JAKARTA, KOMPAS- Pemilihan umum di Indonesia sudah digelar 11 kali dengan empat di antaranya diselenggarakan pada era reformasi. Media punya peran kuat dan penting dalam mewujudkan pemilu yang damai, transparan, adil, dan mendorong terciptanya penguatan sistem demokrasi.
Sebagai pilar keempat demokrasi, kehadiran media dibutuhkan untuk memberikan informasi terkait dengan berbagai pilihan yang baik bagi masyarakat. Media juga ikut mengawal supaya Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis dan transparan.
”Tanpa transparansi, keadilan, dan kebebasan, kita tidak mungkin mencapai negara seperti yang kita harapkan. Demokrasi hanya bisa terjadi dengan informasi yang akurat dari media yang independen,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara peluncuran Rumah Pemilu Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (2/8/2018).
Hadir pula antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua KPU Arief Budiman, serta sejumlah putra dan putri presiden RI, seperti Puan Maharani, Alissa Wahid, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, dan Ilham Akbar Habibie.
Program terpadu Rumah Pemilu oleh harian Kompas dan Kompas.id, Kompas.com, serta Kompas TV ini diluncurkan untuk Pemilu 2019 yang untuk pertama kalinya menggabungkan pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada hari yang sama.
Meskipun pemungutan suara dilakukan pada 17 April 2019, tahapan pemilu yang akan diikuti 20 partai politik ini sudah berlangsung sejak beberapa saat lalu. Pendaftaran calon anggota legislatif telah ditutup pada 17 Juli lalu. Pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden akan dibuka pada Sabtu esok hari sampai 10 Agustus.
Partisipasi
Dalam pidatonya, Kalla mengatakan, pada era reformasi, pemilu menjadi bagian kehidupan masyarakat untuk menentukan nasib bangsa dan negaranya selama lima tahun ke depan. Untuk itu, masyarakat memerlukan informasi selengkap dan seakurat mungkin dari media yang independen. Bahkan, media bisa meningkatkan partisipasi masyarakat di pemilu.
Tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilu Legislatif 2014 adalah 75,11 persen. Sementara saat pemilihan presiden, tingkat partisipasinya hanya 69,58 persen.
Untuk Pemilu 2019 yang akan diikuti 196 juta pemilih dengan 80 juta di antaranya adalah pemilih muda, menurut Ketua KPU Arief Budiman, target partisipasi pemilihnya adalah 77,5 persen. Untuk mencapai target tersebut, KPU antara lain mendirikan rumah pintar pemilu di KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memudahkan masyarakat mendapat informasi serta lebih tertarik dengan isu-isu kepemiluan.
”Dari pemilu-pemilu sebelumnya, target itu memang belum tercapai. Tetapi, tren untuk mendorong tingkat partisipasi itu bisa kita mulai dari sekarang,” ujarnya.
Di sisi lain, tahap awal penyelenggaraan Pemilu 2019 saat ini juga tengah dibayangi sejumlah tantangan, seperti adanya permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi.
Kendati demikian, Mendagri Tjahjo Kumolo meyakini, Pemilu 2019 akan berlangsung aman dan lancar. ”Saya yakin tidak ada yang terganggu. KPU sebagai penyelenggara sudah mengeluarkan berbagai peraturan dengan sangat mendetail,” katanya.
Untuk mendorong integritas dan transparansi sistem politik ke depan, Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan, sistem pemilu perlu dievaluasi agar tidak berbiaya tinggi. Pasalnya, politik berbiaya tinggi, seperti saat ini, cenderung mendorong praktik-praktik transaksional, yang berujung pada praktik korupsi.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menggarisbawahi pentingnya peran semua pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, politisi, media massa, hingga masyarakat, untuk mewujudkan pemilu yang damai dan rukun. Pilihan politik yang berbeda tidak seharusnya berujung pada perpecahan.
”Ibarat pertandingan sepak bola, sukses tidaknya dipengaruhi oleh banyak pihak, bukan hanya pemain bola dan panitia, tetapi juga penonton. Jadi mari semua ikut menjaga, jika tidak, kita semua yang akan rugi,” ujarnya. (Ina/Age)