Ekonomi Digital Perlu Diajarkan di Perguruan Tinggi
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS —Fakultas ekonomi dan bisnis di Universitas harus mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 yang bergerak begitu cepat mendorong perkembangan ekonomi digital. Kampus telah diberi keleluasaan membuka program studi dan kurikulum agar beradaptasi pada perkembangan industri, namun hingga kini belum ada satu program studi ekonomi digital di Indonesia.
“Kalau kita mengelola pendidikan tinggi seperti biasa-biasa saja tanpa ada perubahahan dan upaya beradaptasi pada Revolusi Industri 4.0, kita tinggal menunggu kehancuran saja,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir pada Sidang Pleno ke-XV Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia (AFEBI), di Medan, Sumatera Utara, Jumat (3/8).
Acara itu dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Dewan Pengurus Nasional AFEBI Suharnomo, Rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu, dan dekan fakultas ekonomi dan bisnis dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Nasir menekankan, perguruan tinggi tidak bisa lagi menyiapkan lulusan dengan sitem lama dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang bergerak begitu cepat. Perguruan tinggi harus cepat beradaptasi dengan membuka program studi dan kurikulum berbasis ekonomi digital agar lulusannya bisa bersaing dalam industri yang terus berkembang.
Untuk mempercepat adaptasi perguruan tinggi terhadap perubahan industri, kata Nasir, Kemenristek Dikti memberi keleluasaan penentuan nomenklatur atau penamaan program studi baru kepada kampus-kampus. Selama ini, banyak perguruan tinggi yang enggan membuka program studi baru karena nomenklaturnya tidak terdaftar sehingga kesulitan saat proses akreditasi.
“Kampus juga tak perlu lagi mendapat izin pembukaan program studi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Kampus hanya perlu mendapat izin dari Kemenristek dan Dikti untuk membuka program studi baru,” ujarnya.
Kampus tak perlu lagi mendapat izin pembukaan program studi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Nasir menekankan, dalam era industri berbasis digital ini akan muncul profesi-profesi baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Kampus ekonomi dan bisnis tak bisa lagi hanya membuka program studi lama. Program studi baru harus dimunculkan seperti ekonomi digital, e-commerce, teknologi finansial (fintech), dan manajemen ritel.
Kurikulum dasar
Selain itu, kurikulum dasar ekonomi digital harus jadi kuliah wajib di semua program studi di fakultas ekonomi dan bisnis seperti analisis mahadata (big data analytics), guncangan digital (digital disruption), media digital, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan pembelajaran mesin (machine learning). “ Itu termasuk pengembangan e-commerce dan fintech. Itu harus dikembangkan dalam kurikulum fakultas ekonomi dan bisnis di Indonesia,” katanya.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, Suharnomo mengatakan, hingga kini belum ada program studi ekonomi digital di Indonesia. Kendalanya, nomenklatur program studi itu tidak terdaftar di Kemenristek Dikti. Setelah diberikan keleluasaan dalam membuat nomenklatur baru, kampus akan kian membuka nomenklatur baru.
Menurut Suharnomo, ada dua kampus yang akan mempersiapkan diri untuk membuka program studi ekonomi digital tahun depan yakni FEB Universitas Diponegoro dan FEB Universitas Padjadjaran. Pembelajaran di sejumlah kampus FEB di Indonesia juga akan beradaptasi dengan kurikulum ekonomi digital yang terus berkembang. “Kami tidak bisa lagi hanya mengajarkan ilmu yang usang karena perkembangan ilmu ekonomi begitu pesat,” katanya.
Sri Mulyani mengatakan, ekonomi digital telah menimbulkan perubahan dinamika bisnis yang sangat mendasar dan cepat. Pekerjaan-pekerjaan lama hilang akibat otomatisasi, tetapi di saat yang sama pekerjaan baru muncul. “Fakultas ekonomi dan bisnis harus benar-benar memahami persoalan ekonomi digital ini,” katanya.