JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah akan menyuntikkan dana ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk menutupi kekurangan dana yang terjadi. Besarnya defisit BPJS Kesehatan yang akan ditutupi ditentukan berdasarkan audit dan kajian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Di tahun 2018 ini, persoalan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun ini sudah muncul ke permukaan sejak Februari. Hal ini terdeteksi dengan menumpuknya klaim tagihan dari rumah sakit yang di beberapa tempat sampai menyebabkan gangguan pelayanan kesehatan bagi peserta jaminan kesehatan.
Meski saat itu pemerintah telah memutuskan bauran kebijakan untuk mengatasi persoalan tersebut, masalah defisit belum sepenuhnya teratasi. Kondisi ini mau tidak mau mengganggu arus kas BPJS Kesehatan sehingga berisiko mengganggu layanan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Berkaitan dengan itu, Presiden Joko Widodo pada Senin (06/08/2018), memimpin rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta. Hadir antara lain Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris.
Rapat yang berlangsung sekitara satu jam itu berlangsung tertutup. Usai rapat, Puan dan Nila enggan menjawab pertanyaan wartawan tentang hasil rapat.
Sementara Fachmi, menyatakan, pemerintah dan BPJS Kesehatan terus berupaya agar pelayanan jaminan kesehatan tidak terhenti. Meningkatkan premi iuran atau mengurangi manfaat jaminan bukan pilihan yang diambil.
”Opsinya adalah kita ke pemerintah. Kita cari dari mana menutup pembiayaan itu. Dan untuk itu, arahan Pak Presiden, karena teknis sifatnya, silakan Menko PMK pimpin rapat,” kata Fachmi.
Rapat di Kementerian PMK sedianya akan digelar Kamis pekan ini. Salah satu agendanya adalah mendengarkan hasil kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang defisit BPJS Kesehatan.
Menurut Sekretaris Utama BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, BPKP sejauh ini sudah bekerja hampir 10 hari. Dengan demikian, defisit hasil kajian BPKP diharapkan sudah dapat dipaparkan dan dibahas dalam rapat Kamis pekan ini untuk kemudian diputuskan solusinya.
Secara normatif, solusi untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan mencakup tiga hal, yakni penyesuaian iuran peserta, penyesuaian manfaat, dan bantuan dana pemerintah. ”Saat ini yang diambil pemerintah adalah bantuan dana dari pemerintah,” kata Irfan.
Sri Mulyani menyatakan, sebagian defisit akan ditutup dari APBN. Soal besarnya masih harus menunggu kajian dari BPKP. ”Sebagian akan kita tutup dari APBN. Tapi nanti kita lihat karena hitungannya masih sangat goyang,” kata Sri Mulyani.
Persoalan Menahun
Akibat pendapatan lebih kecil ketimbang pengeluaran, keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit tahun ini. Hal sama terjadi setiap tahun sejak BPJS Kesehatan beroperasi tahun 2014 dengan tren yang kian memburuk.
Tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan adalah Rp 3,3 triliun. Tahun 2015 dan 2016, defisitnya membengkak menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 9,7 triliun. Di 2017, defisit Rp 9,7 triliun.
Tahun ini, defisit diperkirakan berkisar mulai Rp 800 miliar sampai dengan Rp 1 triliun per bulan atau Rp 9,6 triliun sampai dengan Rp 12 triliun selama setahun. Dampaknya, tunggakan klaim dari rumah sakit menumpuk.
Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan utama pun akhirnya mengalami kesulitan keuangan. Imbasnya, perusahaan farmasi sebagai salah satu mitra rumah sakit juga terdampak karena tagihannya tidak kunjung dibayarkan. Semua ini berisiko mengganggu pelayanan kesehatan terhadap peserta jaminan kesehatan.
Pemerintah pada awal tahun telah menetapkan bauran kebijakan untuk meningkatkan efisiensi BPJS Kesehatan. Langkah ini sekaligus bertujuan mendorong likuiditas keuangan BPJS Kesehatan.
Beberapa kebijakan sudah dilakukan sejak awal tahun karena aturannya sudah ada. Sementara beberapa kebijakan lainnya direncanakan baru efektif berlaku mulai semester II-2018 karena aturannya paling cepat diterbitkan April. Bagian bauran kebijakan terbanyak akan dituangkan dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Sejumlah ketentuan dalam aturan itu bertujuan untuk meningkatkan likuiditas keuangan BPJS Kesehatan. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah daerah untuk mendedikasikan 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima pemda untuk membayar jaminan kesehatan masyarakat di daerahnya masing- masing. Mekanismenya, Kemenkeu langsung memotongnya dari bagian dana transfer.
Beberapa waktu lalu, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief, menyatakan, salah satu bauran kebijakan yang juga dibahas adalah pengalokasikan sebagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk JKN-KIS. Namun, pada pembahasan di akhir-akhir opsi itu tak lagi dibahas. Padahal, jika proyeksi Rp 5 triliun dari DBHCHT untuk memperkuat JKN-KIS terealisasi akan sangat membantu BPJS Kesehatan menjaga arus kasnya.