Metamorfosis Bowie
Adityo Wibowo alias Bowie, drumer grup band Gugun Blues Shelter yang ceria itu, pernah terkungkung ketidakpercayaan diri karena sering diremehkan. Pada satu titik, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk jadi seseorang. Dari balik drum, Bowie mewujudkan itu.
Di setiap kesempatan bermusik bersama Gugun Blues Shelter (GBS), Bowie selalu antusias, penuh energi, dan seru. Sering kali aksinya atraktif. Itu seperti terlihat juga ketika GBS tampil menyanyikan empat lagu di Menara Kompas, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selang beberapa hari, Bowie memamerkan foto di Instagram bersama Tohpati, Indro Hardjodikoro, dan Djaduk Ferianto dengan latar belakang salah satu panggung Jazz Gunung yang digelar di Bromo, Jawa Timur, pada 27-28 Juli. Selain drumer GBS, Bowie juga drumer Tohpati Bertiga, band tempat Tohpati bermain gitar dan Indro sebagai basis. Di foto itu, senyum Bowie merekah dan matanya berbinar.
”Hidup itu misterius. Dulu gue punya keinginan menjadi terkenal, tetapi enggak tahu bakal kayak apa efeknya: bisa keliling dunia, main sama Tohpati dan Indro dalam satu band. Ketemu Gugun. Kenal dubes-dubes,” kata Bowie ketika berbincang dengan kami di Carburator Springs, sebuah tempat yang menyediakan fasilitas kafe, studio motor, juga ruang pamer, di Jakarta Selatan, Selasa (31/7/2018).
Bowie yang sekarang terlihat percaya diri sesungguhnya sosok yang telah melewati proses panjang. Dari proses itu kemudian dia memetik energi positif sebagai modal bermetamorfosis.
Bowie remaja sudah bercita-cita menjadi penggebuk drum. Itu lantaran drum merupakan alat musik pertama yang dia lihat dan mainkan ketika main ke rumah teman di masa kecilnya di kompleks di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Kala itu, teman-teman Bowie juga senantiasa menganggapnya anak bawang, figuran, dan diremehkan.
Ketika teman-temannya pergi bermain bersama, mereka kerap melupakan Bowie. Mereka ini anak-anak remaja gaul perkotaan yang kerap membawa mobil untuk nongkrong di kawasan seperti Senayan atau Menteng. Sesekali Bowie diajak, tetapi hanya menjadi pesuruh beli rokok atau minuman.
Di masa itu, banyak temannya mampu les musik di sebuah sekolah musik ngetop di bilangan Dharmawangsa. Pembetot bas Indro Hardjodikoro salah satu pengajar di sana.
Selain mahal, orangtua Bowie tak mengizinkannya ikut les musik di sana yang lokasinya jauh dari rumah. Padahal, setengah mati dia ingin mengembangkan bakat. Dia ingin jago main musik juga agar dilirik perempuan. Sebuah motivasi hormonal yang lumrah di masa remaja.
Bowie menyiasati kondisi itu dengan ikut nebeng menemani salah satu temannya yang les di sana tiap pekan. Dia rela menunggu berjam-jam sambil sesekali mengintip ke ruang kelas. Masa yang paling ditunggu Bowie adalah saat bubaran les. Sebab, biasanya para murid akan berkumpul di warung dekat sekolah itu untuk review pelajaran yang baru saja mereka terima. ”Gue catetinajareview-nya itu di kepala gue. Itu gue nekat aja supaya gue bisa belajar.”
Bowie akhirnya bisa les belajar drum dengan Gusti Hendy, penabuh drum dari grup band Gigi, karena lokasi lesnya dekat dari rumah. Dengan begitu, ia cukup pergi-pulang les dengan mengayuh sepeda sekitar 15 menit saja, tak perlu mengeluarkan ongkos transportasi. ”Hendy guru yang baik. Gue belajar yang penting banget dari dia. Waktu itu gue SMA kelas I, uang lesnya cuma Rp 60.000 sebulan,” kata ayah dari Bonham (6) ini.
Tak pernah disangkanya, Indro yang dulu kerap ia intip tengah mengajar teman-temannya itu, juga Tohpati yang menjadi panutan banyak anak muda pemelajar musik, kini menjadi teman satu band Bowie di Tohpati Bertiga. Sebuah lompatan takdir yang bahkan buat Bowie bagai mimpi.
”Hidup ini kayak nunggu tukang bakso lewat. Kalau ditungguinbeneran enggak bakal lewat. Tapi kalau cuma sekadar diimpikan, ’enak nih sore-sore nge-bakso’, biasanya malah tukang baksonya lewat. Mimpi, tapi enggak ekspektasi,” ujarnya.
Menghidupkan mimpi
Mimpi hanya angan-angan mati jika pemiliknya tidak pernah menghidupkannya dalam laku dan tekad diri. Itu juga laku yang dijalani penggemar Led Zeppelin dan Miles Davis ini. Ia menghidupkan mimpinya dengan menjaga disiplin dalam berlatih. Tatkala merintis karier, dia berlatih drum sampai enam jam sehari, dibagi dalam tiga sesi: pagi, siang, dan malam.
Ketika kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Bowie menjaga dan mengembangkan stamina bermusik dengan main di beberapa kafe. Di sela-sela manggung, dia gemar ngobrol dengan banyak tamu. Bawaan Bowie yang ramah dan mudah akrab ini ia rasakan sebagai pengaruh dari kedua orangtuanya yang supel dan senang bersosialisasi.
Keramahan serta kemahiran Bowie bermain drum menarik perhatian seorang pengunjung, Donald Lang, pemilik perusahaan mebel terkenal di Yogyakarta, Bothwell. Dia bertanya tentang obsesi Bowie. Bowie pun mengatakan ingin jadi superstar dan keliling dunia, tetapi tidak punya uang. Waktu itu kira-kira begini adegan dan dialognya:
Mendengar respons Bowie, Lang mengempaskan celemek dan menatap tajam Bowie.
”Mau tahu. Aku dulu tukang semir sepatu saat di Inggris. Saat kecil, aku membersihkan sepatu orang di jalan, tidak punya cukup uang untuk makan. Tapi, sekarang aku punya perusahaan besar karena aku menginginkannya. Jadi, kalau kamu ingin keliling dunia, lakukan,” kata Lang.
”Tapi, aku enggak punya duit.”
”Aduh, kamu selalu ngomong soal duit, duit, dan duit. Hidup bukan tentang duit. Hidup itu tentang kamu menginginkannya atau tidak,” ujar Lang.
Kala itu, Bowie belum paham betul nasihat itu. Sekarang, dia paham bahwa yang utama adalah menghidupkan mimpi dan untuk menjaganya perlu merawat kepercayaan (trust). Kepercayaan itu Bowie bangun melalui interaksi sepenuh hati dengan siapa saja. ”Falsafah Jawa itu sudah bener, deh, orang jujur itu bejo (beruntung),” ujar Bowie terkekeh.
Bowie enggan pura-pura akrab dengan seseorang. Dia selalu mengedepankan komunikasi dua arah yang tulus dan jujur. Dengan demikian, muncul pengertian dan mudah nyambung. Falsafah itu juga berlaku dalam bermusik. Tanpa memahami personel GBS, mustahil dia bertahan menggebuk drum selama satu dekade sejak bergabung dengan Gugun dan kawan-kawan.
”Main musik atau drum itu seperti juga manusia yang harus fleksibel. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Dia harus bisa menempatkan dirinya. Sebab, untuk bisa bermain drum yang benar harus bisa membuat band itu bagus,” kata penyuka tempe ini.
Menata diri
Jika hidup ibarat balapan mobil, tidak semua orang mampu melewati tikungan dengan mulus. Ada saja yang jatuh dan terjerembap di sana. Bowie pernah mengalami itu. Setelah ayahnya meninggal, tak lama kemudian ia harus berpisah dengan pasangan. Sesaat dia kaget, tetapi kemudian menyadari bahwa semua hanya titipan yang bisa sewaktu-waktu diambil jika kita tak waspada.
Dari kesadaran itu, ia merenung dan berefleksi. Dia mulai menata diri menjadi lebih matang dan hati-hati dalam berbicara. Bowie, yang kini telah berkeluarga lagi, mengingat pernah sembarangan mengkritik dan mencela orang lewat media sosial, tetapi lupa bahwa dirinya berperilaku sama dengan yang dia kritik. Ini sekaligus menjadi keprihatinan dia terhadap perkembangan media sosial sekarang. Bowie kini sudah beranjak dari sana dan berusaha menjadi pribadi lebih baik.
Bowie yang dulu anak bawang itu kini ceria dan penuh percaya diri, tetapi juga terkontrol.
Adityo Wibowo (Bowie)
Lahir: Jakarta, 23 Juni 1984
Pendidikan: D-3 Komunikasi-Hubungan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (2007)
Pekerjaan: Musisi, pemain drum pada grup band Gugun Blues Shelter dan Tohpati Bertiga
Beberapa pengalaman pentas:
- Hard Rock Calling, London 2011
- US Tour 2012 (Chicago, Whiskey a Go Go Hollywood, New York, Charlottesville, San Francisco, Washington DC)
- Festival Indonesia, Sydney 2012
- Kota Kinabalu Jazz Festival 2014
- Singapore Jazz Festival 2015
- US Tour 2016 (New York, Charlottesville, New Orleans, Washington DC)
- Guitarist Stories 2016, Kuala Terengganu, Malaysia
- Malaysia Tour 2016 (No Black Tie, Healy Mac’s 12 Blues Bar, KL Street Jam, Bora Bora Penang)
- Holland Tour 2016 (Zoetermeer, Amersfoort, Ede, Apeldoorn, Blierock Festival Venlo, Zwarte Cross Festival)
- Java Jazz Festival 2017
- Bali Blues Festival 2017