Para pemimpin Khmer Merah adalah sebagian dari putra terbaik Kamboja dan punya kesempatan belajar di luar negeri. Selama di sana, mereka tertarik pada ide- ide radikal yang mendorong mereka berontak dan merebut kekuasaan setelah kembali ke dalam negeri. Selama masa singkat kekuasaannya, para putra terbaik itu memimpin salah satu pasukan paling kejam dan brutal dalam sejarah modern.
Setiap orang yang dianggap menentang atau berseberangan dengan ide mereka akan menjadi korban pembantaian. Orang dewas dibunuh karena dianggap lawan atau penentang ide yang diyakini Khmer Merah. Bayi dan anak-anak dicabut nyawanya karena pasukan Khmer Merah tidak mau mengurus mereka setelah para orangtua dibunuh.
Paling sedikit, orang yang dianggap berseberangan dengan Khmer Merah akan disiksa dan dihukum kerja paksa. "Saya tidak mengerti, mengapa orang bisa melakukan kekejaman seperti ini. Bayi dan anak-anak dibunuh dengan cara yang saya tidak yakin bisa dilakukan manusia yang punya hati," kata Martinus, pelancong asal Belanda yang menyambangi museum Choeung Ek di provinsi Kandal, Kamboja.
Museum itu didirikan di salah satu bekas lokasi pembantaian dan kuburan massal para korban Khmer Merah kala berkuasa pada 1975-1979. Pengelola museum menyediakan pemandu yang akan menceritakan sejarah di sana. Bagi yang tidak mau didampingi pemandu, bisa menyewa pemutar rekaman digital yang sudah dilengkapi dengan cerita soal lokasi itu.
Pencerita dalam rekaman disebut salah satu orang yang selamat dari kekejaman penjaga Choeung Ek, Him Sophy. Ia menceritakan secara jelas apa saja yang terjadi di pusat pembantaian itu.
Kota Hantu
Dalam rekaman itu antara lain diceritakan, lokasi pembantaian itu diabaikan setelah Khmer Merah tergusur dari kekuasaan. Tidak hanya lokasi itu, daerah sekitarnya juga diabaikan. Jauh dari permukiman dan dilarang di dekati selama masa Khmer Merah berkuasa membuat lokasi itu dijauhi.
Bahkan, daerah itu sudah dijauhi orang dari aktivitas sehari-hari. Sebab, lokasi itu adalah kuburan. Sebagian dari kuburan tua di lokasi itu masih terlihat.
Bekas kuburan yang diubah Khmer Merah menjadi lokasi pembunuhan dan kuburan massal serta jauh permukiman membuat daerah itu sempat disebut Kota Hantu. Kota Hantu dan kuburan massal para korban itu ditemukan secara tidak sengaja.
Keterbatasan pangan memaksa seorang warga memasuki Kota Hantu untuk mencari makanan. Ia mencoba keberuntungan dengan menggali tanah di sekitar Kota Hantu. Ia berharap menemukan umbi-umbian.
Sayangnya, ia malah menemukan tulang dan tengkorak. Penggalian lebih lanjut hanya membuat semakin banyak tulang dan tengkorak ditemukan. Sejak itu, upaya pencarian kuburan massal dilakukan di berbagai penjuru Kamboja.
Kini, lokasi pembunuhan dan kuburan massal para korban Khmer Merah itu dijadikan museum. Selain di Choeung Ek, lokasi yang pernah jadi tempat kekejaman Khmer Merah adalah bekas sekolah di Phomn Penh. Oleh Khmer Merah, sekolah itu dijadikan penjara dan dikenal sebagai Tuol Sleng alias S-21.
Penjara itu salah pusat interogasi yang dikelola badan keamanan dalam negeri masa Khmer Merah. Badan itu dipimpin seorang mantan guru matematika yang belakangan bergabung dengan Khmer Merah, Kang Kek Lev alias Dutch.
Sebagian benda yang dipakai untuk menyiksa para tahana di penjara S-21 masih dipajang di Tuol Sleng yang kini menjadi museum. "Kami menjadikan semua itu museum untuk menjadi pengingat, kami pernah mengalami masa gelap," kata Suos Yara, seorang anggota parlemen Kamboja.
Kegelapan di masa Khmer Merah adalah buah kesalahan yang fatal. "Ada persoalan dengan pada beberapa orang yang keluar negeri dan meninggalkan bangsanya untuk beberapa waktu. Mereka merasa ide dari luar lebih baik dibandingkan kebajikan bangsa sendiri. Mereka menilai semua yang sudah diterapkan bangsanya salah dan ingin mengubah itu secara drastis," tuturnya.
Padahal, ide-ide itu belum tentu baik untuk masyarakat atau bangsa. Lebih buruk lagi jika pengusung ide asing itu merasa ide yang mereka bawa adalah yang terbaik dan yang tidak sependapat dengan mereka akan dianggap lawan.
Kamboja sudah mengalami kegelapan akibat pemaksaan ide asing yang dirasa pengusungnya lebih baik dibandingkan pemikiran lain. Kamboja mengingat periode itu dan mempelajarinya agar tidak terjebak pada kegelapan yang sama.