Pembuktian Diri "Negeri Bahari"
Cabang layar seperti dalam situasi mati angin. Prestasi meredup, seiring regenerasi atlet yang tersendat. Kini, atlet-atlet layar berjuang memulihkan tradisi medali di Asian Games.
Indonesia selalu berprestasi pada cabang olahraga layar sejak 1998. Namun, pada dua gelaran SEA Games dan Asian Games terakhir, "Merah Putih" paceklik gelar. Pergelaran Asian Games 2018, di perairan sendiri, menjadi pembuktian atlet layar dari negara kepulauan ini.
Kekuatan layar Indonesia mulai memudar. Penandanya adalah saat SEA Games Kuala Lumpur 2017. Pelayar nasional pulang dengan tangan hampa dari 14 nomor yang dilombakan. Padahal, atlet ditargetkan meraih dua medali emas.
Hasil itu sangat mengecewakan, mengingat lawan yang dihadapi masih dalam lingkup Asia Tenggara. Kondisi itu menjadi penanda krisis prestasi layar Indonesia, setelah di Asian Games Incheon 2014 juga pulang tanpa medali.
Padahal sejak 1998 hingga 2010, layar tidak pernah absen menyumbang medali dalam ajang multicabang olahraga Asia itu. Mantan pelayar nasional, I Gusti Made Oka Sulaksana, memenangkan dua emas, satu perak, dan satu perunggu pada nomor selancar angin Mistral, dalam empat ajang Asian Games.
”Memang sampai saat ini belum ada lagi yang sebaik Oka. Ia adalah atlet layar terbaik yang pernah dimiliki Indonesia,” ucap Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (PB Porlasi) Othniel Mamahit, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Oka terakhir menyumbangkan perunggu pada usia 44 tahun di SEA Games Singapura 2015. Sejak saat itu, keran prestasi layar seolah tertutup. Hal tersebut menadakan gagalnya regenerasi alet layar Indonesia.
Dengan kondisi paceklik prestasi dan regenerasi, PB Porlasi dengan berani menargetkan 2 medali emas dari 10 nomor lomba pada Asian Games 2018. Mereka menargetkan satu emas dari selancar angin RS:One, serta satu emas dari antara selancar angin RS:X atau Laser.
Adapun nomor lomba layar dibagi tiga kelas, yaitu selancar angin, satu pegangan, dan dua pegangan. Selancar angin menggunakan papan selancar dan layar. Pegangan tunggal menggunakan perahu kecil dan layar. Sementara itu, pegangan ganda menggunakan perahu sedang dan layar yang dikemudikan dua orang.
Berkaca dari hasil Kejuaraan Asia Layar (ASC) 2018, Juni lalu, di Jakarta, target PB Porlasi terlihat mustahil. Dari kejuaraan yang diikuti 16 negara unggulan Asia itu, Indonesia hanya meraih satu perunggu di nomor RS:One lewat Nenni Marlini dan Ridwan Ramadan. Sementara itu, di nomor lain pelayar nasional tertinggal jauh.
”Dari zaman Oka memang kita bagus di selancar angin. Begitu juga kali ini, peluang medali kemungkinan besar ada di RS:One,” kata pelatih selancar angin, Wayan Sujana.
Selancar angin akan melombakan tiga nomor, yaitu RS:One (campuran) dan RS:X (putra dan putri). RS:One bukan nomor yang dilombakan dalam olimpiade. Nomor itu merupakan permintaan tuan rumah khusus pada Asian Games 2018.
RS:One memiliki layar yang lebih kecil, yaitu 7,8 meter persegi, dibandingkan RS:X dengan 9,5 meter meter persegi. Hal itu membuat RS:One lebih mudah dikendalikan oleh atlet Indonesia yang berpostur tubuh kecil.
Tuah angin
Hasil satu perunggu di ASC 2018 itu menyalakan asa tim ”Merah Putih”. Meski belum sesuai target, Indonesia berpeluang menghidupkan kembali tradisi medali di Asian Games.
Namun demikian, prestasi atlet pelatnas akan bergantung pada kondisi angin saat lomba, di Indonesia National Sailing Center, Ancol, Jakarta Utara. Dengan postur tubuh kecil, pelayar nasional berharap kecepatan angin berkisar antara 5–10 knot.
Pada ASC 2018, dari 6 hari lomba, situasi angin cukup kencang pada 4 hari awal, berkisar antara 10–15 knot. Kondisi tersebut membuat atlet Indonesia kewalahan. Nenni dan Ridwan kebanyakan finis di posisi ketiga hingga keenam.
Sebaliknya, saat dua hari terakhir lomba, angin sempat pelan. Hal tersebut membuat Nenni dan Ridwan sempat mengalahkan dua besar dari China dan Hong Kong. Mereka sempat duduk di posisi pertama dan kedua pada sisa empat babak.
Layar dilombakan selama 6 hari yang terbagi menjadi 12 babak. Setiap harinya akan dimainkan 2 babak. Pemenang lomba didapat dari akumulasi nilai terbaik dalam 10 dari 12 babak.
”Kami berharap angin tidak kencang saat lomba. Karena kalau angin kencang tubuh kami akan terhempas terbawa angin dan sulit mengendalikannya,” kata Nenni yang berpostur 152 sentimeter dengan berat 44 kilogram.
Kondisi angin masih berubah-ubah. Saat Kompas mengamati pelatnas layar, Rabu (25/7/2018), di perairan Ancol, kecepatan angin rata-rata di 12 knot. Sementara itu, pada hari-hari sebelumnya, angin berkisar dari 8 knot–15 knot.
Mengatasi kondisi itu, pelatnas selalu berlatih pukul 12.00 atau sama dengan waktu lomba. Mereka berharap kondisi angin dalam latihan identik dengan saat lomba.
Selain masalah angin, atlet dan pelatih selancar angin berharap peralatan lomba segera hadir. Peralatan yang mereka gunakan saat ini, seperti layar sudah sobek di beberapa titik dan papan selancar sudah ditambal berkali-kali karena bolong.
Peralatan merupakan salah satu hal terpenting dalam olahraga layar. Kondisi sobek dan bolong tersebut membuat laju atlet terhambat dalam cabang yang saling mengadu kecepatan ini.
Di luar selancar angin, pada pegangan tunggal dan pegangan ganda, atlet pelatnas kurang berpeluang. ”Kita realistis saja. Berat untuk meraih medali. Kita hanya berusaha semaksimal mungkin pas lomba,” kata pelatih layar Weng Samsie.