TANGERANG, KOMPAS — Pemerintah Indonesia tengah menjajaki kemungkinan masuknya produk otomotif ke AUstralia. Tutupnya sejumlah pabrikan otomotif di AUstralia, termasuk diantaranya adalah Holden pada tahun lalu dan juga implementasi standar bahan bakar Euro 4 pada produk Otomotif Indonesia, membuka peluang Indonesia mengekspor kendaraan ke Negeri Kanguru tersebut.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto, saat berbicara Konferensi Otomotif Internasional pada Gaikindo Indonesia International Auto Show 2018 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (7/8) mengatakan, proses perundingan untuk mengekspor produk Otomotif Indonesia ke negara tersebut terus berlangsung.
“Kami meminta pasar Otomotif Australia untuk dibuka dan sedang berlangsung negosiasinya. Pada saat yang sama, Australia berkeinginan untuk mengirimkan produk dairy (berbahan dasar susu) yang memang kita butuhkan ke Indonesia,” kata dia.
Negosiasi antara Indonesia dan Australia merupakan bagian dari free trade agreement (FTA) yang tengah berjalan dan sebagian dari perjanjian tersebut kini tengah ditinjau ulang substansi kesepakatannya. Dari tujuh kesepakatan FTA yang Sudah diimplementasikan, lima tengah menjalani peninjauan ulang, diantaranya dengan pemerintah Australia, Chile, Iran dan Uni Eropa.
Kalangan industri otomotif ingin agar ada perubahan pada besaran insentif untuk industri otomotif, khususnya adalah pajak pertambahan nilai barang mewah.
Lebih lanjut Harjanto mengatakan, pasar Australia cukup menggiurkan bagi produsen otomotif Indonesia karena selama ini pasokan kendaraan bagi negara tersebut diperoleh langsung dari Jepang atau Thailand. Nilai ekspor Indonesia ke Australia, dinilainya, sejauh ini tidak cukup signifikan karena dua hal, yaitu model Kendaraan yagn disukai konsumen Australia berbeda dengan konsumen Indonesia dan juga masalah konfigurasi mesin yang sesuai dengan tipe bahan bakar di negara tersebut.
“Australia Sudah lama menerapan standar bahan bakar euro 4. Sedangkan di Indonesia kita baru beralih dari Euro 2 ke Euro 4 akhir tahun ini,” kata dia.
Itu sebabnya, menurut Harjanto, dengan peralihan jenis bahan bakar standardisasi Euro 2 ke Euro 4, membuat peluang ekspor menjadi lebih terbuka.
“Sekarang total ekspor kendaraan kita baru di angka 250 ribu unit per tahun. Kami berharap setelah kesepakatan ini terealisasi, ekspor meningkat menjadi 260 ribu atau bahkan dua kali lipat angkanya,” kata dia.
Penurunan PPN BM
Gaikindo menyambut baik rencana pemerintah tersebut. Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiarto mengatakan, pasar Australia memang terbuka lebar untuk produk otomotif Indonesia. Namun, pada saat yang sama, industri juga menginginkan agar ada perubahan pada besaran insentif untuk industri otomotif, khususnya adalah pajak pertambahan nilai barang mewah (PPN BM) untuk jenis mobil sedan.
Jongkie mengatakan, sedan menjadi jenis mobil yang disukai pasar Australia. Namun, produsen otomotif di Indonesia tidak bisa memproduksi terlalu banyak jenis kendaraan ini karena pasar otomotif dalam negeri masih belum kondusif karena PPN BM yang tinggi.
“Dengan PPN BM yang rendah diharapkan produsen tertarik untuk memproduksi lebih jenis ini. Bila Produksi dalam negeri cukup, mereka juga bisa mulai memikirkan pasar ekspor,” kata dia.
Harjanto menyatakan, pemerintah kini tengah menggodok kebijakan mengenai penurunan PPN BM bagi kendaraan jenis sedan. Basis perhitungan yang digunakan bukan jenis kendaraan (minibus atau multi purpose van, sedan atau sebagainya), tapi adalah konsep penurunan PPN BM berdasarkan emisi atau gas buang.
“Dulu kita memberikan Kebijakan PPN BM yang relatif kecil bagi MPV. sekarang dengan konsep penurunan PPN BM ini, nantinya kita bisa memberikan daya dorong bagi industri otomotif untuk memproduksi sedan dan bahkan SUV untuk memenuhi pasar otomotif dunia,” kata dia.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri pemerintah memang harus mendorong industri otomotif untuk melakukan ekspor karena pertumbuhan industri otomotif tidak seperti yang diharapkan.