melawan PSS Sleman, di Stadion Sultan Agung, Bantul, Kamis (26/7/2018). Selain Iqbal, ada sembilan korban lain yang mengalami luka-luka. Pertandingan yang berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan PSIM itu tercederai dengan insiden ini.
Dalam pertandingan itu, seluruh tribune stadion membiru sesuai dengan warna kebesaran tim yang berlaku sebagai tuan rumah, yaitu PSIM Mataram. Tidak terlihat satu pun atribut berwarna hijau yang menjadi warna kebanggaan PSS Sleman.
Sedari awal, pihak manajemen bersama kepolisian telah berusaha mencegah terjadinya bentrokan dengan mempertemukan suporter kedua tim yang berlaga itu, beberapa hari sebelum laga. Dalam pertemuan itu, dicapai keputusan bahwa suporter dari PSS Sleman hanya mendapat 30 tiket dan akan mendapatkan pengawalan dari pihak suporter PSIM Mataram, juga aparat keamanan.
Manajer PSS Sleman Sismantoro menyatakan, pihaknya mengimbau suporter PSS Sleman tidak menonton langsung pertandingan di stadion untuk mencegah terjadinya bentrokan. Di satu sisi, tiket yang disediakan sekitar 17.000 ludes diborong suporter PSIM.
Ketua Panitia Pelaksana PSIM Wendy Umar juga telah mengusahakan peningkatan keamanan dengan menambah jumlah petugas. Aparat keamanan yang semula hanya disiapkan sekitar 350 personel telah ditingkatkan menjadi 1.250 orang. Sayangnya, bentrokan tetap terjadi, hingga memakan korban.
”Itu semua di luar kendali kami. Kami telah berusaha semaksimal mungkin dengan meningkatkan jumlah petugas. Kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya bagi keluarga korban,” ujar Wendy seusai pemakaman Iqbal, di Bantul, Jumat (27/7/2018).
Ironisnya, Iqbal sebenarnya penonton yang netral. Ia tidak memihak klub mana pun yang bertanding pada hari itu. Ia memang gemar menonton pertandingan sepak bola, baik yang disiarkan di televisi maupun digelar di stadion.
”Anak itu memang hobi dengan sepak bola. Sepengetahuan saya, dia tidak ikut kelompok suporter mana pun. Siapa pun yang bertanding, kalau dia ada waktu luang, pasti ditonton,” tutur Suradi lirih.
Naas bagi Iqbal yang begitu mencintai sepak bola, ia harus meregang nyawa akibat sepak bola pula. Ia disangka sebagai suporter dari PSS Sleman saat hendak keluar dari stadion beberapa saat sebelum pertandingan selesai.
”Saya sebenarnya sudah meminta dia untuk menonton dari rumah saja. Wong itu disiarkan di televisi. Selain itu, suasananya sedang tidak kondusif. Tapi, bagaimana lagi, tetap memaksakan diri untuk datang,” lanjut Suradi.
Oktafa Setiawan, warga Balong dan tetangga Iqbal, menyebutkan, Iqbal dikeroyok setelah temannya, Edy Nugroho (20), digeledah oleh oknum suporter di pintu keluar tribune. Edy didapati memiliki identitas sebagai warga Sleman dilihat dari KTP-nya.
”Edy lalu dipukuli oleh oknum suporter itu. Lalu, ia ditanyai datang bersama siapa saja. Edy menunjuk Iqbal. Dia lalu dikejar dan dikeroyok. Padahal, mereka datang tanpa atribut apa pun,” kata Nugroho.
Hingga Rabu, pihak kepolisian telah menangkap enam tersangka terkait insiden pengeroyokan tersebut. Wakil Kepala Polres Bantul Komisaris Mariska Fendi Susanto menyatakan, kasus itu masih terus dalam pengembangan dan akan diusut tuntas. Hal itu bertujuan untuk memberikan efek jera agar kejadian serupa tak terulang.
Menurut riset Save Our Soccer, tercatat 11 suporter tewas akibat sepak bola sepanjang 2017. Jumlah itu menjadi yang terburuk setelah 2012, yang mencatatkan hingga 12 suporter tewas (Kompas, 14/10/2017).
Sismantoro berpendapat, para pelaku sepak bola seharusnya melihat klub, manajemen, dan suporter sebagai sebuah entitas. Ketiganya berkaitan satu sama lain sehingga suporter tidak bisa dilepaskan begitu saja. Klub ataupun manajemen bertanggung jawab untuk mendewasakan suporternya.
”Suporter harus lebih dewasa. Ini tugas manajemen maupun klub. Pembinaan dilakukan bersama-sama. Sepak bola juga seharusnya jadi hiburan bagi masyarakat. Jangan sampai menjadi ketakutan bagi masyarakat,” ucap Sismantoro.
Lambat laun, makna suporter akan terkikis dengan sendirinya jika korban luka dan korban jiwa terus berjatuhan dalam sepak bola nasional. Alih-alih sebagai pembakar semangat bagi pemain, suporter justru menjadi penebar rasa takut. Rasa cemas seakan menjadi selimut tebal bagi mereka yang ingin menikmati pertandingan sepak bola secara langsung di stadion.