Pengawas pemilihan di beberapa daerah mengabulkan permohonan eks napi korupsi yang pencalonannya dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU. KPU pun diminta menerima dan memverifikasi pendaftaran itu.
JAKARTA, KOMPAS- Putusan pengawas pemilu di daerah atas sengketa pencalonan yang diajukan oleh bakal calon anggota legislatif yang merupakan bekas napi korupsi membuka peluang kembali masuknya bekas napi korupsi dalam kontestasi Pemilu 2019. Kelompok masyarakat sipil menyayangkan putusan pengawas yang mengesampingkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Anggota Legislatif.
Pada Kamis (9/8/2018), Pengawas Pemilihan Aceh mengabulkan permohonan Abdullah Puteh, yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh. Puteh merupakan bekas terpidana korupsi. Dalam PKPU Pencalonan Anggota DPD, terdapat syarat calon bukan eks napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba.
Dalam pertimbangannya, Ketua Majelis Sidang Panwaslih Aceh Zuraida Alwi mengatakan, hak untuk dipilih dan memilih merupakan hak asasi warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa eks napi korupsi dapat mencalonkan diri. ”Dia (Abdullah Puteh) telah menjalani hukuman sampai selesai dan telah mengumumkan kepada publik bahwa dia pernah melakukan kejahatan,” ujar Zuraida.
Sehari sebelumnya, di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, pengawas pemilu setempat, dalam putusan sengketa yang diajukan oleh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Toraja Utara, memerintahkan KPU Toraja Utara untuk membatalkan berita acara yang menyatakan bakal caleg DPRD Toraja Utara, JK Tondok, tidak memenuhi syarat. KPU Toraja Utara juga diperintahkan untuk menerima dan memverifikasi pendaftaran JK Tondok. Sebelumnya, ia dinyatakan tidak memenuhi syarat karena merupakan eks napi korupsi.
Dalam PKPU Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, parpol dilarang mencalonkan bekas napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba. Pimpinan parpol sesuai tingkatannya membuat pakta integritas menyatakan tidak mencalonkan bekas napi tiga jenis kejahatan tersebut.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, membenarkan dua putusan tersebut. Menurut dia, posisi pengawas pemilihan itu sama dengan pemahaman Bawaslu selama ini, yakni pembatasan hak politik seseorang harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan. Bawaslu berpegang pada perintah Undang-Undang Pemilu yang tidak mencantumkan pelarangan pencalonan eks napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba.
Perlu dikoreksi
Peneliti Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, mendorong Bawaslu untuk mengoreksi putusan-putusan Pengawas Pemilu Aceh dan Toraja Utara. Hal ini harus dilakukan agar tidak terulang kasus serupa lainnya. Dia menilai, jika Bawaslu tidak menyupervisi keputusan tersebut, Bawaslu menjadi bagian yang merusak sistem penyelenggaraan pemilu berkualitas yang dibangun penyelenggara pemilu.
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, menuturkan, Bawaslu sudah berupaya agar calon bekas napi korupsi diganti oleh partai politik. Menurut dia, dari awalnya ada sekitar 200 caleg anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang merupakan bekas napi korupsi, setelah masa perbaikan berkas, ”hanya” tersisa sekitar 20 caleg bekas napi korupsi. Dia menilai, perlu dipisahkan peran Bawaslu dalam konteks pencegahan dan peran sebagai lembaga ajudikasi.
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, belum bisa berkomentar mengenai putusan itu karena perlu membaca putusan tersebut.
Sementara itu, hasil mediasi antara Partai Hanura dan KPU di Bawaslu menemui titik temu. KPU memberikan kesempatan kepada Hanura untuk memperbaiki berkas pencalonan anggota DPR hingga Jumat (10/8) pukul 20.00. Sebelumnya, KPU menyatakan berkas perbaikan caleg dari Hanura tak memenuhi syarat.