Keberadaan Perusahaan Swasta di Pulau Rinca Jadi Polemik
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah kalangan masyarakat Nusa Tenggara Timur menolak privatisasi Taman Nasional Komodo. Jika pemerintah ingin mendatangkan wisatawan ke kawasan taman nasional itu dalam jumlah besar, tidak perlu dengan membangun restoran atau fasilitas mewah di dalam kawasan. Privatisasi Taman Nasional Komodo hanya menyebabkan kerusakan habitat.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) Nusa Tenggara Timur (NTT) Abed Frans, di Kupang, Selasa (7/8/2018), mengatakan, pemerintah sebaiknya jujur kepada masyarakat dalam mengelola kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Kehadiran PT SKL di Pulau Rinca, salah satu dari 146 pulau di dalam kawasan TNK, untuk mengelola kawasan itu sebaiknya dihentikan.
”Meski perusahaan itu menciptakan jasa dan sarana wisata alam, itu tidak perlu. Biarkan pengunjung datang dari Labuan Bajo menuju pulau-pulau itu. Kawasan itu tetap alamiah. Konservasi tetap mengutamakan keselamatan dan kenyamanan binatang komodo dengan habitatnya,” tutur Abed.
Anggota Fraksi PKB DPRD NTT Yohanes Rumat mengecam keras upaya swastanisasi pulau-pulau di dalam kawasan TNK menjadi milik swasta. Ia mengatakan, PT SKL memiliki areal seluas 22,1 hektar lahan di Pulau Rinca untuk dikelola berdasarkan surat persetujuan Kementerian Kehutanan Nomor S 1145 Menhut-IV/PJLKKL/2013, tanggal 22 Oktober 2013.
Satwa komodo sebenarnya tidak butuh pengusaha, termasuk pengunjung.
Fasilitas yang akan dibangun di dalam kawasan seluas itu adalah 10 unit double deckvilla (dua kamar), 7 unit double deckvilla (satu kamar), 3 unit office park, 3 unit restoran, 3 unit penginapan staf (12 kamar), 2 unit penginapan untuk laki-laki dan perempuan (8 kamar), 1 unit plaza open air, 1 unit gedung genset, dan 1 unit pengolahan air limbah. Adapun jangka waktu pengelolaannya 55 tahun.
Sebelumnya, Senin (6/8/2018), ratusan masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat melakukan aksi demo damai di halaman Gedung DPRD dan Kantor Bupati Manggarai Barat. Mereka menolak upaya privatisasi kawasan TNK kepada pihak swasta.
Ketua Formapp Manggarai Barat Rafael Todowela menyebutkan, pemerintah harus menjelaskan secara transparan mengenai kebijakan pemerintah menyerahkan sebagian kawasan TNK kepada pihak swasta untuk dikelola. Jika itu sekadar menyenangkan pengunjung, hal itu sama sekali tidak benar. Pemerintah ingin mendapatkan upeti dari kebijakan itu. Satwa komodo sebenarnya tidak butuh pengusaha, termasuk pengunjung.
”Sejak dulu, sebelum ada program konservasi dari pemerintah pun, komodo tetap hidup aman dan nyaman. Setelah ada konservasi, binatang komodo dibawa ke mana-mana, keluar dari habitat asli, ditukar dan dipolitisasi. Sekarang, mau dibangun penginapan dan restoran di sana untuk tamu dan pejabat. Siapa yang untung?” tutur Rafael.
Kepala Balai TNK Budhy Kurniawan mengatakan, PT SKL sebagai pemegang izin usaha penyediaan sarana wisata alam. Namun, atas tuntutan masyarakat, upaya pengelolaan wisata alam di dalam kawasan itu dihentikan sementara.
Pemerhati masalah lingkungan Manggarai Barat, Pastor Marsel Agot SVD, mengatakan, tahun 2001, pemerintah mendatangkan akademisi dari Institut Teknologi Bandung untuk melakukan riset terkait TNK. Ditentukan ada zona inti, zona pemanfaatan, zona konservasi, dan zona lain. Zona pemanfaatan menjadi ruang publik dan rekreasi, artinya pengusaha boleh hadir di sana.
”Kalau ada perusahaan di sana, tentu pengawasan seluruh kawasan jauh lebih intensif. Kebakaran tidak akan terjadi seperti sekarang, kita tidak saling tuduh. Perusahaan itu bertanggung jawab. Juga tidak ada sampah plastik bertebaran di mana-mana. Penghijauan boleh dilakukan untuk mendapatkan air bersih di sana. Ada yang bertanggung jawab,” kata Agot.
Namun, kalaupun ada perusahaan yang mengelola kawasan, 80 persen pekerjanya haruslah penduduk lokal. Lima persen keuntungan juga untuk masyarakat yang berdiam di sana. Pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan Pemda Manggarai Barat, jangan bertindak otoriter.
Demi menghindari saling menyalahkan akibat bela pendapat, Agot mengusulkan agar semua pihak duduk bersama membahas pengelolaan TNK.