Sebelum mewujud sebagai patung raksasa, Garuda Wisnu Kencana dihadapkan pada berbagai tantangan. Pengerjaan patung yang terletak pada 276 meter di atas permukaan laut ini terhenti belasan tahun. Pada Sabtu (4/8/2018), mahakarya ini resmi selesai dibangun.
Sebagai ungkapan rasa bakti dan syukur, seniman Nyoman Nuarta sebagai penggagas menggelar pentas bertajuk ”Swadharma Ning Pertiwi, 28 Tahun Anak Bangsa Merajut Mimpi” dengan sutradara teater kenamaan Wawan Sofwan. Pentas ini didukung para seniman, seperti penari kecak Ketut Rina; aktris dan penyanyi Ayu Laksmi, Dira Sugandi, dan Agung Ocha; koreografer Eko Supriyanto; serta penari Keni Soeriatmadja. Panggung pertunjukan dihiasi karya seniman instalasi Rubi Roesli. Sebagai simbol penerapan teknologi, Nuarta melibatkan para seniman video dari Seeds Motion Bandung yang akan membuat video mapping Garuda Wisnu Kencana (GWK).
GWK digagas oleh Nuarta bersama Direktur Jenderal Pariwisata Joop Ave (1982-1988) pada 1989, bermula dari patung setinggi 5 meter yang akan ditempatkan di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Gagasan itu berkembang menjadi keinginan untuk membuat ikon bagi dunia pariwisata Bali yang berakar pada tradisi. Ide ini lalu disambut Gubernur Bali Ida Bagus Oka (1988-1998) pada 1990, yang kemudian mengajak Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana. Mereka berempat melakukan presentasi di hadapan Presiden Soeharto pada 1994.
”Presiden Soeharto setuju dan kami mulai mengolah lahan bukit kapur sebagai land art tahun 1995,” kata Nuarta, Kamis (2/8), di kawasan GWK Cultural Park Badung, Bali. Dua tahun kemudian dilakukan ground breaking pedestal (dasar patung) sebagai penanda pembangunan GWK dimulai. Sayangnya, setelah itu krisis moneter mendera sehingga GWK nyaris ”terbengkalai”. Nuarta yang telah mempekerjakan ratusan karyawan dan seniman, baik di studionya di Bandung maupun di Bali, kelimpungan mencari sumber dana. ”Suatu saat kami hampir tidak bisa membayar gaji karyawan. Jumlahnya lebih dari 400 orang,” ujarnya.
Sejak era 1997 hingga 2013, GWK benar-benar mengalami masa turbulensi. Berbagai persoalan mendera dari kanan-kiri. ”Dari soal pro-kontra keberadaannya sampai soal-soal yang mengarah kriminal,” kata seniman kelahiran Tabanan, Bali, ini. Pada masa itu, ia berpikir untuk membatalkan proyek seni terbesar sepanjang kariernya sebagai seniman.
Seni, teknologi, pariwisata
Di tengah rasa frustrasi yang dalam, Nuarta bertemu dengan pengusaha properti The Ning King. ”Pak The percaya kepada saya untuk berinvestasi di dunia patung. Saya berterima kasih kepada beliau,” kata Nuarta. PT Alam Sutera Realty Tbk kemudian mengakuisisi PT Garuda Adimatra Indonesia sebagai pemilik GWK. ”Sekarang, saya tak punya saham, nol. Namun, tujuannya supaya GWK ini jadi,” ucap Nuarta.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata I Gde Pitana menyambut kehadiran GWK dengan sukacita. Menurut dia, GWK dalam waktu singkat bakal identik dengan Bali dan Indonesia. Kehadiran GWK, ujarnya, menunjukkan manusia modern mampu mewujudkan gagasan besar yang keluar dari stereotip tentang obyek wisata.
”Selama ini, destinasi kita berupa heritage. Kita hanya merawat dan menikmati hasilnya,” kata Pitana. GWK membuktikan, bangsa Indonesia mampu menciptakan ikon kultural sekaligus pariwisata yang akan menjadi penanda di abad post-modern. Karya ini, tambah Pitana, berhasil memadukan antara teknologi modern, tradisi, dan pariwisata.
”Ia akan berupa kawasan kebudayaan dengan patung sebagai daya tariknya,” ucapnya.
Menurut Nuarta, dirinya membentuk tubuh GWK dengan struktur baja pada bagian tengahnya serta kulit dari tembaga dan kuningan. Tembaga menjadi pilihan karena logam ini mudah dibentuk sesuai dengan kontur permukaan patung. Masalahnya, tembaga juga mudah berubah pada suhu tertentu. Karena itu, lembar-lembar tembaga dipotong menjadi keping-keping segitiga, kemudian dilas dengan kuningan.
Seluruh tubuh patung dibangun dari 754 modul (kepingan besar) yang membentuk potongan-potongan horizontal tubuh patung. ”Ini mempermudah pembesarannya. Sekarang saja seluruh permukaan patung seluas 25.000 meter persegi atau 2,5 hektar,” kata Nuarta.
Teknologi pembuatan GWK telah didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual di Departemen Kehakiman dengan nomor hak paten 009388 tahun 1993. Pencapaian teknologi pembesaran patung ini, menurut peneliti kebudayaan asal Perancis, Dr Jean Couteau, menunjukkan bahwa perpaduan seni, sains, dan teknologi berkembang baik di Indonesia. Couteau memuji keberadaan seniman seperti Nyoman Nuarta yang bekerja dengan memanfaatkan teknologi secara maksimal untuk suatu mahakarya. ”Saya kira ini menjadi patung tembaga terbesar di dunia sekarang dan kita harus menghormati keberadaannya,” ujar Couteau.
Hal yang juga luar biasa, kata Couteau, GWK hadir sebagai pemikat kawasan yang akan dikembangkan menjadi taman kebudayaan. Bahkan, sampai di dalam tubuh patung pun, nantinya, orang-orang dari seluruh dunia bisa mengenal keragaman kebudayaan Indonesia. Kehadiran GWK, kata Couteau, bertepatan dengan segregasi yang terjadi di seluruh belahan dunia. ”Dunia sekarang tersekat-sekat oleh radikalisme agama, tetapi GWK hadir untuk mempersatukan. Itulah kelebihan Indonesia,” katanya.
Semua pengunjung GWK nantinya bisa menikmati lanskap Bali dari dalam tubuh patung. Para wisatawan bisa naik sampai ke lantai 22 yang tepat berada pada bagian dada Wisnu. ”Di dalam patung ada banyak fasilitas, berupa viewing gallery dan restoran,” kata Direktur PT Siluet Nyoman Nuarta Djuki Ridwan, yang selama ini bertanggung jawab di lapangan dalam pembangunan GWK selama 28 tahun terakhir.
Kini, GWK benar-benar telah berdiri. Ia tahan terhadap guncangan gempa sampai Magnitudo 7,5 dan terjangan angin dengan kecepatan 250 kilometer per jam. Daya tahan struktur patung seberat 3.000 ton ini telah diuji di laboratorium pengujian di Melbourne (Australia) dan Toronto (Kanada).
Seperti kata Pitana, masa penantian 28 tahun, waktu yang cukup untuk menjadikannya ikon baru kebudayaan dan pariwisata berkelas dunia. Indahnya lagi, GWK dirancang dan dikerjakan anak bangsa, yang telah bekerja keras, kemudian menghadiahkannya di bulan kemerdekaan, saat Indonesia memasuki usia ke-73 tahun!