Pada era Orde Baru, presidennya cuma satu orang: Soeharto. Wakil presidennya banyak: Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Adam Malik (1978-1983), Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Sudharmono (1988-1993), Try Sutrisno (1993-1998), dan BJ Habibie (sekitar dua bulan pada 1998). Namun, sebelum pemilihan yang kala itu di tangan MPR, calon wapres hampir tiada yang dapat memastikan. Nama-nama itu disimpan di dalam saku Soeharto. Cuma Soeharto yang tahu. Nama-nama itu muncul sesaat sebelum dilantik di MPR. Makanya ada istilah ”satria piningit”. Istilah itu mengacu pada ramalan Jayabaya, Raja Kediri periode 1135-1157, tentang pemimpin masa depan.
Sampai Jumat (3/8/2018), sehari menjelang pembukaan pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden pada 4 Agustus 2018, juga belum muncul figur yang pasti. Baru Joko Widodo (presiden petahana) yang sudah pasti mencalonkan diri kembali. Jokowi diusung PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, PKB, PSI, Perindo, dan PKPI. Meskipun sudah dilakukan komunikasi, konsultasi, dan lobi politik dengan elite parpol (para ketua umum dan sekretaris jenderal parpol secara terpisah), soal pasangan Jokowi masih teka-teki. Semula kandidat pendamping Jokowi disebut ada 20 orang, lalu menyusut 10 orang, dan kemudian mengerucut menjadi lima orang, terus menukik tiga orang. Kita menunggu final menjadi satu orang.
Apakah orang parpol? Tentu bukan pilihan mudah, apalagi mengingat ada juga ”tekanan” parpol agar Jokowi memilih kader parpol. Apakah berasal dari kelompok profesional, barangkali menjadi salah satu opsi daripada harus kesulitan menggandeng orang parpol. Mungkinkah juga berasal dari militer? Bisa menjadi alternatif, terutama memberikan efek daya dorong kuat. Di Indonesia, militer kerap dipandang mampu melahirkan pemimpin kuat. Tentu Jokowi juga tak bisa mengabaikan semangat religiositas (Islam) yang akhir-akhir ini menguat. Semua pilihan itu harus benar-benar yang dapat memberikan kontribusi besar bagi elektabilitas di pilpres nanti.
Kubu Prabowo, meski belum resmi menyatakan maju dalam Pilpres 2019, juga berupaya keras untuk menahan diri. Tidak mau terpancing juga. Lobi politik saja yang terus digencarkan. Baru saja Prabowo bersepakat dengan Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat). Sinyal kuat Demokrat berkoalisi mendukung Prabowo. Kata SBY, ”Prabowo adalah presiden kita.” Apakah satria piningit merujuk pada Agus Harimurti Yudhoyono yang selama ini menjadi ”putra mahkota” di Demokrat? Tentu tidak segampang itu karena sekutu Gerindra, yaitu PKS, masih ngotot mengajukan kadernya untuk posisi cawapres. Apalagi sekarang ada ”mandat” hasil Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional.
Atau, kalau mengutip Otto van Bismarck (1815-1898), politics is the art of the possible, mungkin saja muncul opsi ekstrem. Katakanlah Prabowo tidak jadi nyalon, tetapi memilih berposisi sebagai king maker. Di kubu ini ada beberapa nama yang mencuat, semisal Anies Baswedan atau Gatot Nurmantyo. Alternatif ini tentu akan membuat paket di kubu Jokowi berubah. Jadi, terburu-buru mengeluarkan sang satria piningit bisa terkurung dalam ”jebakan”. Sebab, seperti bandul timbangan, pemilihan pasangan ini saling terkoneksi dengan lawan politik. Dua kutub saling berhubungan. Salah melangkahkan bidak catur, mungkin saja akan ”dimakan” oleh lawan. Makanya tiap-tiap kubu saling pasang mata dan pasang telinga. Sama-sama membaca langkah-langkah lawan.
Pada pilpres kali ini rupanya posisi paling laris adalah bakal cawapres. Sebetulnya mirip pada zaman Orde Baru. Dengan kekuasaan tersentral di tangan Soeharto, yang terjadi berulang kali justru pemilihan wapres, bukan pemilihan presiden. Berpuluh-puluh tahun publik tak penasaran menanti figur presidennya karena sudah pasti Soeharto. Semua kekuatan politik menyatakan ”kebulatan tekad” memilih Soeharto. Karena itu, publik lebih menebak-nebak siapa wapresnya. Nah, itulah sang satria piningit. Makanya, figur yang bakal jadi wapres itulah yang justru paling ditunggu-tunggu.
Padahal, di zaman itu seorang wapres tak punya kekuasaan riil. Wapres di bawah bayang-bayang presiden. Semasa Orde Baru, wapres dikenal sebagai ”ban serep”. Situasinya untuk ”jaga-jaga” saja. Jika ban kempis, barulah ban serep difungsikan. ”Jika presiden tak ada atau berhalangan, wapres otomatis jadi presiden,” kata Soeharto di Tapos, Bogor, 1994. Barangkali ban serep paling lincah adalah Jusuf Kalla saat mendampingi SBY (2004-2009). Saking gesitnya, JK bahkan dijuluki the real president.
Namun, sekarang bukan era Jayabaya. Dalam buku Suksesi (1997), saya menulis pemimpin dalam konteks negara nasional memuat komponen kekuasaan yang lebih terbuka, tiada unsur mistik seperti kesaktian dan keturunan, tetapi bertumpu pada popularitas rasional dan berwawasan luas, yang tentu saja capable dan acceptable. Kalaupun disebut satria piningit, dia harus mampu mengemban tanggung jawab membawa perubahan luar biasa dalam siklus 20 tahun kedua pasca-Reformasi, terutama membuat negeri ini bersih dari korupsi. Jadi, Pilpres 2019 bukan berakhir pada rebutan kursi.