BANDUNG, KOMPAS--Pertumbuhan ekonomi RI diyakini membaik seiring peningkatan produktivitas sektor formal dan informal. Peningkatan produktivitas mesti didukung sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pertumbuhan ekonomi bisa lebih optimal jika kualitas penggunaan anggaran diperbaiki. Ongkos internal pemerintah daerah seharusnya tidak lebih tinggi dari alokasi anggaran pembangunan. Sebab, pendorong utama peningkatan produktivitas adalah kemajuan infrastruktur.
“Hal itu yang menyebabkan ekonomi nasional tumbuh, tetapi hanya di tengah,” kata Wapres Kalla saat membuka Seminar Nasional dan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XX bertema “Memperkuat Produktivitas Perekonomian Indonesia: Harmonisasi Sektor Formal dan Informal” di Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/8/2018).
Saat ini, tambah Wapres Kalla, pemerintah harus mengakui produktivitas nasional tertinggal dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Ketertinggalan itu antara lain karena terlambat menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan negara-negara tujuan ekspor. Akibatnya, ekspor sejumlah komoditas terhambat.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, perlu transformasi inklusif di sektor informal dan formal berupa pemberdayaan manusia dan penguatan lembaga.
Sementara, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, aspek kehidupan perlu dipadukan dengan digitalisasi untuk menggenjot produktivitas.
Impor
Perekonomian Indonesia yang tumbuh 5,27 persen pada triwulan II-2018 tertahan impor yang meningkat tajam. Ekspor tidak dapat mengimbangi lonjakan impor karena harga komoditas utama masih bergejolak. Selain itu, ada hambatan perdagangan dalam upaya mendorong ekspor.
Menurut data Badan Pusat Statistik, impor tumbuh 15,17 persen pada triwulan II-2018, sedangkan ekspor 7,7 persen. Impor tumbuh tinggi karena impor minyak dan gas bumi (migas) meningkat tajam. Impor barang modal, bahan baku/penolong, serta barang konsumsi juga tumbuh tinggi.
Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Rabu, mengatakan, ekonomi Indonesia didorong konsumsi. Hal itu tidak terlepas dari pertumbuhan kelas menengah dan pergeseran desa menjadi kota. Jika kebutuhan konsumsi tidak terjawab dengan suplai dari dalam negeri, Indonesia bisa tergantung impor.
“Impor bukan hal yang tabu untuk dilakukan. Jika memang tidak mampu memproduksi atau memanfaatkan sumber daya untuk menghasilkan produksi yang optimal dan efisien, impor bisa dilakukan,” katanya.
Menurut Bayu, hal yang perlu dikhawatirkan adalah pengisi pasar Indonesia bukan lagi petani atau produsen dalam negeri, melainkan pebisnis negara lain.
Di sisi lain, ekspor Indonesia ke sejumlah negara menghadapi tantangan. Amerika Serikat, pasar ekspor kedua Indonesia, sedang meninjau kembali kebijakan pembebasan tarif (Generalized System of Preferences/GSP) Indonesia. AS juga mengajukan retaliasi kenaikan tarif sejumlah produk Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) senilai 350 juta dollar AS pada 2 Agustus 2018.
Retaliasi atau tindakan balasan perdagangan itu terkait sengketa yang diadukan AS atas kebijakan restriktif yang diterapkan Indonesia dalam importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan. Indonesia kalah dalam gugatan yang diajukan AS bersama Selandia Baru ke WTO pada 2015. WTO merekomendasikan agar Indonesia menyesuaikan sejumlah regulasi terkait ekspor produk-produk dari AS dan Selandia Baru itu.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, Indonesia telah menyesuaikan regulasi seperti yang diminta WTO. Namun, AS menyatakan, penyesuaian itu belum cukup karena eksportir produk hortikultura dari AS masih sulit mengekspor produk ke Indonesia. (HEN/JUD/KRN/RTG/HAR)