JAKARTA, KOMPAS - Operasi penangkapan anggota kelompok teroris terus dilakukan tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara RI. Dalam tiga hari terakhir hingga Jumat (3/8/2018), 14 terduga teroris ditangkap di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Penindakan hukum itu menjadi bagian dari penyelidikan kasus-kasus teror terdahulu.
Mereka diduga memiliki kaitan dengan beberapa kasus teror, seperti bom Kampung Melayu, Jakarta, Mei 2017, dan peristiwa di Markas Komando Brigade Mobil Polri, Depok, Jawa Barat, Mei 2018. Penangkapan 14 terduga teroris itu berlangsung di beberapa lokasi, seperti Tasikmalaya, Bandung, Bogor, Cirebon, Indramayu, dan Subang.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin, Jumat, di Jakarta, menuturkan, penangkapan itu merupakan hasil pengembangan dalam sejumlah kasus teror sebelumnya. Tim Densus 88 Antiteror belum akan berhenti menangkap terduga teroris. Upaya penindakan hukum itu, lanjutnya, merupakan atensi Polri untuk mengantisipasi aksi teror yang dapat mengganggu kondisi di Indonesia jelang perhelatan agenda nasional dan internasional pada tahun ini.
Dengan ditangkapnya 14 terduga teroris itu, maka sejak Mei 2018, Tim Densus 88 Antiteror telah menangkap 256 terduga teroris. Mereka terlibat aksi bom Kampung Melayu, bom Surabaya (Jawa Timur), peristiwa di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Polri, dan rencana mengganggu pelaksanaan Pilkada 2018.
Peneliti antiterorisme Certified Counter Terrorism Practitioner, Rakyan Adibrata, mengatakan, langkah pencegahan Polri melalui penangkapan lebih dari 200 terduga teroris patut diapresiasi. Namun, ia menekankan, sejumlah penangkapan tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan terorisme di Indonesia masih jauh dari kata selesai.
Dengan ditangkapnya 14 terduga teroris itu, maka sejak Mei 2018, Tim Densus 88 Antiteror telah menangkap 256 terduga teroris. Mereka terlibat aksi bom Kampung Melayu, bom Surabaya (Jawa Timur), peristiwa di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Polri, dan rencana mengganggu pelaksanaan Pilkada 2018.
Atas dasar itu, untuk meredam perkembangan terorisme di Tanah Air, Rakyan mengingatkan agar seluruh pemangku kebijakan, pemerintah daerah, hingga organisasi kemasyarakatan perlu meningkatkan langkah-langkah pencegahan. Hal itu dapat dilakukan dengan program kontraradikalisasi dan deradikalisasi.
Kontraradikalisasi, lanjut Rakyan, bertujuan untuk memberikan daya tangkal kepada masyarakat agar tak terjangkiti virus radikalisme. Sementara deradikalisasi diperlukan untuk menyembuhkan para terpidana terorisme dan anggota kelompok teroris yang telah teradikalisasi.
”Secara umum, program deradikalisasi yang telah berjalan tak bisa dikatakan gagal. Namun, ada anomali untuk beberapa orang yang ingin terlibat lagi dalam aksi teror sehingga sekadar hukuman penjara tidak sepenuhnya memberikan efek jera,” kata Rakyan.
Pelibatan TNI
Pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) mengenai pelibatan TNI sebagai hasil revisi UU Penanganan Tindak Pidana Terorisme. Perincian pelibatan TNI ini dilakukan agar TNI tetap bertugas dalam koridor yang bisa dipertanggungjawabkan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, pihaknya telah membuat kelompok kerja untuk menyusun bagaimana pelibatan TNI yang tepat dalam penanganan terorisme.
Menurut dia, selama ini penanganan terorisme yang dilakukan Indonesia mendapat apresiasi dari negara lain. Apresiasi itu terkait dengan rasio antara kemampuan meredam aksi dan kemungkinan yang ada. Indonesia selama ini cukup berhasil dengan menggunakan cara yang relatif lunak.
Menurut rencana, masalah penanganan terorisme akan dibahas dalam pertemuan regional pada 5-6 Agustus mendatang. Indonesia akan membahas tentang rencana langkah bersama melawan aksi terorisme dengan memotong jalur-jalur logistik para pelaku terorisme, baik di Indonesia, Australia, maupun regional. (SAN/SEM/EDN)