Harga di Pasaran Anjlok, Petani Garam Simpan Hasil Panen
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Harga garam rakyat di pesisir Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, anjlok hingga lebih dari seratus persen selama sebulan terakhir. Kondisi ini terjadi akibat pasokan melimpah seiring dengan masa panen memasuki puncak musim kemarau. Sejumlah petani mulai menyiasatinya dengan memilih menyimpan garam di gudang.
Dari penelusuran Kompas di kawasan tambak garam pesisir Jepara, Senin (6/8/2018), harga garam yang pada Juli mencapai Rp 160.000 per kuintal kini hanya Rp 75.000 per kuintal. Rendahnya harga terjadi mulai dari tingkat petani.
Petani garam Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Jepara, Aan Yusfahudi (31), mengatakan, saat pertama panen, pertengahan Juli, seiring dengan melimpahnya produksi sejak curah hujan terhenti pertengahan Juli, harga terus turun. Dia memperkirakan, kondisi ini akan terus terjadi terlebih puncak kemarau belum tiba.
”Pada kondisi seperti ini, biasanya kami memang menyimpan garam di gudang. Nanti baru dijual setelah musim hujan tahun depan. Tetapi, ada juga beberapa petani yang tak punya gudang akhirnya terpaksa menjual ke pengepul,” ujar Aan.
Aan mengatakan juga mulai menjual garam yang disimpannya di gudang sedikit demi sedikit. Dalam kondisi harga anjlok seperti ini, banyak petani garam, termasuk dirinya, mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aan, misalnya, juga bekerja sebagai pengolah garam. Sejumlah petani lain ada yang bekerja sebagai sopir atau nelayan.
Aan menambahkan, kenaikan harga garam tahun lalu membuat sewa lahan ikut naik. Untuk itu, saat harga garam jatuh seperti saat ini, yang paling menderita adalah petani yang menyewa lahan. Pada 2016, harga sewa lahan sekitar Rp 10 juta per hektar per tahun, tetapi kini melonjak menjadi Rp 24 juta-Rp 28 juta per hektar per tahun.
Rozikan (39), petani garam yang memiliki lahan seluas 1,5 hektar, memilih menjual langsung karena pengepul cenderung mencari garam yang baru panen, bukan hasil simpanan di gudang. Dia pun terpaksa melepas harga sekitar Rp 85.000 per kuintal, dengan keutungan tipis.
Namun, dibandingkan dengan tahun lalu, harga jual garam tahun ini tetap jauh lebih rendah. Pada 2017, harga garam bisa mencapai Rp 300.000 per kuintal.
”Tahun lalu, kemaraunya memang tidak sepanjang tahun ini. Jadi, harganya bagus dan garam terserap. Sementara tahun ini garamnya melimpah. Harga akhirnya turun, tetapi kami tetap terpaksa jual ke pengepul,” ucapnya.
Geomembran
Menurut Rozikan, yang paling berat dari budidaya garam saat ini ialah ongkos untuk membeli plastik geomembran yang berfungsi mempercepat produksi dan meningkatkan kualitas hasil panen. Plastik geomembran 200 mikron harganya sekitar Rp 3,3 juta per lembar. Adapun plastik geomembran 300 mikron mencapai Rp 3,6 juta per lembar. Ongkos produksi lain adalah bahan bakar motor pompa air dan buruh.
”Jika harga (garam) terus turun, bisa saja kami tak lagi pakai geomembran. Padahal, dengan geomembran, produksi dan kebersihan lebih bagus ketimbang dibuat di tanah langsung. Selisih harganya bisa lebih tinggi Rp 20.000-Rp 30.000 per kuintal. Namun, kalau harga jual terus rendah, mungkin kami tidak akan pakai membran lagi,” tutur Rozikan.
Aan dan Rozikan berharap harga jual garam setidaknya bisa di atas Rp 100.000 per kuintal. Namun, keduanya sepakat, yang lebih penting ialah harga yang stabil. Mereka pun berharap pemerintah membuat gudang besar yang nantinya dikelola petani agar penyerapan optimal dan harga stabil.
Luas areal tambak garam di Jepara mencapai 507,71 hektar, tersebar di enam desa di Kecamatan Kedung. Setelah panen raya hingga 56.614 ton pada 2015, tahun berikutnya produksi anjlok menjadi hanya 4.661 ton akibat masa kemarau yang sangat pendek. Pada 2017, kondisi mulai membaik menjadi 36.027 ton.
Kepala Bidang Usaha Peningkatan Mutu Hasil Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Jepara Munawarto mengatakan, Kabupaten Jepara belum mendapat bantuan pembuatan gudang penyimpanan garam berkapasitas besar. Namun, pihaknya sudah mengusulkan ke pemerintah pusat.
Terkait fluktuasi harga, lanjut Munawarto, pihaknya hanya bisa mendorong agar impor garam dapat dikendalikan. ”Kami juga coba pertemukan petani dengan pihak atau perusahaan yang membutuhkan garam. Ini penting untuk memotong rantai pasok garam yang panjang,” ujarnya.