Lagi-lagi Warga Dijadikan Tersangka Pembalakan Liar
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS - Polisi tetapkan tiga tersangka dalam kasus pembalakan liar di Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Ketiganya adalah warga sekitar yang ditangkap Rabu (1/8/2018), saat menarik kayu-kayu tanpa dokumen. Kejadian-kejadian sebelumnya, status tersangka juga hanya menyentuk warga, yang beraksi karena ada permintaan atau diupah murah.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kapuas Ajun Komisaris Iqbal Sangaji menjelaskan, ketiga tersangka saat ini masih proses pemeriksaan di Polres Kapuas. Ketiganya ditangkap pada Rabu (1/8/2018).
“Sesuai aturan yang berlaku, kami bawa dan periksa. Mereka tidak bisa menunjukkan dokumen apapun terkait hasil kayu yang mereka bawa,” kata Iqbal dihubungi dari Palangkaraya, Kalteng, Kamis (2/8/2018).
Para tersangka dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 ayat 3, di mana setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapiSurat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Ketiganya diancam hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 10 miliar.
Sebelumnya, polisi menyita 800 potong kayu bulat yang dihanyutkan di Sungai Mantangai. Beberapa jenis kayu yang diambil adalah kayu terentang (Campnosperma auriculatum), kayu balau merah (Shorea balangeran), dan meranti campuran lainnya. Kayu terentang paling banyak dipotong, karena mudah ditemukan di hutan.
Iqbal mengungkapkan, pihaknya belum bisa mengungkap identitas ketiganya karena masih mendalami kasus. Polisi masih menyelidiki lebih lanjut di lokasi dan mencari tahu akar permasalahan maraknya pembalakan liar di hutan di Kapuas.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono berharap penangkapan tidak hanya sebatas pada pembalak atau pengantar kayu di sungai.
Menurutnya, polisi perlu mendalami kasus hingga bisa mengungkap pemodal di belakang para pekerja yang diupah harian. “Kalau stop hanya sampai yang narik kayu di sungai, maka kejadian ini akan berulang dan hanya masyarakat kecil saja yang disalahkan,” kata Dimas.
Kejadian rutin
Sejak 2016, di Sungai Mantangai saja, setiap tahun terjadi pembalakan kayu. Puluhan ribu meter kubik kayu keluar dari hutan di sekitar Sungai Mantangai. Hampir setiap tahun juga pihak kepolisian menangkap pelaku dan menyita kayu-kayu yang dihanyutkan di sungai.
Mei lalu, polisi juga memusnahkan kayu-kayu hasil pembalakan dari Mantangai. Kurang lebih 3.000 batang kayu bulat dimusnahkan dengan cara dipotong-potong. Namun demikian, pembalakan masih terus terjadi sampai sekarang.
Pembalakan kayu, tambah Dimas, sudah menjadi mata pencaharian. Perlu pendampingan terhadap masyarakat sekitar untuk mencari potensi hasil hutan bukan kayu.
“Tidak hanya didampingi, tetapi juga sampai dicari pasarnya sehingga mereka bisa mendapatkan kepastian dan penghasilan jangka pendek, tidak hanya jangka panjangnya,” kata Dimas.
Manajer Program Mawas dari Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jhanson Regalino, yang bertahun-tahun melaksanakan program konservasi hutan di wilayah itu mengungkapkan bahwa masyarakat banyak menjual kebun ke perkebunan sawit. Akibatnya, lahan mereka kian kecil.
Program Konservasi Mawas melindungi 309.000 hektar habitat alami orangutan liar yang mencakup dua kabupaten, Barito Selatan dan Kapuas. Rinciannya, lima kecamatan dan 53 desa dengan jumlah 29.000 keluarga.
Selain Yayasan BOS, di wilayah itu juga berbatasan dengan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kapuas-Kahayan dengan luas lebih kurang 102.000 hektar.
“Biaya yang dikeluarkan untuk merehabilitasi atau merestorasi lahan itu tidak sedikit, negara juga yang dirugikan. Masyarakat tetap harus diperhatikan kesejahteraannya, karena ini semua menyangkut itu,” kata Jhanson.