JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan jagung produk petani untuk kebutuhan pakan ternak dinilai belum optimal. Hal itu disebabkan oleh jumlah dan mutu jagung yang belum stabil di tingkat petani.
Petani jagung juga dianggap belum bisa memenuhi permintaan industri pakan ternak dalam partai besar. ”Petani hanya mampu menyuplai 1-2 ton sekali panen,” kata Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia Sholahuddin.
Rata-rata petani jagung memiliki luas lahan panen sebesar 0,25-0,3 hektar dengan produktivitas 5,3-6 ton per hektar. Oleh sebab itu, industri pakan ternak cenderung memilih yang sudah tersuplai di pabrik.
Dari segi kualitas, jaminan dan kontrol terhadap jagung hasil panen masih bergantung pada cuaca. Ketika hujan, waktu pengeringannya bisa 3-5 hari per ton. Selain itu, jagung berisiko tinggi terkena jamur.
Oleh sebab itu, harga saat musim hujan dapat jatuh hingga Rp 2.500-Rp 2.600 per kilogram (kg). Untuk saat ini, kata Sholahuddin, harga di tingkat petani Rp 3.500-Rp 3.600 per kg, sedangkan di tingkat pabrik berkisar Rp 3.800-Rp 3.900 per kg.
Kementerian Pertanian memperkirakan produksi jagung nasional mencapai 26,5 juta ton pada 2018. Menurut Sholahuddin, sepanjang semester I-2018, realisasi produksi jagung nasional telah mencapai 65 persen.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menambahkan, hingga saat ini rata-rata penyerapan jagung secara umum oleh perusahaan-perusahaan pakan ternak sekitar 3 juta ton.
Merujuk pada data Gabungan Pengusaha Makanan Ternak, menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita, penyerapan jagung untuk pakan ternak di tingkat petani berkisar 2,83 juta ton sepanjang Januari-Mei 2018. Angka ini meningkat 32,8 persen dari tahun 2017.
Mobil pengering
Dalam kesempatan yang sama, KTNA menandatangani nota kesepahaman terkait mobil pengering jagung dengan PT Chaproen Pokphand Indonesia. KTNA mendapatkan fasilitas tiga mobil dengan kapasitas pengeringan 1 ton per jam.
Ketiga mobil ini akan berkeliling di Gorontalo, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun mobil pengering yang dibuat di dalam negeri itu senilai Rp 1,2 miliar per unit.
Winarno menilai, mobil jagung pengering itu merupakan salah satu solusi dalam pascapanen jagung. ”Jika tidak segera dikeringkan, jagung akan rusak dan terkena penyakit,” ucapnya setelah penandatanganan, Jumat.
Agar tidak terjadi bentrokan dalam pemakaiannya, petani jagung akan mengatur waktu tanamnya dengan jeda 3-5 hari antarblok. Nantinya, petani dapat mengeringkan jagung hasil panennya secara bergantian.
Ke depan, mobil pengering jagung itu diharapkan dapat mencapai 10 unit. Ketut mengatakan, pihaknya akan mendorong perusahaan-perusahaan pakan ternak untuk menyalurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka memenuhi target tersebut.