Korut dan Korsel Sama-sama Ingin Resmi Akhiri Perang
Oleh
Retno Bintarti
·3 menit baca
SEOUL, KAMIS — Korea Selatan dan Korea Utara kembali akan bertemu untuk membicarakan kelanjutan pertemuan puncak yang pernah dilakukan pemimpin mereka. Kuat harapan dari kedua pihak untuk mengakhiri status perang yang sampai saat ini belum dicabut kendati dalam kenyataan, perang 1950-1953 telah usai.
Kementerian Unifikasi Korsel dalam pengumumannya, Kamis (9/8/2018), menyebutkan, pertemuan level tinggi akan diadakan Senin pekan depan, di Tongilgak, wilayah yang berada dalam pengawasan Korut, dekat daerah netral Panmunjom. Jika jadi dilaksanakan, pertemuan ini merupakan yang ketiga sejak Kim Jong Un bertemu dengan Presiden Korea Moon Jae-in, April lalu. Pertemuan akan dilakukan di tengah perlucutan senjata nuklir yang sedang berlangsung menyusul pertemuan pemimpin Korut dan Presiden Donald Trump, Juni silam.
Sumber di Kementerian Unifikasi Korsel mengungkapkan, kedua Korea akan mendiskusikan cara mendorong kesepakatan meredakan ketegangan yang telah dibuat dalam pertemuan pemimpin mereka. Di antara kesepakatan terdapat pula rencana pertemuan puncak lagi antardua Korea, di Pyongyang, musim gugur mendatang. Seoul menerima proposal Korut setelah Pyongyang pertama-tama mengusulkan pertemuan pada Senin untuk membicarakan pertemuan puncak lain.
Kedua Korea akan mendiskusikan cara mendorong kesepakatan meredakan ketegangan yang telah dibuat dalam pertemuan pemimpin mereka.
Pyongyang meningkatkan keinginan agar Perang Korea secara formal dinyatakan selesai. Analis mengatakan, dengan begitu, Korut berharap ada langkah penarikan 28.500 tentara AS di Semenanjung Korea.
Harian pemerintah Korut, Rodong Sinmun, dalam kolom opini, Kamis, berpendapat, pengakhiran Perang Korea merupakan proses awal untuk menjamin perdamaian dan keamanan, bukan hanya di Semenanjung, melainkan juga di kawasan dan dunia.
Korut dan Korsel sampai kini masih berstatus gencatan senjata mengingat belum ada pakta perdamaian yang ditandatangani sejak mereka bertikai. Kedua tetangga ini bersikap bermusuhan. Pertemuan puncak pada April merupakan momen cukup bersejarah ketika kedua pemimpin tampak berpegangan tangan dan berjalan bersama di perbatasan. Pertemuan pertama itu dilanjutkan dengan pertemuan kedua pada Mei, beberapa pekan sebelum Kim Jong Un bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura.
AS ingin cepat
Sampai sekarang, perlucutan senjata Korut tampaknya belum akan terwujud. Korut sudah menghentikan operasi salah satu pabrik nuklirnya. Menlu AS Mike Pompeo sudah beberapa kali berkunjung ke Pyongyang guna menindaklanjuti pertemuan yang sudah digelar di antara kedua pemimpin AS dan Korut. Pemerintah Kim Jong Un juga sudah menunaikan janji mengembalikan jenazah warga AS yang tewas dalam Perang Korea.
Pyongyang mendesak AS agar membalas langkah yang sudah dilakukan Korut dengan mencabut sanksi ekonominya. Namun, keinginan ini tidak dipedulikan, terbukti dengan masih berlakunya sanksi terhadap Korut.
Duta Besar AS di Perserikatan Bangsa-Bangsa Nikki Haley, Rabu, menyatakan, AS ”tidak bersedia lama menunggu” perlucutan nuklir. ”Ini semua ada di pihak Korut,” kata Haley kepada wartawan. ”Korut harus paham bahwa masyarakat internasional berharap mereka melucuti nuklir sehingga kami bersedia menunggu kalau mereka ingin menunggu, tetapi kami tidak ingin menunggu terlalu lama,” kata Haley yang mendorong tiga paket sanksi bagi Korut sejak dia mewakili AS, 18 bulan berselang.
Penasihat keamanan nasional Gedung Putih John Bolton, Selasa silam, mengatakan, Menlu Mike Pompeo bersiap kembali ke Korut guna mengadakan pertemuan lagi dengan Kim Jong Un.
Haley mengatakan, Washington belum akan meringankan sanksi. Hal ini berbeda dengan keinginan Rusia dan China yang meminta Dewan Keamanan PBB mengendurkan sanksi setelah pertemuan Jong Un-Trump. ”Proses akan berlangsung lama. Kita mengetahui bahwa hal ini tak akan terwujud dalam semalam,” kata Haley. ”Kami harus melihat perlucutan nuklir dan kita tidak akan menghentikannya sampai berhasil.” (AP/REUTERS)