Seringai, Merusuh dan Memerah
Jika produktivitas suatu band dihitung dari jumlah produksi album, Seringai ada di luar arena. Namun, bukankah kuantitas memang bukan ukuran keistimewaan?
Sejak terbentuk 16 tahun lalu, kuartet ini ”cuma” mengeluarkan 3 album penuh, 1 album mini, 1 DVD, dan 1 keping singel. Walau begitu, mereka melaju kencang di liga musik rock dalam negeri.
Album terbaru mereka, Seperti Api, keluar 29 Juli 2018 silam, dengan interval enam tahun dari album pendahulunya, Taring. Sebelumnya, album panjang pertama, Serigala Militia, muncul di tahun 2007. Album perdana itu terasa lama mengingat kejutan yang mereka buat ketika pertama kali muncul lewat album mini High Octane Rock pada 2003.
Racikan rock yang dijumput dari idola masa lalu, seperti Black Sabbath, Motorhead, Black Flag, dan MC5, menyegarkan kancah musik cadas di antara kegamangan pada hip metal dan post- grunge ketika itu. Lirik bahasa Indonesia dengan diksi terpilih yang ditulis vokalis Arian 13 disukai kaum muda urban.
Lagu ”Alkohol” bisa jadi anthem bersenang-senang di akhir pekan. Sementara ”Membakar Jakarta” adalah sikap menertawakan keruwetan hidup di metropolitan. Dua lagu dari album debut mereka itu tetap menemukan konteksnya hingga hari ini dan tak cuma jadi milik kaum perkotaan.
Namun, mereka seperti tak pernah tergesa dalam menggarap album. Interval tahun di antara setiap album jadi indikator paling jitu. Di antara itu, rupa-rupa panggung—main di bar dengan penonton tak lebih banyak dari jumlah pemain satu klub sepak bola sampai membuka konser Metallica di Stadion GBK, Jakarta, pada 2013—masuk curriculum vitae mereka. Mereka pernah manggung 80 kali dalam setahun. Angka itu cukup banyak mengingat mereka tak tersorot stasiun televisi arus utama.
Penggemarnya, disebut Serigala Militia, mungkin mulai hafal repertoire panggung mereka, termasuk kapan Arian akan melompat dengan kaki terlipat atau Sammy Bramantyo bakal mengangkang sambil mencabik basnya. Maka, begitu ada album baru, antusiasme membuncah.
Refleksi
Getaran itu menguat sejak 28 Juni ketika mereka mengudarakan lagu ”Selamanya” di kios musik digital. Sontak penggemar menyadari bahwa karya baru tak cuma isapan jempol. Tak lama berselang, muncul pula video musik untuk lagu itu. Hal itu cukup menggembirakan karena Seringai pernah mengabaikan peran video musik di era album Taring.
”Waktu itu emang enggak ada duitnya (buat bikin video). Hasil jualan CD edisi khusus malah kepake untuk outing,” ujar Arian. Outing bagi mereka tentu saja bukan berupa kamping dengan segala gim demi kekompakan tim. ”Kami (semua personel band) barengan ke Australia, nonton festival metal, ha-ha-ha,” lanjutnya.
Itu cerita masa lalu. Seringai kembali mengurusi video. Klip yang disutradarai Surya Adi Susianto itu banyak ditonton. Sepekan tayang di Youtube, penontonnya sampai 100.000 orang. Nanti bakal ada klip kedua untuk lagu ”Adrenalin Merusuh” yang konon sudah kelar dan bakal lebih heboh.
Dua lagu unggulan itu berkelindan dari segi tema. Mereka seolah berefleksi. Pada ”Selamanya”, Seringai menceritakan titian perjalanan mereka (”dimulai dari bersenang”), alasan-alasan menemukan hasrat di musik, serta etos mandiri yang mereka pegang (”renjana hantar kami di sini, lawan arus hidup kami”).
Sementara pada ”Adrenalin Merusuh”, pendengar diceritakan betapa serunya—atau kacaunya—agenda akhir pekan mereka sebagai ”pekerja band”. Liriknya ibarat narasi ”sehari bersama Seringai”, mulai dari latihan, pulang, mengejar pesawat pagi buta, tidur di pesawat, cek suara di arena panggung, jumpa penggemar, sampai menggila di panggung. Tempo lagu yang cepat mewakili cerita itu.
Judul album Seperti Api dipenggal dari lirik di ”Adrenalin Merusuh”. ”Judul itu dipilih untuk menggambarkan passion kami yang selalu menyala,” lanjut Arian. Dari pilihan judul itu, ia lantas menggambar makhluk seram berwarna merah sebagai gambar sampul. Nuansa merah dan hitam mendominasi grafisnya.
Amarah
Album itu memuat 12 lagu, satu di antaranya adalah nomor instrumental sebagai pembuka yang diberi judul ”Hidejokasuru”, yang menurut Arian punya arti ’kemurnian dalam api’. Selain mewakili hasrat yang menyala, api juga bisa diibaratkan amarah.
Mereka marah pada hoaks yang menggejala lewat lagu ”Disinformasi”. Mereka pun gusar dengan bangkitnya fasisme dan rasisme di ranah politik pada lagu ”Sekarang atau Nanti”. Petikan liriknya begini, ”...berbeda rasa atau warna kulit, kebencianmu tak berdasar. Angkuhmu, berpikiran sempit, tiranimu membuatku gusar… sekarang, atau nanti, kebencianmu harus mati”.
Kemarahan pada fasisme itu pernah dimunculkan juga di lagu ”Mengadili Persepsi” dari album Serigala Militia. Lagu bertema demikian tetap dibuat karena kondisi aktual masih seperti itu.
”Hoaks, rasisme, fasisme itu topik usang, tetapi sekarang masih terjadi,” kata pemain drum Edy Khemod. Kegeramannya tersalurkan lewat gebukan drum yang mantap dan bertalu-talu di sepanjang album.
Topik lain, dan baru kali ini mereka sentuh, adalah tragedi pembantaian 1965 dalam lagu berjudul ”Enamlima”. Menurut Khemod, lagu ini bisa jadi pelajaran sejarah kepada pendengar remaja mereka, kelompok usia mayoritas Serigala Militia. ”Ini pelajaran sejarah dalam cara populer, memicu remaja yang suka metal untuk mencari tahu, kalau bisa melawan,” katanya.
Arian punya kedekatan pribadi dengan isu 1965 ini. Kakeknya, pelukis Sindoedarsono Sudjojono, adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terafiliasi dengan PKI. Neneknya, Mia Bustam, pernah mendekam di Penjara Plantungan oleh rezim Orde Baru ketika menumpas PKI.
”Buku sejarah (di sekolah) enggak pernah menjelaskan secara gamblang. Gue senang menggali (informasi) tentang peristiwa ini. Sekarang sudah banyak dokumen yang dibuka kepada publik, gue bagikan ke teman-teman milenial, bahwa ada banyak hal yang ditutupi,” kata Arian.
Aneka topik itu, termasuk fiksi ilmiah di lagu ”A.I.” atau artificial intelligence, dibalut dalam langgam khas Seringai: bertekstur tebal, bising, serta memberi tempat bagi sorakan-sorakan. Ricky Siahaan, gitaris sekaligus produser, bilang, mereka mengeksplorasi bunyi tanpa menuntut perubahan gaya bermain tiap personel.
”Mau berprogres bagaimana pun, selama yang main anak-anak ini, ya, tetap terdengar Seringai. Gue, misalnya, tidak mengharapkan Sammy bermain bas seperti Flea (Red Hot Chili Peppers). Mereka juga enggak minta gue jadi John Petrucci (Dream Theater),” kata Ricky.
Seperti Api adalah album yang dikerjakan secara cermat dengan keseriusan tinggi. Mereka merumuskan materi lewat sesi latihan yang berlangsung hampir tiga tahun. Cara itu membuat mereka bisa memangkas durasi rekaman. Meski demikian, hal itu tak lantas membuat album ini susah didengar.
”Kami serius, kami juga bersenang-senang. Kami serius dalam bersenang-senang,” kata Ricky. Sepertinya ada yang salah dengan Anda jika tidak—minimal—tersenyum setelah mendengar lagu pamungkas berdurasi singkat ”Omong Kosong”. Letupan ”api” hasrat dan amarah tak pernah semenyenangkan ini.