Dari delapan standar nasional pendidikan, tiga standar, yakni standar pendidik, sarana dan prasarana, serta kompetensi lulusan, masih rendah jika dibandingkan standar lainnya.
JAKARTA, KOMPAS – Hasil akreditasi sekolah/madrasah menunjukkan sekitar 71,5 persen dari 251.548 sekolah jenjang SD/MI hinggga SMA/MA telah memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Namun, perbaikan tetap dibutuhkan, terutama standar pendidik/tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta kompetensi lulusan yang memang masih rendah jika dibandingkan standar lainnya. Padahal, tiga standar ini berpengaruh penting untuk mewujudkan sekolah bermutu.
Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) Toni Toharudin di Jakarta, Kamis (9/8/2018), mengatakan, mutu sekolah selama ini lebih dilihat dari pencapaian siswa terhadap hasil nilai ujian nasional (UN). Padahal, potret mutu sekolah yang dipahami semestinya dilihat dari pemenuhan delapan standar nasional yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.
"Akreditasi sekolah/madrasah memotret pencapaian tiap sekolah terhadap delapan standar nasional pendidikan. Sebagian besar sekolah sudah cukup baik, namun tetap perlu peningkatan. Sayangnya, tindak lanjut daerah terhadap temuan hasil akreditasi belum optimal," ujar Toni.
Merujuk pada data BAN-S/M, hingga 2017, persentase sekolah/madrasah terakreditasi (peringkat A dan B) dengan populasi per kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk jenjang SMP/MTs sebesar 65,8 persen, jenjang SMA/MA sebesar 68,1 persen. Peringkat A bermakna sekolah di Indonesia telah memenuhi kelayakan bahkan melampaui standar nasional pendidikan dengan Predikat Unggul, dan sebagian telah memperoleh peringkat akreditasi B yang berarti sekolah telah memiliki predikat baik.
Menurut Toni, dari data akreditasi sekolah/madrasah yang ada, dapat ditarik benang merah bahwa pemberlakuan sistem zonasi sekolah sesungguhnya kebijakan yang tepat, mengingat mayoritas sekolah di Indonesia telah memenuhi bahkan melampaui standar nasional pendidikan.
Selama ini, ujar Toni, BAN-S/M telah memberikan rekomendasi secara rutin kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Perhatian pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sekolah harus lebih ditingkatkan lagi dalam menindaklanjuti hasil temuan atau rekomendasi yang disampaikan badan akreditasi.
Di sini peran pemerintah menjadi penting untuk mengintervensi upaya peningkatkan mutu lulusan. Peran pemerintah juga dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi guru dan pendistribusian guru yang berkualitas secara memadai di daerah-daerah.
"Tidak kalah penting lagi, pemerintah harus mempercepat penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran. Jika temuan dan hasil rekomendasi hasil akreditasi dilaksanakan dengan baik,usaha pemerintah melalui sistem zonasi untuk menghapus kastanisasi pendidikan dapat terwujud dengan efektif," kata Toni.
Secara terpisah, Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Najelaa Shihab mengatakan, hasil akreditasi yang mengukur pemenuhan delapan standar nasional pendidikan masih bersifat administratif. Sebagai contoh, pemenuhan sarana dan prasarana seperti ruang perpustakaan, lebih melihat ada ruangan, buku, pustakawan, atau tidak.
Hasil akreditasi yang mengukur pemenuhan delapan standar nasional pendidikan masih bersifat administratif.
Padahal, penting juga dilihat, aspek pemanfaatannya dalam mendukung pembelajaran. Penilaian akreditasi diharapkan mampu mengukur kualitas standar yang sesungguhnya.
Najelaa mengatakan ada acuan delapan standar nasional pendidikan dalam meningkatkan pendidikan bermutu di Indonesia.
“Fokus utama yang terpenting ke standar kualitas lulusan (SKL), yang merupakan keluaran dari ketujuh standar lainnya. Tapi untuk mencapai SKL yang baik itu, perlu prioritas untuk standar proses, isi, dan pendidik. Pencapaian empat standar ini saja sudah berdampak untuk kesuksesan siswa,” kata Najelaa yang juga Pendiri Sekolah Cikal.