Unjuk rasa yang digalang Bazaari (kaum pengusaha) di sejumlah kota di Iran sejak akhir Juni lalu hingga sekarang membuat masa depan sistem politik Velayat e-Fakih yang diterapkan di Iran pascarevolusi 1979 menghadapi tantangan terberat. Kaum Bazaari dikenal sebagai salah satu dari tiga pilar sistem politik Velayat e-Fakih. Dua pilar utama lainnya adalah satuan elite Garda Revolusi dan Hauzah Diniyah (pusat kaderisasi para mullah) yang berpusat di kota Qom.
Unjuk rasa kaum Bazaari pada akhir 1978 hingga awal 1979 menjadi faktor kunci ambruknya rezim Reza Shah dan mengantarkan kemenangan revolusi yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini. Pascarevolusi 1979, Bazaari serta-merta menjadi pilar Velayat e-Fakih.
Velayat e-Fakih adalah sistem politik yang diperkenalkan Ayatollah Imam Khomeini, dengan kekuasaan dikendalikan para mullah (ulama) dan kekuasaan tertinggi dipegang pemimpin spiritual. Saat ini Ayatollah Ali Khamenei merupakan pemimpin spiritual, menggantikan Khomeini yang meninggal pada tahun 1989.
Berbeda
Aksi turun jalan kaum Bazaari kali ini berbeda dari demonstrasi pada Desember 2017-Januari 2018. Saat itu, massa bergerak dari Mashhad (sekitar 891 km arah timur kota Teheran) dan hanya digalang kalangan muda sebagai protes atas memburuknya ekonomi.
Kali ini, yang mengejutkan, penggerak unjuk rasa ialah pedagang atau kaum Bazaari. Para analis sepakat, latar belakang protes itu adalah ambruknya nilai mata uang Iran, riyal, hingga 70 persen sejak akhir 2017. Penurunan terparah sejak revolusi 1979 itu merugikan bisnis yang dilakukan Bazaari.
Kini, di pasar gelap, 1 dollar Amerika Serikat setara 120.000 riyal Iran. Padahal, akhir 2017, 1 dollar AS masih setara 42.000 riyal. Akibatnya, inflasi membubung tak terkendali.
Sejumlah sumber, seperti dikutip harian Al Quds Al Arabi, menyebutkan, unjuk rasa Bazaari disebabkan kebijakan Presiden Rouhani melarang impor 1.400 jenis komoditas guna menahan penurunan riyal. Namun kebijakan itu sangat merugikan pebisnis karena memaksa mereka menahan banyak barang mengingat pasokannya jarang dan tak bisa diimpor lagi.
Rouhani dan Pemimpin Spiritual Ali Khamenei berada dalam posisi sulit. Penyebabnya, dalam doktrin, sebagian besar zakat seperlima atau dikenal dengan sebutan Khums untuk para mullah/ulama berasal dari kaum Bazaari. Jika bisnis mereka terganggu, porsi Khums untuk para mullah terganggu pula. Dampaknya, dapat muncul gerakan oposisi dari kaum mullah dan sekaligus Bazaari terhadap pemerintahan Rouhani serta Ali Khamenei.
Rouhani, pekan lalu, menunjuk Abdolnaser Hammati sebagai Gubernur Bank Sentral, menggantikan Valiollah Seif. Hal ini dilakukan dalam upaya mengatasi terus melemahnya riyal. Rouhani, Senin (30/7/2018), juga menyatukan nilai tukar menjadi 1 dollar AS setara 42.000 riyal. Upaya ini belum memberi hasil signifikan karena penukaran riyal di pasar gelap masih merajalela.
Posisi Rouhani kian sulit karena Presiden AS Donald Trump menerapkan paket sanksi tahap pertama mulai 6 Agustus. Paket sanksi berikutnya diterapkan 4 November. Sanksi-sanksi ini merupakan tindak lanjut keputusan Trump, Mei lalu, untuk membatalkan Kesepakatan Nuklir 2015.
Sanksi tahap kedua meliputi sektor migas. Trump meminta negara-negara dan perusahaan menghentikan impor minyak dari Iran mulai 4 November.
Sebaliknya, Iran terus melobi Eropa, Rusia, India, dan China agar tetap menghormati Kesepakatan Nuklir dan tidak mengindahkan seruan Trump agar menghentikan impor minyak dari Iran. Jika AS berhasil menekan negara lain dan perusahaan untuk menghentikan impor minyak dari Iran, negara itu akan kian terpuruk.
Sebagai gambaran, 64 persen devisa Iran selama ini berasal dari ekspor minyak. Jika 64 persen sumber devisa itu hilang, Iran hampir dipastikan ambruk. Hal ini bisa membuka peluang meletusnya revolusi lagi. Namun, jika upaya AS gagal, Iran masih bisa bernapas.
Iran selama ini mengekspor minyak 2,3 juta-2,5 juta barrel per hari. Perinciannya, 450.000 barrel minyak per hari dijual ke Eropa, sementara 1,8 juta barrel per hari diekspor ke Asia. Sebagian besar ekspor ke Asia dinikmati India dan China.
Dengan kata lain, nasib Iran sangat bergantung pada India, China, dan Eropa. Seandainya Eropa, India, dan China tidak menghentikan impor migas dari Iran, sanksi AS tak banyak berpengaruh. Mengingat situasi Eropa dan China yang sedang terlibat ”perang dagang” dengan AS, terbuka peluang mereka akan berpihak ke Iran.