Langkah Awal untuk Perubahan Besar
Sebelum naik kendaraan bermotor, dan bahkan sesudahnya, setiap orang adalah pejalan kaki. Logikanya, seluruh infrastruktur dan fasilitas pendukung mobilitas warga didasarkan pada sudut pandang dan kepentingan pejalan kaki.
Namun, di DKI Jakarta, sering kali bukan itu yang terjadi. Jembatan penyeberangan orang (JPO) yang tidak bisa digunakan dan membahayakan, trotoar yang diokupasi kendaraan bermotor dan pedagang, persilangan jalan dengan tanda zebra cross yang tidak digubris pengguna kendaraan bermotor, dan sebagainya.
Padahal, penggunaan moda transportasi massal sedang giat-giatnya digaungkan. Pembangunan MRT, LRT, atau sarana yang sudah ada, seperti bus transjakarta, cenderung menunjukkan perkembangan.
Moda transportasi massal ditujukan bagi orang banyak. Kaum pejalan kaki yang berjalan naik menuju dan turun dari berbagai moda tersebut di sekitar kawasan stasiun dan halte.
Belakangan, konsep transit oriented development (TOD) juga digembar-gemborkan. Konsep yang juga mensyaratkan adanya kenyamanan dan keamanan bagi pejalan kaki.
Keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki, termasuk kesetaraan hak dalam menggunakan jalan raya, sebagian di antaranya bisa dicapai dengan ditetapkannya sejumlah titik sebagai lokasi penyeberangan orang. Salah satu metode pertama untuk mencapai tujuan tersebut adalah penggunaan zebra cross.
Belakangan, perkembangan teknologi membuat zebra cross semakin ditambahkan fungsinya. Hal itu belum ditambah dengan kecenderungan makin berisikonya penggunaan zebra cross semata, tanpa ditambahkan perangkat tambahan, seperti lampu pengatur lalu lintas untuk memaksa kendaraan bermotor berhenti.
Salah satu tambahan untuk mengurangi risiko tersebut adalah pelican crossing, yang dalam beberapa pekan terakhir kembali ramai diperbincangkan. Hal itu menyusul pembongkaran JPO di kawasan Bundaran HI karena dianggap menghalangi pandangan ke arah Monumen Selamat Datang.
Pelican merupakan kependekan dari pedestrian light controlled. Di Inggris, pelican crossing hanyalah salah satu dari beberapa jenis fasilitas penyeberangan lainnya.
Beberapa di antaranya puffin crossing dan toucan crossing. Puffin merupakan kependekan dari pedestrian user friendly intelligent. Sementara toucan crossing memberikan akses bagi pejalan kaki dan pesepeda untuk menyeberang bersama-sama.
Pelican crossing merupakan fasilitas menyeberang dengan menggunakan lampu pengatur lalu lintas khusus. Pejalan kaki tinggal menekan tombol untuk mengubah warna lampu menjadi merah atau kuning yang berkedap-kedip sebagai tanda bagi setiap kendaraan bermotor untuk berhenti.
Sementara puffin crossing tidak memiliki kedap-kedip lampu kuning, tetapi mempunyai sensor khusus bagi pejalan kaki. Sensor yang terkait dengan jumlah dan kecepatan pejalan kaki ini akan menentukan variasi lamanya waktu berhenti bagi kendaraan bermotor. Pada sebagian negara selain Inggris, seperti Amerika Serikat, istilah pelican crossing cenderung tidak dikenal.
Alfred Sitorus, Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Kamis (26/7/2018), mengatakan, terdapat dua jenis pelican crossing, yaitu tipe independen dan jenis umum.
Tipe umum menyatu dengan lampu lalu lintas di sejumlah persimpangan jalan. Adapun jenis independen berdiri sendiri di sejumlah lokasi khusus, misalnya dekat rumah sakit dan lokasi-lokasi yang dinilai strategis, seperti di sekitar Bundaran HI.
Idealnya, sekitar 50 meter sebelum titik pelican crossing dibangun pula ”pita kejut” dan marka berpola zig-zag. Pita kejut merupakan semacam polisi tidur yang tidak terlampau menonjol dari paras jalan raya.
Alfred menilai pelican crossing adalah solusi yang berkeadilan bagi pejalan kaki. Menurut dia, penggunaan sarana tersebut cenderung membuat semua pihak berada dalam kondisi ”menang.”
Selain sesuai dengan keinginan untuk memasyarakatkan penggunaan transportasi massal, harga pembangunannya juga jauh lebih murah jika dibandingkan dengan JPO dan terowongan penyeberangan orang (TPO). Pada sisi lain, kota menjadi lebih humanis karena jalan raya tidak lagi menjadi tempat berebut ruang dan kecepatan.
”Lagi pula berdasarkan aturan, kecepatan kendaraan bermotor di dalam kota tidak boleh lebih dari 50 kilometer per jam,” kata Alfred.
Keberadaan pelican crossing sebagai fasilitas untuk menyeberang dapat dikaitkan dengan elemen-elemen dalam melintasi jalan raya yang juga menjadi jalur lalu lintas. John G Schoon yang menulis buku Pedestrian Facilities: Engineering and Geometric Design (2010) menyebutkan sejumlah hal terkait aktivitas fisik dan mental dalam menyeberang jalan.
Hal itu melibatkan posisi seseorang di trotoar, persis sebelum marka jalan, sebelum menyeberang, dan untuk selanjutnya melakukan aktivitas dengan urutan: mengobservasi dan bereaksi terhadap kendaraan yang melintas (waktu observasi dan reaksi), saat melintasi jalan raya tersebut, dan mencapai marka jalan di seberang untuk selanjutnya mengambil posisi di trotoar arah berlawanan.
Pola transportasi makro
Pakar tata kota Nirwono Joga mengatakan, pembahasan terkait penggantian JPO dengan fasilitas penyeberangan lain yang relatif lebih aman dan nyaman bagi pejalan kaki sudah dilakukan pada 2007. Hal itu dilakukan dalam kerangka penyusunan pola transportasi makro.
Salah satu poin pembahasannya adalah jalur transjakarta koridor satu akan sepenuhnya digantikan secara bertahap dengan MRT. Selanjutnya, koridor satu tersebut akan dipindahkan ke lokasi lain yang lebih membutuhkan.
”Dampaknya, seluruh JPO akan dipindahkan dan digantikan dengan TPO yang menghubungkan (jalur pemberhentian) MRT dengan gedung-gedung sekitar,” ujar Nirwono.
Ia menambahkan, rencana tersebut dimaksudkan untuk menghidupkan gedung-gedung di sekitar Sudirman-Thamrin, selain memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Pasalnya, dengan begitu, pejalan kaki yang menggunakan MRT dapat langsung menuju kantor tanpa harus naik lagi ke atas trotoar.
Selain itu, aktivitas ekonomi yang terkontrol juga bisa dilakukan dalam fasilitas tersebut. ”Nah, (sekarang) ini pembangunan MRT apakah sudah dipikirkan (juga) sebagai pengganti JPO dan penghubung antara gedung-gedung sekitar?” ujarnya retoris.
Nirwono mengkritik sejumlah stasiun MRT yang cenderung bakal mengambil sebagian lahan trotoar. Padahal, sarana tersebut mestinya bisa dibangun di bawah tanah, dan dengan demikian trotoar tetap pada fungsi asalnya.
Selain itu, menurut Nirwono, hingga sejauh ini belum ada fasilitas bagi pejalan kaki, seperti JPO, yang bisa disebut aman. Ia menilai fasilitas-fasilitas tersebut cenderung hanya didesaian bagi warga yang berusia muda, sehat, dan bukan penyandang difabel.
Menurut dia, berbagai fasilitas yang disediakan bagi pejalan kaki sejauh ini hanya sekadar memenuhi aspek formalnya saja, bukan secara substansial. ”(Baru sampai pada) tahap yang penting ada. (Secara) visual, infrastruktur, dan anggaran (jika ditanya) ada. (Asalkan) Tidak melanggar undang-undang. (Baru sebatas) keberpihakan formal dan bukan substansial,” ujar Nirwono.
Sistem berkelanjutan
Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia, Andi Rahmah, mengatakan, penyeberangan pelican atau pelican crossing merupakan bagian dari sistem transportasi berkelanjutan. Sistem ini pada prinsipnya mengutamakan pejalan kaki, yang tak lain juga para pengguna angkutan umum massal.
”Kota yang memanusiakan warganya mempunyai sistem transportasi utama angkutan umum massal. Ini sudah dianut rata-rata kota besar di dunia. Lihat saja dari Singapura hingga kota-kota di Eropa, tak ada jembatan penyeberangan orang,” kata Andi yang sebelumnya menjadi tim ahli Anies Baswedan-Sandiaga Uno itu di Jakarta, Jumat (3/8/2018).
Keberadaan petugas di pelican crossing pada kawasan Hotel Indonesia membuat pengendara lebih tertib untuk mematuhi lampu lalu lintas dan memberikan kesempatan kepada pejalan kaki menyeberang. Hal ini, misalnya, tampak pada Kamis (2/8/2018) petang. Para pengguna kendaraan bermotor mengantre secara relatif tertib para pejalan kaki yang menyeberang dengan panduan sejumlah petugas.
Namun, di pelican crossing yang sudah lebih dahulu ada, di antaranya di Jalan Kebon Sirih dan Jalan Medan Merdeka Selatan, pengendara masih kerap nyelonong saat lampu merah menyeberang menyala.
Akibatnya, pejalan kaki merasa takut saat menyeberang. Mereka umumnya menunggu orang lain menyeberang sehingga bisa menyeberang bergerombol. Dengan cara itu pun, masih saja ada kendaraan yang melanggar ketentuan untuk berhenti dan terus saja melarikan kendaraan mereka.
Menurut Andi, JPO adalah bentuk ketidakadilan ruang pada pejalan kaki. Dengan JPO, pejalan kaki menghabiskan energi lebih besar dan waktu lebih lama untuk menyeberang. JPO juga tidak ramah bagi warga yang sedang mengalami kendala fisik, seperti orang lanjut usia, sakit, hamil, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
Andi mengatakan, usulan soal pelican crossing ini sebenarnya sudah muncul sejak 2001 bersamaan dengan pengembangan bus rapid transport yang sekarang bernama transjakarta. Namun, usulan ini tenggelam di tahun-tahun berikutnya. Usulan baru kembali didorong saat Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berkampanye.
”Menyesuaikan momentum ini, kami dan teman-teman yang juga sepaham mengutamakan pejalan kaki menuntut menghapuskan jembatan penyeberangan orang kecuali di atas jalan tol atau pelintasan kereta api,” katanya.
Area yang diusulkan untuk kawasan ramah pejalan kaki tanpa JPO adalah koridor Sudirman-Thamrin yang juga sudah lengkap mempunyai transportasi umum massal. Usulan ini mulai terpenuhi saat Anies merobohkan JPO di depan Hotel Indonesia dan membuat pelican crossing.
Akan tetapi, tentu saja sebuah kota dengan kategori ramah atau aman bagi pejalan tidak bisa ditentukan dari satu atau dua ruas jalannya saja. Sejumlah upaya juga mestilah dilakukan dengan konsisten. Charles V Zegeer dalam buku berjudul Design and Safety of Pedestrian Facilities (1988) menulis hal itu merupakan kombinasi sejumlah hal.
Masing-masing adalah program edukasi bagi pejalan kaki, terutama di usia sekolah dasar, dan bagi pengguna kendaraan bermotor. Penegakan hukum bagi pengguna kendaraan bermotor, termasuk pejalan kaki yang menyeberang sembarangan. Penggunaan material pakaian oleh pejalan kaki yang bisa terlihat terang pada malam hari. Mendorong lebih banyak produksi desain kendaraan yang meminimalisasi dampak cedera bagi pejalan kaki saat tabrakan.
Selain itu, rekayasa jalan, termasuk perangkat lalu lintas dan strategi desain jalan, untuk diterapkan di jalan raya dan jalan-jalan yang lebih kecil guna kepentingan pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, pelican crossing di depan Hotel Indonesia ini akan dijaga 24 jam oleh petugas dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Penjagaan ini sebagai bentuk sosialisasi kepada pengendara kendaraan untuk mematuhi lampu penyeberang jalan. ”Nanti kalau pengendara sudah terbiasa, tidak perlu lagi dijaga 24 jam,” katanya.
Menurut data Dinas Bina Marga DKI Jakarta, saat ini terdapat 324 JPO di DKI Jakarta. Adapun jumlah pelican crossing yang di bawah pengelolaan dinas perhubungan tak lebih dari belasan buah, di antaranya di Jalan Kebon Sirih di depan Kantor DPRD DKI Jakarta dan di Jalan Merdeka Selatan di depan Balai Kota DKI Jakarta.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan, kawasan Sudirman-Thamrin, menurut rencana, didesain sebagai area pejalan kaki. Jadi, pejalan kaki akan diprioritaskan, sementara kendaraan akan dibatasi. ”Jadi semua perencanaan akan mengacu pada aspek pejalan kaki. Masalah nanti penyeberangan pelican atau zebra crossing, ini nanti pilihan saja,” katanya.
Yusmada meminta warga tak terjebak dikotomi antara JPO dan pelican crossing. Hal ini menanggapi komentar pelican crossing menambah kemacetan. Ia mengatakan, lampu pejalan kaki pelican crossing pun sudah dirancang dengan pembatasan waktu.
Ia juga mengatakan, pembangunan pelican crossing adalah wujud Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam memenuhi tuntutan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel Ahmad Safrudin mengatakan, terkait penataan dan pengelolaan transportasi, Pemprov DKI Jakarta mestinya tinggal mengadopsi pola transportasi makro yang sudah dirumuskan. Jika rancangan tersebut diikuti dengan benar, mestinya konektivitas antarmoda transportasi massal dan kaitannya dengan aliran serta mobilitas pejalan kaki bisa diwujudkan.
Artinya, jika berniat memanusiakan kelompok pejalan kaki yang di dalamnya termasuk penyandang difabel, niscaya keindahan kota dimiliki dengan sendirinya. Jakarta sudah memiliki sistem PTM, tinggal merealisasikan saja secara utuh untuk menuai perubahan besar bagi kota ini. Pelican crossing hanyalah langkah awal.