Kairo, Kompas Iran mulai melakukan adaptasi kebijakan luar negeri dan dalam negeri guna meringankan dampak paket sanksi tahap pertama Amerika Serikat yang diberlakukan sejak Selasa (7/8/2018).
Paket sanksi tahap pertama, antara lain, meliputi sektor otomotif, logam mulia, dan perdagangan. Paket sanksi tahap kedua bakal lebih berat dan akan diberlakukan mulai 5 November mendatang, meliputi sektor migas dan bank sentral.
Terkait kebijakan luar negeri, Teheran mulai memberi sinyal bersedia membuka dialog dengan AS. Seperti dilansir kantor berita mahasiswa Iran, ISNA, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, Rabu di Teheran, menyampaikan bahwa membuka pembicaraan dengan AS bukan sesuatu yang haram, tetapi pembicaraan itu akan buruk bagi Iran jika tidak didasarkan pada agenda yang jelas.
”Kami tidak menghendaki pembicaraan sebagai sesuatu yang haram, tetapi hendaknya bisa membuahkan hasil dan bukan membuang-buang waktu,” ujar Zarif.
Ia mengakui, ada peran Kesultanan Oman saat ini untuk terus berusaha menurunkan ketegangan di kawasan Teluk. Namun, Zarif menegaskan, sampai saat ini belum ada perundingan langsung ataupun tidak langsung antara Iran dan AS.
Pekan lalu sempat beredar berita kemungkinan Oman menjadi mediator dalam upaya membuka perundingan antara AS dan Iran. Berita itu beredar menyusul pertemuan Menlu Oman Yusuf bin Alawi dengan Menlu AS Mike Pompeo di Washington DC, Senin (30/7).
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, dalam konferensi pers di Washington DC juga menyampaikan keinginan AS membuka dialog dengan Teheran untuk mengubah perilaku Iran di kawasan.
Menurut Nauert, AS ingin membuka dialog tidak hanya terkait senjata nuklir, tetapi juga soal perilaku Iran di kawasan dan program rudal balistik. Ia menuduh Iran menjadi sumber ketidakstabilan di kawasan dengan mengalokasikan kekayaan bukan untuk kepentingan rakyatnya, tetapi untuk serangan teroris di sejumlah negara di kawasan.
Pembersihan pejabat
Dalam konteks dalam negeri, guna beradaptasi dengan sanksi baru AS, Iran melakukan pembersihan para pejabat yang dinilai bertanggung jawab atas memburuknya ekonomi sehingga meletupkan unjuk rasa sejak akhir Juni lalu sampai saat ini.
Parlemen Iran, Rabu kemarin, mengeluarkan mosi tak percaya terhadap Menteri Urusan Buruh Ali Rabiei. Parlemen Iran menuduh Rabiei ikut bertanggung jawab atas meletupnya unjuk rasa di sejumlah kota di Iran sejak akhir Juni karena ia gagal mengatasi pengangguran di negara itu. Angka pengangguran di kalangan pemuda Iran disebut mencapai 25 persen dari jumlah mereka.
Pada Minggu (5/8), aparat keamanan Iran menangkap mantan Wakil Gubernur Bank Sentral urusan divisi valuta asing, Ahmad Araghchi. Sehari sebelumnya, Araghchi dipecat dari jabatannya. Ia dituduh bertanggung jawab atas terus merosotnya nilai mata uang riyal Iran terhadap dollar AS yang memicu unjuk rasa di negara itu.
Presiden Iran Hassan Rouhani juga telah menunjuk Abdolnaser Hammati sebagai gubernur bank sentral Iran yang baru, menggantikan Valiollah Seif.
Penyatuan nilai riyal
Di sektor keuangan, hanya beberapa jam setelah mulai berlakunya sanksi AS, Bank Sentral Iran memutuskan menyatukan nilai mata uang riyal di pasar penukaran uang asing menjadi 89.500 riyal per 1 dollar AS. Nilai riyal terhadap dollar AS jatuh lebih dari 100 persen. Sebelumnya, Bank Sentral Iran menetapkan nilai tukar 42.000 riyal per 1 dollar AS.
Sementara itu, Iran mendapat jaminan Turki bahwa Ankara akan terus mengimpor migas dari Iran. Turki mengabaikan ancaman Trump yang memperingatkan siapa pun yang berhubungan bisnis dengan Iran bakal dilarang berbisnis dengan AS.
Menteri Urusan Energi Turki Fatih Donmez, seperti dilansir kantor berita Anadolu, Rabu kemarin menegaskan, Ankara akan terus mengimpor gas dari Iran sesuai dengan kesepakatan yang telah ditandatangani sebelum ini. Iran-Turki mencapai kesepakatan bahwa Ankara akan mengimpor 9,5 miliar meter kubik gas dari Iran sampai tahun 2026.