Bertahan dalam Luka dan Lapar
Harmiati (29) duduk termenung dengan luka-luka di sekujur kaki dan perban di kepala. Dia mengamati Rachel, bayi perempuannya yang masih berusia 1,5 tahun mengunyah nasi dengan lauk sayur daun kelor. Selasa (7/8/2018) itu, mereka tinggal di tenda pengungsian.
Wajah Rachel juga lecet. Harmiati dan anak bungsunya itu terkena puing reruntuhan rumah saat gempa berkekuatan magnitudo 7,0 melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/8/2018) malam. Rumah mereka ambruk. Rata dengan tanah beserta seluruh harta benda milik Harmiati.
Dengan menahan sakit, Harmiati beserta suami dan kedua anak perempuannya, termasuk Rachel, kini melanjutkan hidup di posko pengungsian. Mereka tinggal di bawah tenda berbahan terpal disertai alas tikar dan kasur lusuh bersama ratusan warga Dusun Telaga Wareng, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Hampir seluruh rumah di Dusun Telaga Wareng luluh lantak akibat gempa. Korban meninggal mencapai 15 orang, belum lagi puluhan orang yang terluka. Harta berharga warga ludes, termasuk bahan makanan.
Di Dusun Teluk Kode, Desa Pemenang Barat, banyak warga berteriak mengiba bantuan dengan membawa kotak kardus di sepanjang jalan raya.
Sebagian warga yang merupakan petani masih memiliki stok beras. Namun, tidak ada lauk yang dapat dikonsumsi kecuali yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. ”Adanya cuma nasi sama sayur kelor karena daunnya tinggal petik di pekarangan. Lauk lain belum ada,” ujar Harmiati sembari menahan sakit lukanya, Selasa (7/8/2018).
Haini (50), yang tinggal satu tenda dengan Harmiati, juga hanya bisa tergolek lemah dengan kondisi lengan kiri bagian atas patah. Haini belum mendapat perawatan secara medis untuk mengobati lengan yang kini hanya diikat dengan kain bekas pakaian. ”Anak saya yang mengikat untuk sementara. Tetapi ini sakit sekali kalau mau bangun,” ujar Haini.
Kepala Dusun Telaga Wareng Herman menjelaskan, para pengungsi di Telaga Wareng belum tersentuh bantuan logistik, baik makanan, air minum, maupun obat-obatan. Tenaga medis pun belum ada yang menghampiri mereka. Mereka bertahan di tenda pengungsian dengan tubuh penuh luka dan rasa lapar.
”Saat ini kami krisis sekali. Sudah dua malam ini sebagian besar warga kami belum mendapat makanan. Sekarang ini ya makan nasi dan sayur seadanya,” ujar Herman saat ditemui.
Herman telah melaporkan kondisi warga kepada aparat pemerintahan setempat, tetapi bantuan logistik juga belum kunjung datang. Menurut Herman, bantuan yang paling dibutuhkan warga antara lain, makanan, air minum, obat-obatan, dan layanan medis.
Warga yang terluka dan sakit pun tidak dapat dibawa ke rumah sakit karena mereka tidak memiliki uang untuk menyewa mobil. ”Uang dan harta lain sudah ludes tertimpa bangunan. Kami berharap ada tenaga medis yang mau mengobati warga di sini,” tutur Herman.
Tidak hanya di Telaga Wareng. Di Dusun Teluk Kode, Desa Pemenang Barat, banyak warga berteriak mengiba bantuan dengan membawa kotak kardus di sepanjang jalan raya. Salah satunya adalah Yudi (32), yang sudah berdiri selama empat jam untuk meminta bantuan logistik dari pengguna jalan.
Hari itu, Yudi baru mendapat satu kardus mi instan dan dua kardus air mineral. ”Banyak kendaraan membawa bantuan dan pejabat lewat, tetapi tidak berhenti memberikan bantuan. Terpaksa kami turun karena kalau tidak begini, kami tidak bisa makan,” kata Yudi saat ditemui, Rabu (8/8/2018) siang.
Yudi dan sebagian warga Teluk Kode lain sudah tiga hari terakhir meminta bantuan di pinggir jalan. Sebagai salah satu korban terdampak gempa bumi, aktivitasnya sehari-hari terhenti. Rumah sudah rata dengan tanah dan kini harus tinggal di pengungsian.
Sejak mengungsi di daerah perbukitan, dia dan sekitar 100 keluarga lain di daerah tersebut belum tersentuh bantuan dari pemerintah. Sebagai salah satu korban, dia pun hanya mengandalkan uluran tangan. ”Belum ada bantuan dari pemerintah masuk ke kami. Kami bisa bertahan dengan turun ke jalan,” ujarnya.
Alhasil, selama tiga hari terakhir, Yudi hanya makan dengan mi instan. Sebab, hanya bantuan itulah yang diperoleh warga. Selain makanan, bantuan berupa tenda dan selimut belum didapatkan sehingga keadaan di malam hari harus bertahan di tengah dinginnya angin malam.
Di Dusun Lading-Lading, Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung, pengungsi bertahan hidup dengan mengonsumsi mi instan dan ubi yang dipetik dari kebun karena belum memperoleh suplai logistik. Sebagian tinggal beratap tenda bekas kandang sapi dan selimut seadanya.
Pengungsi ini juga mulai didera gatal-gatal. ”Belum ada dokter memeriksa kondisi kesehatan warga di sini, padahal kami sangat membutuhkan karena mulai banyak yang gatal-gatal,” ujar Kurniawati (30), warga Lading-Lading, yang tinggal di posko pengungsian.
Gempa bermagnitudo 7,0 yang melanda Lombok pada Minggu malam diikuti lebih dari 300 gempa susulan hingga Rabu malam. Gempa susulan itu membuat warga trauma, terlebih lagi mereka khawatir terkait adanya potensi tsunami.
Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi mengungkapkan, pemerintah mulai mendistribusikan logistik pada Senin siang karena sebelumnya fokus pada evakuasi penyelamatan korban dan menenangkan warga yang panik akibat pengumuman potensi tsunami.
”Tetapi itu pun tidak bisa menjangkau semua karena memang menyebarkan logistik itu kan butuh manusia, butuh mobil, butuh alat. Tidak bisa asal kirim dengan apa kan harus didatangi. Nah, itu butuh pendataan terhadap lokasi-lokasi masyarakat,” kata Zainul Majdi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei mengakui, distribusi logistik terkendala dengan kapasitas sumber daya terbatas dan lokasi pengungsian yang sporadis, terpencar di mana-mana. ”Ini tantangan kita. Kita membutuhkan mobilitas komunikasi yang bagus. Caranya, kita akan menunjuk koordinator di tempat pengungsian,” ujar Willem di halaman kantor Bupati Lombok Utara.
Saat meninjau posko terpadu di halaman kantor Bupati Lombok Utara, Rabu (8/8/2018), Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menginstruksikan agar pendataan warga yang terdampak bencana dilakukan secara terstruktur dan akurat. Pendataan itu untuk mengetahui jumlah kebutuhan logistik masyarakat.