JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku jasa pembiayaan di sektor pertanian mengalami kesulitan terkait data keuangan debitornya. Selain mendampingi petani, mereka melibatkan perusahaan penyerap atau offtaker dan integrator produk agrikultur untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Menurut sejumlah pelaku pembiayaan, data lahan, rata-rata produksi dan hasil panen, serta anggaran yang dilaporkan petani belum akurat. ”Seharusnya aspek-aspek tersebut terekam dalam basis data yang dapat diakses dan dipertanggungjawabkan karena berpengaruh pada tingkat risiko pembiayaan,” ujar Head of Portfolio Australia Indonesia Partnership (AIP) Mohasin Kabir dalam lokakarya yang diadakan Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) di Jakarta, Selasa (7/8/2018).
Sebagai solusinya, Kabir bekerja sama dengan perusahaan integrator dan offtaker dalam mendata produksi pertanian. Kemitraan tersebut diterapkan dalam program pembiayaan AIP yang bernama Savira.
Model bisnis serupa diterapkan Aavishkaar dengan mekanisme berinvestasi pada perusahaan portofolio. Senior Investment Manager Aavishkaar Adi Sudewa mengatakan, pihaknya menyeleksi perusahaan-perusahaan yang mengajukan pinjaman modal dan mengecek keselarasan rencana bisnis dengan sektor agrikultur.
Pemantauan perusahaan portofolio tidak berhenti sampai pembiayaan. Aavishkaar juga mengevaluasi penggunaan dana serta kontrol kualitas dari produk pertanian yang dihasilkan. Hingga saat ini, ada dua program agrikultur yang tengah dibiayai secara tidak langsung oleh Aavishkaar, yakni di Sumatera Utara dan Sumbawa.
Investasi pada program-program yang berorientasi pada agrikultur turut menjadi model pembiayaan Vestifarm Indonesia, pelaku pembiayaan agrikultur dengan sistem kumpul dana publik atau crowdfunding. Sejak didirikan pada 2017, ada 30 proyek pertanian yang dibiayai dengan kebutuhan dana Rp 500 juta-Rp 1 miliar per proyek.
Chief Executive Officer Vestifarm Dharma Anjarrahman mengatakan, Vestifarm menerapkan rangkaian pembiayaan tertutup kepada petani dan dana diberikan kepada penyelenggara proyek. Tujuannya, pencatatan alur keuangan dapat terlacak dengan jelas. ”Bantuan dana yang diterima petani dalam bentuk suplai pupuk, benih, dan modal barang pramasa tanam,” ujarnya.
Ketika panen, hasil nilai yang didapatkan disetorkan oleh perusahaan offtaker dan integrator lalu dibagi kepada petani dan investor. Dharma mengatakan, tingkat pengembalian investasi dapat mencapai 10-20 persen dalam sekali masa tanam dan panen.
Mendampingi
Salah satu kurangnya akurasi dalam pendataan keuangan petani disebabkan kebiasaan bertransaksi secara tunai. Menurut Chief Executive Officer PT Amartha Mikro Fintek Andi Taufan Garuda, transaksi tunai tidak melibatkan otomatisasi pencatatan keuangan dan peruntukannya.
Oleh sebab itu, Taufan menurunkan tim yang mendampingi petani secara langsung. ”Tim ini akan mengedukasi petani dalam merencanakan pinjaman, mengelola keuangan untuk produksi dan rumah tangga, serta investasi,” katanya.
Sebagai bank yang menyalurkan dana kredit usaha rakyat (KUR) terbesar saat ini, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI fokus pada pendampingan petani. Kepala Bagian Pemasaran Divisi Bisnis Kecil dan Kemitraan BRI M Fadly R mengatakan, BRI menyerap tenaga kerja di tiap kecamatan sehingga dapat mendekati petani secara psikologis.
Selain untuk mendekati dalam pemantauan penggunaan pinjaman modal, pendamping tersebut dapat memberitahukan kondisi finansial petani. ”Kondisi finansial yang mereka (pendamping petani) ceritakan kepada kami dapat menjadi gambaran atau peringatan bagi kami secara internal,” ujar Fadly.
Dari target penyaluran KUR Rp 80 triliun, hingga saat ini BRI sudah merealisasikan sebesar 65,7 persen kepada 2,2 juta debitor. Sebanyak 38,5 persen debitor itu berada di sektor produksi yang mencakup pertanian dan perikanan.