14.444 Warga di Kecamatan Jonggol Kesulitan Air Bersih
Oleh
neli triana
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS - 14.442 warga di tujuh desa kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Untuk mencukupi kebutuhan air, warga harus membeli bahkan harus berjalan kaki cukup jauh untuk menemukan sumber air bersih.
Jenger (55), harus berjalan sekitar dua kilometer untuk mencapai sumber air. Perjalanan pulang semakin berat bagi pria yang tinggal di Desa Sirna Jati ini karena harus memikul dua ember di pundaknya dengan sebilah bambu yang beratnya sekitar 38-40 Kilogram, dan harus naik turun bukit.
Terlihat seperti bekas memar di kedua pundaknya yang sering digunakan untuk memikul ember berisi air. Air yang dibawa terlihat keruh, ia mengatakan, air itu untuk kebutuhan sehari-sehari seperti memasak dan minuman.
“Setelah air masak, dibiarkan dahulu mengendap seharian. Setelah itu baru diminum atau dipakai untuk masak,” katanya, Sabtu sore (4/8/2018).
Ia menceritakan, setiap musim kemarau selalu terjadi kekeringan. Sehingga membuat beberapa desa sulit untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Kekeringan ini semakin diperparah dengan jebolnya Bendung Cipamingkis yang terjadi Maret 2017 silam. Selain itu kata Jenger, kondisi alam dan pohon-pohon yang banyak ditebang juga membuat stok air tanah semakin berkurang.
Di jalan berbatu Acih (50), membawa ember kecil berisi perlengkapan mandi dan detergen. Di atas kepalanya ia membawa pakaian kotor yang dibuntel dengan kain berwarna merah. Akibat kekeringan ia harus berjalan kaki cukup jauh dari rumahnya untuk mencari sumber air.
Sebuah telaga yang tidak jauh dari sawah, ia turun dengan hati-hati. Disana sudah ada kerabatnya, Saeni (50) yang sedang mencuci pakaian. Telaga tersebut ada sumber air yang digunakan Acih dan Saeni untuk mencuci dan membersihkan tubuh selepas bekerja.
Acih menceritakan, kekeringan sejak bulan puasa. Sehingga kebutuhan untuk memasak dan minuman, mereka lebih memilih membeli beli air dari PAM yang sering masuk desa atau membeli air galon seharga Rp 5.000 untuk persediaan dua hari.
“Tapi rasa airnya agak asin-asin,”kata Acih warga desa Ridhogalih.
Di tempat lainnya juga terdapat sekelompok warga memanfaatkan telaga yang masih menyisakan sedikit debit air untuk dipakai bersama. Kekeringan dan kurangnya air bersih membuat mereka harus berbagi dengan kondisi air yang cukup keruh.
Kepala Desa Weninggalih Kusmiaji Loncer mengatakan, musim kemarau menyebabkan dampak kekeringan yang cukup panjang. Karena itu, ia bersama warga bersama-sama membuat sumur bor. Meski tidak bisa memenuhi semua kebutuhan warga akan air, sumur bor ini cukup meringankan warga karena air bisa digunakan untuk minum dan masak.
Kusmiaji dan warga yang terkena dampak kekeringan berharap ada bantuan dari pemerintah terutama untuk kebutuhan air bersih yang sulit mereka dapatkan.
Mantan Camat Jonggol Beben Suhendar mengatakan, kekeringan yang terjadi tidak hanya semata karena musim kemarau. Namun, perlakuan manusia terhadap alam berakibat pasokan air tanah semakin menipis.
Ia mengatakan bagian hulu di puncak Bogor juga berperan penting terhadap pasokan air ke bagian hilir. Jika bagian hulu tidak menjaga ekosistem, akibatnya akan ke hilir juga. (Aguido Adri)