Jembatan Penyeberangan Multiguna Atasi Kesemrawutan PKL Tanah Abang
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan jembatan penyeberangan multiguna yang akan menghubungkan Stasiun Tanah Abang dengan Pasar Tanah Abang Blok G ditargetkan selesai dalam waktu dua setengah bulan. Jembatan ini dibangun sebagai upaya mengatasi kesemrawutan di kawasan Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang.
Koordinator pengerjaan lapangan jembatan penyeberangan multiguna (JPM), Agus, saat ditemui di kawasan mengatakan, saat ini timnya baru melakukan beberapa penghitungan dan pengamatan elevasi. Penghitungan tersebut, pertimbangan untuk JPM saat ini adalah memangkas sejumlah pohon yang tinggi serta penggantian lampu agar tidak menghalangi keberadaan jembatan.
”Pengukuran ini sudah dilakukan sekitar tiga hari. Agak lama karena menjadi patokan posisi bangunannya nanti,” ujarnya, Selasa (7/8/2018).
Pengamatan Kompas, Selasa, belum ada tanda pengerjaan secara fisik yang terlihat di sepanjang ruas Jalan Jatibaru Raya. Di kawasan tersebut masih terdapat sejumlah pedagang yang beraktivitas secara reguler. Walau tampak belum ada pengerjaan, terdapat sejumlah pekerja jembatan yang ditemui oleh Kompas.
Jembatan penyeberangan multiguna ini solusi mengatasi kesemrawutan di kawasan Pasar Tanah Abang.
Her Pramtama dari Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) menjelaskan, pembangunan JPM ini sebagai solusi mengatasi kesemrawutan di kawasan Pasar Tanah Abang. Jembatan tersebut nantinya akan mengakomodasi penumpang, pedagang, dan transportasi yang selama ini tumpah ruah di kawasan tersebut.
Panjang JPM diperkirakan 386 meter dengan lebar 12 meter serta akan didukung dengan tambahan atap. Pedagang kaki lima (PKL) yang saat ini menempati tenda akan ditempatkan di sepanjang jembatan, sementara bagian bawah jembatan akan terintegrasi dengan transportasi, seperti angkutan umum, kopaja, bajaj, juga halte transjakarta.
”Masalahnya adalah pergerakan antarpenumpang dengan transportasi dan yang ingin belanja. Karena itu, kedua pergerakan itu dipisahkan,” ucap Pramtama.
Hal ini didukung juga dengan OK OTrip dalam menciptakan transportasi yang terintegrasi secara terjangkau. Pada dasarnya adalah ingin memberikan pelayanan maksimal kepada pengguna transportasi kereta api yang selama ini belum terintegrasi dengan angkutan lanjutan.
Pengerjaan JPM menggunakan sistem knockdown, yaitu 80 persen pekerjaan dipabrikasi dan 20 persen dirakit. Dengan demikian, PKL tidak direlokasi, tetapi digeser.
Pramtama menambahkan, upaya tersebut masih perencanaan dalam jangka menengah. Adapun untuk jangka panjangnya merupakan tugas PD Pembangunan Sarana Jaya.
Direktur Utama PD Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontoan, Selasa, mengatakan, penataan kawasan Tanah Abang dan JPM merupakan tugas yang diberikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Kapasitas JPM bisa menampung 446 lot pedagang,” lanjutnya.
Namun, Yoory menambahkan, PKL harus didaftarkan terlebih dahulu untuk menghindari PKL yang tidak berjualan di Jalan Jatibaru Raya turut mendaftar. Ia optimistis pengerjaan tersebut akan rampung pada 15 Oktober 2018 dan sudah bisa difungsikan.
”Semoga dengan penataan kawasan ini kesemrawutan Tanah Abang yang menjadi tempat tujuan belanja bisa teratasi serta titik transportasi tidak lagi crowded,” ujarnya.
Salah satu pedagang kerudung di ruas Jalan Jatibaru Raya, Citra (30), menyatakan mendukung apa pun yang dilakukan pemerintah provinsi dengan keyakinan bahwa kebijakan itu untuk kebaikan masyarakatnya. Ia hanya ingin mencari penghasilan dengan berdagang di tenda yang sudah disediakan.
”Orang banyak lalu lalang, makanya saya berjualan di sini. Kalau nanti pedagang akan dipindahin ke jembatan, tak masalah,” ucapnya.
Hal serupa diutarakan pedagang kaus Anto (32). Ia baru berdagang setelah tenda untuk PKL disediakan. Anto mengetahui pembangunan jembatan dari spanduk yang dipasang pada tembok tak jauh dari lapaknya. ”Siapa saja yang diundang untuk berjualan di jembatan biasanya akan didata petugas,” katanya, Rabu.
Alasan munculnya JPM
Pembangunan JPM sudah direncanakan sejak lama, yaitu pada 2013. Pada tahun itu ada wacana membangun jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan antara stasiun KA Tanah Abang dan Pasar Blok G. Namun, setelah dianalisis berbarengan dengan mencuatnya persoalan Tanah Abang pada akhir tahun 2017, maka JPO tidak relevan.
Dengan demikian, Pemprov DKI memilih konsep Jembatan Penyebrangan Multiguna (JPM) sebagai solusi mengintegrasi antarmoda transportasi (kereta api - bus angkutan umum). Di samping itu, JPM menjawab atas akar permasalahan dari keberadaan PKL di ruang publik.
Pramtama secara rinci memaparkan munculnya PKL di Jalan Jatibaru Raya karena ada kesempatan. Banyaknya penumpang yang turun di Stasiun Tanah Abang menjadi target pasar pedagang. Pedagang kecil yang semula hanya sedikit kemudian tumbuh menjadi banyak.
”Pedagang mengambil kesempatan itu untuk mendekati konsumen, istilahnya menjemput bola,” katanya.
Sebagian penumpang yang turun di Stasiun Tanah Abang bertujuan untuk berbelanja, tetapi sebagian hanya transit untuk melanjutkan perjalanan. Percampuran penumpang tersebut membuat stasiun sangat padat.
Penumpang yang bertujuan berbelanja akan menuju PKL yang berada di luar. Hal ini dimanfaatkan pedagang untuk menggaet pengunjung yang pertama kali datang dan orang yang sembari lewat lalu membeli (impulse buyer).
Pak Gubernur ingin menyelesaikan persoalan dengan mencari akar masalah.
”Pak Gubernur ingin menyelesaikan persoalan dengan mencari akar masalah. Tak mungkin tanpa alasan tiba-tiba PKL ada di situ. Masalahnya, ya, transportasi tadi,” ujar Pramtama.
Ia menegaskan, permasalahan yang terjadi adalah integrasi transportasi, bukan PKL. Mengintegrasikan antarmoda transportasi merupakan aspek utama. ”Kami ingin memastikan orang bergerak,” katanya. (FRANSISCA NATALIA ANGGARENI/ADITYA DIVERANTA)