Senayan, Jejak Bangsa Menempa Jati Diri
Pembentuk karakter bangsa dan jati diri orang Indonesia. Itulah makna sesungguhnya perubahan kawasan Senayan, Jakarta Selatan dari perkampungan menjadi kompleks fasilitas olahraga kelas dunia di tahun 1960an. Kala itu, Indonesia memanfaatkan momentum saat bersiap untuk menjadi tuan rumah Asian Games 1962.
Kala itu, orang-orang Betawi di Senayan rela meninggalkan tempat kelahirannya demi kepentingan bangsa. Kepentingan agar lokasi tersebut dijadikan pelaksanaan Asian Games IV/1962, guna menunjukkan kebesaran Indonesia sebagai bangsa berdaulat.
Pesta olahraga pada 24 Agustus–4 September 1962 itu diikuti 18 negara. Dalam buku berjudul Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno yang ditulis Julius Pour (2004), acara pembukaan dihadiri sekitar 100.000 orang. Tiga belas cabang olahraga dipertandingkan, dengan 290 atlet yang mewakili Indonesia. Indonesia menjadi juara kedua, setelah Jepang.
Empat tahun sebelumnya persiapan mulai dilakukan. Ini setelah Indonesia mengungguli Pakistan, 22 suara berbanding 20 suara dalam pemungutan suara sebagai pihak penyelenggara. Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) dibentuk setahun sesudahnya diketuai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Prof Dr Priyono.
Pada tahun 1959, pembebasan tanah di wilayah Senayan mulai dilakukan. Payung hukumnya Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor: KPTS/Paperpu/0732/1959. Surat itu ditambah dengan Keputusan Penguasa Perang Daerah Swatantra TK-1 Jakarta Raya Nomor: Prt/05/PPDSIDR/1959 sebagai instrumen pelaksanaannya.
Itu dilakukan guna mengubah kawasan Senayan menjadi gelanggang olahraga atau Gelora Bung Karno. Sekalipun namanya pernah berganti jadi Gelora Senayan, tetapi nama Gelora Bung Karno kembali dilekatkan dan tetap hingga kini.
Pada 1959 itu Betawi di Senayan mulai dipindahkan ke Tebet, Jakarta Selatan. Di Tebet ada kavling-kavling tanah yang sudah disiapkan DAGI.
A Muchlis Noor (67) masih mengingat jelas semuanya. “Waktu itu saya kelas 3 SD. Tapi (saat itu) wawasan saya terbatas karena masih anak-anak,” kata Muchlis, Kamis (26/7/2018) yang kini tinggal di kawasan Tebet Timur, Jakarta Selatan.
Muchlis, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tebet Timur itu mengatakan, relokasi disertai pembayaran ganti untung. Pemilik lahan tanah dibayar dalam jumlah tertentu berikut aneka pohon di atasnya yang juga diganti uang.
Adapun pemilik bangunan atau rumah beroleh jatah kavling. Ukurannya bervariasi, misalnya kavling “BZ” sekitar 3.000 meter persegi. “Vila” sekitar 600-1.000 m2, hingga kavling “GKP” sekitar 90 m2.
“Dari sana (Senayan) dibayar full dan kita dapat surat kavling,” kata Muchlis. Surat kavling itu lantas bisa ditebus di DAGI dengan harga tertentu.
Hingga tahun 1959 itu, Muchlis dan orangtuanya tinggal di Senayan. Persisnya di lokasi sekitar sisi selatan Parkir Timur Senayan kini. Ia lalu menggambar peta kawasan itu di permukaan papan tulis. Tarikan-tarikan garis dari ujung spidol membentuk denah dengan yakin dan tegas dibuatnya.
“Ini Istora. Ini stadion utama, ini kolam renang, ini TVRI,” katanya sembari menggambar.
Lokasi rumahnya, berdekatan dengan Pimpinan Ranting Muhammadiyah, yang dulu disebut kawasan Bendungan Udik dan belakangan disebut pula secara umum sebagai Senayan. Titik persisnya dulu disebut Gang Masyumi, yang dinamai begitu karena diduga berlatar belakang banyaknya perolehan suara Partai Masyumi dalam Pemilu 1955 di gang itu.
Menurut Muchlis, ketika itu Senayan adalah wilayah perkebunan buah-buahan yang cukup luas dengan hasilnya menjadi barang dagangan di sejumlah pasar. Selisih jarak antarrumah sekitar 20 meter. Jalan Jenderal Sudirman sebagai penghubung ke kota satelit Kebayoran Baru masih sepi. Empat lajur tersedia, dengan jalur lambat untuk delman dan gerobak.
Muchlis menambahkan, kawasan Senayan yang dijadikan gelanggang olahraraga terdiri atas empat kampung utama. Senayan, Petunduan, Bendungan Udik, dan Pejompongan. Awalnya kompleks fasilitas olah raga itu disebut Gelora Senayan karena Kampung Senayan sebagai lokasi yang mula-mula digusur.
Pour (2004), yang di dalam bukunya diperkuat foto-foto karya Yori Antar, menyebut kawasan itu dibangun dalam konteks keseluruhan perencanaan Jakarta sebagai ibukota negara. Dari Jalan Hayam Wuruk/Gajah Mada dengan titik simpul Tugu Monas terus ke Jalan MH Thamrin-Jalan Jenderal Sudirman dengan titik simpul kota satelit Kebayoran Baru. Kawasan Gelora Bung Karno menjadi simpul perpotongan dengan Jalan Jenderal Gatot Subroto. Titik persis simpulnya adalah kawasan Jembatan Semanggi.
Orang Betawi dari Senayan yang lantas pindah ke Tebet, kata Muchlis, bertahan hingga sekitar tahun 1970an. Kini jumlahnya berkurang, menyusul alih kepemilikan karena jual beli. Muchlis memperkirakan jumlah orang Betawi asal Senayan di Tebet tersisa 30-40 persen saja.
Dalam buku Betawi Queen of The East, Alwi Shahab (2002) menyebutkan, banyak Betawi asal Senayan yang sempat pindah ke Tebet, lantas ramai-ramai pindah lagi. Penyebabnya, mereka sering disatroni perampok menyusul uang gusuran yang diterima setelah pindah dari Senayan. Kebayoran Lama, Pasar Minggu, dan Tambun di Bekasi adalah daerah-daerah tujuan selanjutnya setelah Tebet.
Wangsanaya
Basir Bustomi, jawara yang juga dedengkot Perguruan Pencak Silat Beksi Merah dan memiliki akar keluarga dari Senayan mengatakan, nama kawasan itu diduga dari tokoh bernama Wangsanaya di sekitar abad ke-17 dan kemungkinan berasal dari Bali. Kakek Basir adalah Haji Kosim, salah seorang di antara tiga ulama asal Senayan yang disebutkan di atas.
Haji Kosim, imbuh Basir, memiliki usaha sapi perah. Keluarga tersebut sempat pindah ke Tebet dan peternakannya berada di Cipulir, Jakarta Selatan.
Candrian Attahiyat dari Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta mengatakan, kawasan Senayan mulai dihuni sekitar abad ke-18 atau ke-19. Mereka diduga datang dari sejumlah kawasan di kawasan yang berbatasan dengan Banten dan Jawa Barat kini.
Menurut Candrian, saat itu beberapa perkampungan terbentuk secara sporadis. “Lalu kemudian digusur saat Asian Games (1962),” sebut Candrian.
Mengubah Jakarta
Kisah kepindahan orang Betawi di Senayan juga diingat Sidiq (72) yang kini tinggal di Rawa Simprug, Jakarta Selatan. Sidiq mengingat, itulah saat pertama kedatangan orang-orang dari luar Jakarta dalam jumlah besar untuk bekerja di Jakarta.
Selain proyek gelanggang olahraga di kawasan Senayan, pada masa nyaris bersamaan dibangun pula sejumlah bangunan lain. Hotel Indonesia (HI), pembangunan jalan termasuk di kawasan Semanggi, Toserba Sarinah, Wisma Warta di sebelah HI (kini Plaza Indonesia), hingga Tugu Selamat Datang. TVRI juga siaran pertama kali pada Asian Games 1962 tersebut.
Ahmad Jaelani, salah seorang tokoh Betawi yang aktif di Badan Musyawarah Betawi dan kini tinggal di Rawa Simprug menambahkan, itulah kali pertama keluarganya membangun hingga ratusan unit kontrakan rumah. Gunanya untuk menampung para pendatang yang tiba di Jakarta dalam jumlah besar pada waktu nyaris bersamaan.
Ia mengingat, dari sekitar 10 unit kontrakan yang dimiliki keluarganya, dalam waktu relatif singkat bertambah jadi 220 unit kontrakan. “Saya waktu itu sampai kecapekan ngumpulin sewa rumah,” seloroh Jaelani.
Kawasan keluarganya dulu berada di sekitar Jalan Asia Afrika kini. Lahan persisnya berada di lapangan golf dalam kawasan Senayan sekarang.
Menurutnya, penyelanggaraan Asian Games IV/1962 turut pula mengubah wajah Jakarta dalam tempo relatif singkat. Selain berdirinya sejumlah bangunan dan infrastruktur baru, orang-orang dari berbagai daerah juga berdatangan dalam jumlah besar dengan kurun waktu relatif singkat untuk menjemput rezeki di Jakarta.
Arena pembuktian
Rabu (25/7/2018) pagi itu, Sidiq dan Jaelani berada di pekarangan belakang rumah Jaelani yang lapang. Suara ayam jantan dan gemericik air kolam ikan menemani perbincangan.
Salah satu obrolan yang mengemuka adalah kecenderungan semakin merajalelanya pembangunan fasilitas komersial di Senayan. Sidiq dan Jaelani merasa, kesepakatan menerima ganti untung atas kepemilikan lahan di Senayan di masa lalu, bukan ditujukan untuk kepentingan pembangunan hotel, pusat perbelanjaan, dan sebagainya.
“Sebenarnya, kita enggak suka itu,” kata Jaelani.
Kekecewaan senada diutarakan pula oleh Muchlis di Tebet. Mereka sepakat, kawasan Senayan yang dahulu menjadi asal muasal keluarga ditinggalkan karena tujuan awalnya sebagai tempat untuk menempa karakter dan jati diri bangsa.
Padahal dulu, imbuh Jaelani, tiga tokoh ulama Betawi di Senayan yakni Haji Ja’far, Haji Kosim, dan Haji Salam, dipercaya menghibahkan sebagian lahan untuk kepentingan pembangunan gelanggang olahraga guna kepentingan Asian Games. Sikap ulama yang rela melepaskan kepemilikan lahan mereka inilah yang diduga turut meyakinkan warga lain untuk bersedia dipindahkan ke lokasi lain.
Ahmad Fadhli (2011), penulis buku Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20), menyebutkan masyarakat Betawi sangat menghormati para ulamanya yang dipanggil guru, mu’alim, ustadz, habaib dan sayyid. Jawara yang pandai silat pun selalu takzim mencium tangan para ulama.
Kini, di tengah gencarnya pembangunan Jakarta, Senayan condong bergeser menjadi pusat bisnis komersial. Di tengah perubahan yang sulit dibendung itu, masyarakat Betawi berharap Asian Games 2018 mampu menjadi penyeimbang dan menghidupkan semangat menjadikan Senayan serta Jakarta sebagai arena pembuktian kemampuan kompetitif serta jiwa sportivitas penjaga marwah Indonesia.