BATAM, KOMPAS – Pembakaran limbah pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan kebasaan tanah di lahan pertanian di daerah gambut seringkali menyebabkan meluasnya kebakaran hingga mengakibatkan pencemaran asap gambut. Penggunaan mikroorganisme hasil isolasi di lahan gambut menjadi solusi mengatasi praktik tak ramah lingkungan ini.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto, dalam kunjungan kerja ke Pulau Burung di Indragiri Hilir Riau, Rabu (8/8/2018), meninjau unit produksi pupuk hayati PT Riau Sakti United Plantations (RSUP). Pabrik ini menggunakan mikroba hasil isolasi di lahan gambut yang ditemukan peneliti dari Pusat Teknologi Agroindustri BPPT. Dari penguraian limbah perkebunan nanas menggunakan mikroba tersebut dihasilkan pupuk hayati yang disebut biopeat.
Dalam kunjungan itu selain diresmikan unit produksi dan peluncuran biopeat juga ditandatangani Deklarasi Biopeat oleh Kepala BPPT, Bupati Indragiri Hilir HM Wardan, Direktur PT RSUP Tay Ciatung, dan Rektor Universitas Islam Indragiri (Unisi) Najamuddin.
Deklarasi ini bertujuan untuk menerapkan teknologi biopeat dalam pemanfaatan lahan gambut tanpa membakar ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pengembangan penerapan teknologi biopeat ini juga dilakukan melalui kesepakataan kerjasama dengan empat pihak tersebut.
Unggul menjelaskan biopeat merupakan inovasi yang ditemukan peneliti BPPT kemudian dikembangkan bersama PT RSUP sejak tahun 2010. Biopeat dapat meningkatkan pH lahan gambut sehingga dapat ditanami tanpa membakar lahan. “Dengan biopeat ini maka kebakaran lahan gambut yang dibakar dapat dicegah," katanya.
Biopeat dapat meningkatkan pH lahan gambut sehingga dapat ditanami tanpa membakar lahan.
Lahan gambut tropis mengandung asam-asam organik yang tinggi, hasil degradasi lignin dari tanaman yang melapuk dan menyebabkan peningkatkan kemasaman tanah. Dengan memanfaatkan mikroba potensial dari lahan gambut itu sendiri yang memakan asam-asam organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya, aktifitas mikroba tersebut akan memberikan dampak positif bagi perbaikan kualitas tanah.
“Aplikasi pupuk hayati BioPeat pada tanah gambut mampu meningkatkan pH tanah dari semula rata-rata pH 3,9 menjadi sekitar pH 5. Dengan meningkatnya pH tanah gambut, maka peluang mikroba penyubur tanah lainnya yang dapat bertahan hidup dilingkungan tanah gambut juga ikut meningkat, sehingga tanah gambut menjadi lebih subur,” kata Unggul.
Memperbaiki kualitas panen
Produk BioPeat BPPT, lanjutnya, telah teruji kemampuannya melalui serangkaian uji aplikasi. Selain memperbaiki kualitas hasil panen, Biopeat juga mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama.
“Biopeat terbukti dapat meningkatkan produktivitas tanaman Jagung sebesar 45 persen, buah Nanas grade A sebesar 31 persen, dan meningkatkan kadar kemanisan buah Naga hingga mencapai rata-rata Brix 15 persen. Ini cukup jauh di atas nilai brix buah Naga di pasaran yang hanya mencapai 11 persen,” papar Unggul.
Biopeat terbukti dapat meningkatkan produktivitas tanaman Jagung sebesar 45 persen, buah Nanas grade A sebesar 31 persen, dan meningkatkan kadar kemanisan buah Naga hingga mencapai rata-rata Brix 15 persen.
Untuk mendukung pengkajian dan penerapan teknologi biopeat serta pemanfaatan hasil-hasilnya kepada masyarakat, PT RSUP telah membangun Laboratorium dan Pusat Informasi Teknologi Biopeat (LPITBio) dan Unit Produksi Biopeat dengan dukungan teknologi dari BPPT.
Laboratorium tersebut merupakan tempat untuk melakukan riset pengembangan produk Biopeat dan sekaligus sebagai pusat informasi dan edukasi (Education Center) bagi para petani lahan gambut untuk mengenal dan memahami teknologi biopeat sehingga dapat mengaplikasikannya untuk pertanian lahan gambut tanpa melakukan pembakaran.
Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT, Soni Solistia Wirawan, berharap fasilitas ini dapat dikembangkan menjadi pusat pelatihan bagi para petani dari daerah lain khususnya untuk pertanian di lahan gambut.
Lebih lanjut dijelaskan Soni, BPPT dan PT RSUP telah membangun unit produksi berkapasitas 600 ton per tahun sebagai model percontohan untuk di dikembangkan lebih lanjut dalam skala yang lebih besar. Unit ini mengolah limbah nenas dari pabrik pengalengan nenas (Sambu Group) sebanyak 15 ton per hari dan diproses lebih lanjut secara fermentasi selama 2 – 4 minggu menjadi biopeat.
“Sampai saat ini, diperkirakan 40 ton – 50 ton produk Biopeat telah diujicobakan kepada para petani lahan gambut sekitar perusahaan untuk budidaya pertanian seperti cabai, bawang merah dan jagung serta memberikan hasil yang signifikan,” ujar Soni.
Sinergi ABG
Dia mengatakan, kerja sama dengan para pihak tersebut merupakan wujud konkret dari sinergi ABG (Academic, Business & Government) untuk mendukung inovasi dan hilirisasi teknologi yang berdampak kepada masyarakat. "Ke depan, dengan melibatkan dukungan dari berbagai pihak terkait, diharapkan teknologi Biopeat dapat menjadi solusi dan memberikan kontribusi nasional dalam mendukung program Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) yang telah dicanangkan oleh pemerintah,” papar Soni.
Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Asep Riswoko, menambahkan, kegiatan ini juga ditujukan guna mendukung program pemerintah “PaJaLe” yaitu Padi, Jagung dan Kedelai khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Provinsi Riau.
“Peresmian unit produksi dan peluncuran Biopeat merupakan titik awal untuk mengembangkan Pilot Project Penerapan Teknologi BioPeat untuk Produksi Pertanian dan Perkebunan di Lahan Gambut secara nasional. Proyek percontohan ini akan diawali dengan scaling up dari demplot uji aplikasi Biopeat pada tanaman jagung yang telah dilakukan sebelumnya pada akhir 2017,” tambah Unggul.