Nasib Tragis Pencipta Lagu "Poco-poco"
Suara lantang Arie Sapulette (58), pencipta lagu "Poco-poco" terdengar dengan jelas dari lantai satu, meskipun dia berada kamarnya yang gelap dan ada di lantai dua. Tapi dia tak bernyanyi, Arie meracau dan marah-marah sendiri.
Entah, dengan siapa Arie berbicara karena di kamarnya yang berukuran 3 meter x 4 meter itu hanya ada dia sendiri.
Sudah 18 tahun Arie hidup dengan masalah skizofrenia. Ketika karyanya dibawakan oleh 65.000 orang dalam acara The Largest Poco-poco Dance untuk mencetak rekor dunia pada Minggu (5/8/2018), Arie hanya mengurung diri di rumah.
Musisi kelahiran Ternate itu dirawat oleh sang ayah, Zefnath Sapulette (84) , purnawirawan TNI Angkatan Darat dan adiknya, Ferry yang bekerja serabutan. Mereka menempati rumah sederhana di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Zefnath Sapulette menceritakan, Arie sering menyendiri di kamarnya yang berukuran 3 meter x 4 meter yang berada di lantai dua. Sesekali ia turun dan jalan-jalan di sekitar rumahnya. Namun, ia hanya duduk merenung dan menyendiri sambil menulis syair di secarik kertas.
“Terkadang, ia marah-marah dan bicara sendiri,” kata adik Arie, Ferry Sapulette (56). Musisi kelahiran Ternate, Maluku Utara tersebut akan semakin marah ketika tidak tersedia kopi dan rokok.
Ia menambahkan, Arie sering menghindar ketika ada orang yang tidak dikenal datang ke rumahnya. Apalagi, ada suara ramai, Arie akan marah. Meskipun demikian, ketika suasana sedang tenang, Arie senang berbincang-bincang dengan tamu yang datang.
Kakak dan adik Arie pun bersama-sama mencukupi segala kebutuhan Arie. Keluarga Zefnath harus merawat Arie karena istri dan anaknya tidak mau tinggal bersama Arie semenjak menderita skizofrenia. “Tidak ada bantuan sedikitpun dari istri dan anaknya, serta pemerintah untuk Arie,” kata Ferry.
Keluarga Zefnath sudah berusaha membawa Arie ke beberapa rumah sakit jiwa, tetapi tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk merawat Arie di rumah.
Ferry menceritakan, tanda-tanda Arie mulai sering menyendiri, yaitu sejak sepuluh tahun bekerja di Departemen Tenaga Kerja di Ternate, Maluku Utara sebagai tenaga honorer. Namun, Arie tidak pernah diangkat menjadi pegawai tetap. Sejak saat itu, Arie menjadi pemurung dan pemarah.
Situasi tersebut dapat terkendali ketika mereka membentuk kelompok band. Seiring berjalannya waktu, Arie kembali menjadi pemurung dan pemarah. Hingga pada akhirnya, dokter dari beberapa rumah sakit jiwa menyatakan, Arie menderita skizofrenia.
Jiwa seni
Zefnath menceritakan, Arie mulai bermain gitar ketika lulus Sekolah Dasar. Sejak saat itu, jiwa seninya terus tumbuh. Ia mulai belajar menciptakan lagu dan mempelajari budaya daerah Ternate.
Ketika remaja, Arie terus menggali kebudayaan lokal daerahnya. Ia selalu berusaha mengembangkan kebudayaan tersebut agar dapat menjadi kekayaan bangsa Indonesia dan berharap dapat dinikmati secara internasional.
Lulus sekolah menengah atas, Arie memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ia melanjutkan pendidikan di Akademi Bahasa Asing. Setelah lulus, ia kembali ke Ternate dan bekerja sebagai tenaga honorer di Departemen Tenaga Kerja.
Pada 1990, Arie kembali ke Jakarta menyusul kakaknya, Melki Sapulette yang terlebih dahulu merantau ke Jakarta. Anak keempat dari tujuh bersaudara tersebut diajak Melki karena kebingungan selepas bekerja di Departemen Tenaga Kerja. Pada 1991, Ferry menyusul Melki dan Arie.
Bersama saudara sepupunya, Roni, mereka membentuk kelompok band dengan nama Nanaku Group. Mereka menciptakan perusahaan rekaman sendiri dengan nama PT Kie Raha Intraprindo untuk memproduksi lagu yang mereka ciptakan.
“Kami menciptakan, merekam, dan menjual sendiri album yang kami produksi,” kata Melki yang pada saat itu berperan sebagai Direktur PT Kie Raha Intraprindo (KRI). Album pertama mereka dengan lagu Poco-poco meledak di industri musik Indonesia.
Setelah berhasil menghimpun dana, mereka masuk studio rekaman di Gemini Records pada 1993. Lagu Poco-poco semakin dikenal masyarakat luas dan pada 1995 dinyanyikan kembali oleh Yoppie Latul. Lagu tersebut semakin terkenal dan gerakan Poco-poco terus berkembang mengikuti budaya lokal beberapa daerah di Indonesia.
Mereka pun semakin aktif menciptakan beberapa album pop dan lagu rohani. Sayangnya, band tersebut meredup seiring kondisi kejiwaan Arie. Karya-karya besar mereka pun mulai dibajak dan mereka kehilangan royalti. “Kami telah menyerahkan seluruh hak cipta dan royalti atas lagu-lagu yang diciptakan Arie kepada istrinya,” ujar Ferry.
Berdasarkan data Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Hak Cipta Karya Cipta Indonesia, hak royalti komersial atas seluruh karya Arie diberikan kepada istri Arie, Sondang Paulina. Dalam setahun, Sondang mendapat Rp 3 juta.
Ketua Umum LMK Hak Cipta Karya Cipta Indonesia Dharma Oratmangun menjelaskan, royalti tersebut didapat atas penggunaan seluruh karya Arie untuk kepentingan komersial. Untuk kepentingan bukan komersial, Arie tidak mendapat royalti. Jika ada perjanjian kontrak dengan pihak pengguna untuk kepentingan komersial, itu menjadi kewenangan dari pencipta lagu.
Poco-poco
Lagu Poco-poco diciptakan Arie sesuai dengan perkembangan gaya hidup muda-mudi pada tahun 1990-an. Lagu tersebut menceritakan tentang bayi lucu dan mungil. Istilah Poco-poco dikembangkan Arie menjadi seorang gadis cantik.
Poco-poco diambil dari bahasa Manado, Sulawesi Utara. Bahasa Manado juga digunakan di Ternate, sehingga ada anggapan lagu Poco-poco berasal dari Manado. Lagu Poco-poco juga pernah diklaim berasal dari Malaysia. Namun, kasus tersebut tidak dihiraukan oleh mereka dan hilang seiring dengan perjalanan waktu.
Adapun gerakan Poco-poco terinspirasi dari gerakan tentara yang sedang senam pagi. Pada saat itu, Arie tinggal di asrama TNI AD Ternate karena Zefnath sedang bertugas di sana.
Seperti tentara yang sedang senam pagi, dasar gerakan Poco-poco, yaitu dua kali gerak ke kanan, dua kali gerak ke kiri, mundur, dan memutar. Seiring perjalan waktu, gerakan Poco-poco terus berkembang.
Ketika di bawa Papua, gerakan Poco-poco dikombinasikan dengan gerakan memanah, sedangkan di Jawa Barat dikombinasikan dengan Jaipong. Gerakan Poco-poco pun sering dibawakan oleh sanggar seni tari modern dengan variasi gerakan baru.
Ferry mengaku bangga karena lagu yang diciptakan Arie dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia, bahkan dianggap sebagai kekayaan budaya nasional. Ia pun merasa senang ketika mengetahui pemerintah mengangkat Poco-poco sebagai kekayaan budaya nasional.
Sayangnya, mereka tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, bahkan tidak ada panitia yang datang untuk bertemu keluarga Arie. Perihal penghargaan yang diberikan kepada Arie, keluarga besar Zefnath sama sekali tidak mengetahuinya.
Dharma juga menyayangkan hal tersebut. Secara etika, sebaiknya panitia berkomunikasi dengan Arie atau keluarga yang merawatnya.
Ia juga bersimpati atas kecilnya royalti yang diterima para pencipta lagu, sehingga membuat beberapa dari mereka jatuh dalam kemiskinan. Padahal, para pencipta lagu merupakan nyawa dari industri musik. “Tanpa adanya karya kreatif para pencipta lagu, sebuah industri musik tidak akan dapat berjalan,” tutur Dharma.
Mereka berharap pemerintah peduli pada para pencipta lagu. Mereka telah membuat karya seni yang mengangkat budaya setempat dan menjadi bagian budaya nasional, bahkan dapat dikenal hingga tingkat internasional, seperti Poco-poco.
Karya seni merupakan ekspresi budaya masyarakat di sebuah wilayah. Mereka menciptakan karya yang mampu mewakili jati diri bangsa.