”Tumbuhkan Uang Anda, Bantu Petani Indonesia”. Begitu TaniFund berusaha meyakinkan calon pemodal di tampilan muka lamannya. Usaha rintisan ini berusaha menghubungkan petani dan pemodal melalui platform pinjam-meminjam daring,
Usaha rintisan (start up) lain yang digawangi anak-anak usia 26-30 tahun, seperti Tanijoy, memiliki visi serupa: membantu permodalan petani, sekaligus memajukan pertanian Indonesia. Ada pula Crowde yang juga menggalang dana untuk membantu petani.
Tak hanya modal, mereka membantu teknis budidaya di lapangan, membantu sarana prasarana produksi, serta menghubungkan petani ke pasar agar mendapatkan harga optimal. Sesuatu yang mungkin absurd di masa lalu. Sebab, jangankan memberdayakan petani, program kredit murah pemerintah sering gagal karena modal dianggap sebagai bantuan atau hadiah, lembaga petani yang abal-abal, atau mental korup pelaksananya.
Jangan pernah mengeluh, berhentilah mengeluh, biarkan orang lain mengeluh karena peluang kalian ada pada keluhan orang-orang itu.
Selain program kredit murah yang belum merata, perbankan dan lembaga keuangan formal belum menjangkau petani gurem perdesaan secara masif. Alasannya bermacam. Selain berisiko tinggi, memodali petani kecil butuh tenaga dan biaya ekstra. Karakteristik pasar komoditas yang fluktuatif, perubahan iklim, serta problem komitmen petani jadi faktor lain. Oleh karena itu, tak heran jika data terkait permodalan petani masih suram.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017, misalnya, menyebut 11,4 persen dari 165.886 rumah tangga petani responden survei menghadapi kendala permodalan. Mereka tidak meminjam modal ke bank, antara lain, karena alasan tidak punya agunan, prosedur yang berbelit-belit, lokasi bank yang relatif jauh, bunga yang relatif tinggi, serta alasan tidak tahu prosedur.
Akan tetapi, seperti pesan Jack Ma, pendiri raksasa ritel daring Alibaba Group, keluhan dan masalah adalah peluang. Kalimat yang sering Ma sampaikan kurang lebih seperti ini, ”Jangan pernah mengeluh, berhentilah mengeluh, biarkan orang lain mengeluh karena peluang kalian ada pada keluhan orang-orang itu.”
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali dalam Disruption (2017) senada dengan Jack Ma. Pesannya, petakan ”penderitaan” konsumen dan manfaat yang diterimanya dalam merancang model bisnis. Model bisnis tak harus sama sekali baru. Anda bisa membuat sesuatu dengan memecahkan masalah yang dihadapi konsumen.
Substansi itu yang menggerakkan anak-anak muda menggarap petani dan pertanian. Lewat survei awal, beberapa di antara pelaku usaha rintisan itu mendapati bahwa tidak sedikit petani masih terjerat rentenir. Petani tidak hanya dijerat pemodal pribadi dengan bunga tinggi, tetapi juga ditekan harga jual hasil panennya.
Akan tetapi, di mata anak-anak muda, sederet problem itu menjadi peluang. Segenap risiko diantisipasi sejak awal. Petani atau kelompok tani calon penerima modal dianalisis kelayakannya. Setelah disetujui, petani didampingi tim lapangan, serupa peran penyuluh pertanian sekaligus pemantau hama tanaman.
Di hilir, tim pemasar dari sejumlah usaha rintisan itu telah memastikan saluran. Intinya, hasil panen petani dijamin terserap pasar dengan harga yang layak. Beberapa usaha rintisan itu bahkan sejak awal proyek telah mengikat kontrak penjualan dengan supermarket, pasar induk, restoran, atau hotel.
Inovasi anak-anak muda itu menyuntikkan optimisme akan masa depan pertanian Indonesia. Model pendanaan dan pinjaman modal secara gotong royong dengan memanfaatkan teknologi menawarkan solusi atas permasalahan klasik yang selama ini dihadapi petani.
Tak semua bertumbuh dengan mulus, tetapi responsnya cukup positif, terlihat dari perkembangan jumlah pemodal dan petani pengakses modal. Dalam 2-3 tahun terakhir juga tumbuh usaha-usaha serupa dengan sasaran dan model bisnis yang makin spesifik.
Ada yang baru muncul, ada yang tengah menikmati perkembangan, tetapi ada juga yang mulai surut. Mereka terus mencari jalan untuk mengatasi kendala. Harapannya, seperti pesan Jack Ma, jangan mengeluh!